Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jabatan mereka memang bukan jabatan tinggi, glamor, megah, seperti seorang panglima atau menteri. Mereka adalah orang yang berada begitu dekat dengan Soeharto selama menjabat presiden; yang bisa meraba suasana hatinya hingga memahami geraman suaranya atau senyum bahagianya. Ada ajudan, ada wartawan Istana, ada teman memancing, dan ada fotografer. Dari mereka, kita kemudian mengenal Soeharto sebagai manusia.
Soerjadi
Ajudan Presiden 1981-1986
Pengalaman pertama Letnan Kolonel Soerjadi bertemu dengan Soeharto sungguh mendebarkan. Sebelum ia berada satu mobil dengan Presiden, dia sudah mendapat tips dari para pendahulunya: Soeharto hanya mau mendapat laporan yang baik-baik saja.
Hari itu Soerjadi ingin membuktikan. Duduk di sebelah pengemudi, tepat di depan Soeharto, dia membuka pembicaraan di sela-sela alunan klenengan (musik Jawa) dari tape mobil.
”Mohon maaf, Pak,” kata Soerjadi.
”Hmm,” Soeharto menanggapi dengan suara berat.
”Mohon izin, mungkin suatu saat nanti saya memberi laporan yang kurang berkenan bagi Bapak,” katanya.
Soerjadi menunggu jawaban dengan hati berdebar. Di belakang, Soeharto mengisap cerutunya dalam-dalam. Tiba-tiba…whuz...! Soeharto menyemburkan asap cerutunya menghantam tengkuk Soerjadi. Soerjadi kaget dan langsung merinding. ”Itu pertama kali saya mencium bau asap cerutu, dan saya langsung terdiam sepanjang perjalanan,” katanya. Masih di mobil dalam perjalanan pulang ke rumah Presiden di Jalan Cendana, Jakarta, Soeharto memecah kebisuan. ”Soer, di sini tempatnya belajar,” kata Soeharto.
Peristiwa 27 tahun lalu itu tak terlupakan bagi Soerjadi selama lima tahun menjadi ajudan presiden sejak 1981. Pria kelahiran Tuban, Jawa Timur, 61 tahun lalu ini hanyalah satu dari belasan perwira yang pernah mendampingi Presiden. Tetapi selama Soerjadi menjadi ajudan—kemudian ia juga dikenal sebagai Ketua Umum Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (1993-1997)—Soeharto mengalami beberapa peristiwa penting. Di antaranya peristiwa berdarah Tanjung Priok dan pembajakan pesawat Garuda.
Soerjadi masih ingat persis suasana Cendana saat peristiwa pembajakan pesawat DC-9 Woyla milik Garuda di Bandara Don Muang, Thailand, Maret 1981. Dia menjadi penghubung antara Soeharto dan pasukan di lapangan yang dipimpin Kepala Badan Koordinasi Intelijen (Bakin) Jenderal Yoga Sugomo dan Asisten Intelijen Hankam Letjen Benny Moerdani.
Menjelang sore hari, pasukan elite antiteroris sudah siap menyerbu pesawat. Yoga menghubungi Cendana. ”Kita mau nyerang, mohon petunjuk Bapak (Soeharto), jam berapa baiknya?” pesan Yoga ke Soerjadi agar ditanyakan kepada Soeharto. Soerjadi menemui Soeharto, yang sedang membaca koran di ruang kerjanya. ”Wis, Benny wis ngerti,” kata Soeharto setelah mendengar laporan Soerjadi. Soerjadi kemudian melaporkan kepada Yoga.
”Lapor, Pak,” kata Soerjadi.
”Apa dhawuhe?” tanya Yoga.
”Bapak tidak bicara apa-apa. Kata bapak, Benny wis ngerti,” kata Soerjadi.
”Opo maksude?” Yoga bertanya lagi.
”Saya juga nggak tahu, Pak,” jawab Soerjadi.
Sekitar pukul tiga dini hari, operasi pembebasan berhasil menewaskan lima pembajak dan membebaskan seluruh penumpang dengan selamat. Hanya Kapten Pilot Herman Rante dan Letnan Satu Achmad Kirang dari pasukan antiteroris yang tewas ditembus peluru pembajak.
Jenderal Yoga melaporkan ke Presiden melalui Soerjadi. Membawa berita baik, Soerjadi memberanikan diri mengetuk kamar tidur Presiden. Dari dalam kamar, terdengar Ibu Negara bertanya dengan suara lantang. ”Ono opo bengi-bengi bapake kok ditangek-ke (ada apa malam-malam membangunkan bapak)?” tanya Ibu Tien Soeharto sambil membuka pintu. ”Mau melapor, Bu,” jawab Soerjadi. Dari dalam kamar, Soeharto menyusul. ”Sudah selesai, Pak,” Soerjadi melanjutkan. Soeharto menjawab singkat, ”Yo wis.” Dan pintu kembali ditutup.
Selain urusan kenegaraan, ada tugas plus yang harus dikerjakan Soerjadi. Setiap Jumat dan Sabtu malam, Soeharto selalu memanggilnya dan bertanya, ”Soer, Mas Tommy neng endi?” Dan Soerjadi harus bisa menjawab saat itu juga, di mana Hutomo Mandala Putra (Tommy), putra bungsu Soeharto, menghabiskan malam. Melalui para telik sandi, Soerjadi memang terus memantau pergerakan putra kesayangan Soeharto ini. Bagaimana dengan anak Soeharto yang lain? ”Bapak hampir tidak pernah bertanya,” kata Soerjadi.
Husni Wirajaya
Teman Memancing
”Entuk maneh…, entuk maneh... (Dapat lagi.., dapat lagi...).” Soeharto mendendangkan kalimat pendek itu berulang-ulang sambil tangannya mengangkat kenur yang berat digondol ikan. Nada dendangnya seirama suara klenengan (gamelan Jawa) dari radio tape kecil di sampingnya. Senyuman tak lepas dari wajah Presiden Soeharto.
Hanya dalam tempo dua jam, delapan orang yang berada di perahu sebesar minibus itu mengail 224 ikan. Hampir separuhnya hasil pancingan Soeharto.
Dari jarak sekitar 10 meter di atas kapal pengawal sebesar truk peti kemas, Husni Wirajaya tersenyum lega. ”Saat itu saya ikut gembira sekali,” kata Husni yang masih ingat persis peristiwa 22 Maret 1984 itu. Husni bukanlah pengawal. Pengusaha perlengkapan listrik itu menjadi kawan memancing Soeharto sejak 1980.
Kedekatan Husni berawal dari ajakan almarhum Satiri, nelayan yang biasa melayani Soeharto saat memancing. Husni, yang memang punya kegemaran memancing, dikenal pandai mencari lokasi berkumpulnya ikan. Tetapi selama tiga tahun pertama, Husni hanya bisa berada di lingkar ketiga pengamanan. Setelah beberapa kali lokasi yang ditunjukkannya memuaskan Soeharto, baru dia bisa berada satu perahu dengan Soeharto.
Saat paling sibuk terjadi dua hari menjelang jadwal memancing. ”Saya harus melakukan survei beberapa lokasi dan mencobanya untuk memastikan di sana banyak ikan,” kata pria yang biasa dipanggil Kwik itu. Tidak jarang, meski sudah diyakini lokasinya bagus, hasil tangkapan kurang memuaskan. Dia menolak sebuah gosip yang mengatakan ada sepasukan amfibi yang menyelam dan memasang ikan di kail Soeharto. ”Yang penting lokasinya harus bagus,” kata Husni.
Jika hasil pancingan memuaskan Soeharto, esok harinya Husni akan mendapat telepon dari pengawal presiden, ”Pak Harto nggak ngemut permen (cemberut).” Suasana hati itu membuat para pengawal pun bisa merasa tenang bekerja.
Peristiwa yang tak bisa terlupakan terjadi Jumat, 26 Maret 1996. Pagi hari Husni bersama wakil komandan pasukan pengawal presiden sudah memastikan lokasi memancing yang strategis di Kepulauan Seribu. Mereka kemudian mencoba dengan melempar umpan. ”Kebetulan kami belum sarapan,” kata Husni, yang kini berusia 61 tahun. Berdua mereka mendapat 20 ikan hanya dalam beberapa menit. ”Cukup, jangan kita habiskan!” sang pengawal mencegah.
Siang hari, Soeharto datang bersama rombongan. Meski sudah memancing hampir empat jam, mereka hanya memperoleh dua ekor ikan. ”Saya merasa bersalah, padahal arusnya memang tiba-tiba menjadi lebih kuat,” kata Husni. Jemu tak mendapat ikan, Soeharto kembali ke kapal utama tanpa banyak bicara dan langsung mandi. Suasana tegang.
Saat ia masih berlumuran sabun, air tawar yang dipakai mandi habis. Soeharto keluar dan menanyakan hal itu pada pengawal. Benar saja, air ternyata habis. ”Mungkin ada yang membuka keran dan lupa menutupnya,” kata Husni. Meski Soeharto tidak menunjukkan amarah, suasana makin tegang saja. Sesampai di pelabuhan, Soeharto turun kapal dengan murung. Husni memburunya. ”Maaf, Pak, lain waktu saya akan survei lebih baik lagi,” katanya memohon. ”Ndak apa-apa, sudah baik, kok,” Soeharto menghibur. Soeharto memerintahkan rombongan melanjutkan memancing.
Esok harinya semua anggota rombongan dipanggil menghadap ke rumah Soeharto di Cendana, sambil membawa hasil pancingan mereka. Mereka bertanya-tanya dan agak gemetar. ”Kami sudah siap dengan keadaan yang terburuk,” kata Husni. Ternyata Soeharto bukannya mau memarahi, melainkan dia lupa memberi uang tips kepada rombongan kemarin. Hari itu mereka mendapat tips. Namun, ikan hasil tangkapan mereka diminta Soeharto untuk diserahkan kepada Ibu Negara. ”Kami semua lega,” kata pria kelahiran Pasar Minggu, Jakarta ini.
Hanya dua hari setelah hari memancing yang nahas itu atau sehari usai mereka menghadap ke Cendana, Ibu Negara Tien Soeharto meninggal.
Toeti Kakiailatu
Wartawan Istana
Lima Oktober 1965. Saat itu, Toeti Kakiailatu ingat. Dia masih bekerja sebagai wartawan Sankei Shimbun, sebuah harian Jepang. Orang berduyun-duyun menuju Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Hari itu adalah hari ulang tahun ABRI yang ke-20, bertepatan dengan dimakamkannya lima pahlawan revolusi.
Toeti melihat beberapa perwira tinggi hadir, di antaranya Jenderal Nasution, yang sudah bertongkat. Tak jauh dari Nasution, ada pria berbaju loreng berkacamata hitam. Di ketiaknya terapit tongkat komando. ”Itu Pak Harto dari Kostrad,” bisik seorang istri tentara kepada Toeti. ”Gambaran lelaki itulah yang membayangi pemikiran saya terhadap Soeharto,” kata Toeti.
Tahun berikutnya, Juni 1966, Soeharto diangkat menjadi pejabat presiden dalam Sidang Umum IV MPRS. Soeharto berkantor di Jalan Medan Merdeka Barat 15, Jakarta Pusat. Akibatnya, wartawan Istana selalu wira-wiri antara Istana Merdeka dan Medan Merdeka Barat 15. Kemudian, muncul kebijakan melarang wartawan me-ngunjungi Soekarno di Istana Merdeka.
Setiap hari, Soeharto ke kantor mengendarai jip. Dia tetap berbaju loreng dan berkacamata hitam. Suatu hari pada April 1967, dia mengajak wartawan piknik ke Kepulauan Seribu. Di sinilah dia pertama kali menanggalkan seragam tempurnya itu, berganti setelan safari dan peci.
Di tempat piknik, para wartawan bersantap siang bersama Soeharto. Menu utamanya: ikan bakar dan sambal yang diulek oleh Tien Soeharto. Kendati berakrab-akrab, Soeharto menolak diwawancarai, apalagi menyangkut masalah politik.
Secara resmi, Soeharto menggantikan Soekarno pada Maret 1968. ”Kami masih bebas berkunjung ke Jalan Cendana (kediaman Soeharto),” kata Tuti. Istrinya, Tien Soeharto, juga sangat perhatian kepada wartawan. Jika ada wartawan yang tak dilihatnya muncul ke Cendana, Tien Soeharto pasti akan bertanya.
Ketika Toeti, yang tak bertugas selama beberapa pekan, muncul, Tien Soeharto langsung menghampirinya. ”Mengapa sudah lama tak tampak?” dia bertanya. ”Saya melahirkan, Bu,” jawab Tuti. Sembari tersenyum, Tien berkata: ”Tunggu ya, Toeti.” Dia mengambil kain batik dan beberapa baju bayi sebagai hadiah.
Setiap Idul Fitri, banyak wartawan yang berkunjung ke rumah Soeharto, termasuk Toeti. ”Anak saya yang bungsu bebas ke sana kemari, tanpa ada yang melarang,” katanya. Toeti rikuh, mencoba melarang. ”Biarkan saja,” kata Tien.
Ketika pamitan pulang, Tien memanggil anak Toeti. Dia dihadiahi apel dan buah anggur. ”Ayo, bilang apa?” kata Ibu Tien. ”Terima kasih, Tante,” jawabnya. ”Eh, jangan bilang tante. Ini eyang,” Tien menyergah. ”Terima kasih, Eyang.” Soeharto tertawa melihat adegan ini.
Kendati begitu akrab, menurut Toeti, para wartawan tak pernah bisa bertanya langsung kepada Presiden. Segala kebijakan pemerintah selalu diterangkan Menteri Penerangan B.M. Diah. ”Pernah suatu hari Pak Harto membuka wawancara langsung dengan wartawan Istana, yang saya lupa tanggalnya,” kata Toeti.
Tetapi apa yang terjadi? Semua pertanyaan wartawan dikumpulkan jadi satu dan dijawabnya sekaligus. Setelah itu tak ada lagi pertanyaan tahap kedua, dan wawancara selesai.
Sedangkan dengan Ibu Negara, Toeti bisa mewawancarainya secara khusus suatu kali untuk Radio Australia. Dalam wawancara, Tien berkata: ”Saya hanya bersekolah Ongko Loro. Karena orang tua saya kurang mampu, saya harus memberi kesempatan bersekolah kepada adik saya laki-laki. Kemudian saya les mengetik dan membatik. Ketika zaman revolusi, saya dilamar bapak,” demikian tutur Tien Soeharto. Mereka menikah tahun 1947. Tien waktu itu usianya 25 tahun dan Soeharto, yang masih berpangkat letnan kolonel, 26 tahun.
Wawancara kedua untuk majalah Tempo, April 1971. ”Semula, saya hanya diberi waktu dua jam,” kata Toeti. Ketika wawancara, Toeti mengawali pertanyaannya tentang masa remaja. Saat itu Tien berkata lulus SMA. ”Kendati berbeda dengan isi wawancara pertama, saya tak menyangkal,” kata Toeti.
Tien Soeharto menjawab pertanyaan Toeti sambil duduk bersila di atas sofa. Kakinya terlihat berbalut stocking. Sembari wawancara, Tien melirik tape recorder. Toeti mencoba menghidupkan alat perekam tersebut, tetapi gagal. Hingga Tien bertanya: ”Tahu enggak, sih, kamu dengan tape itu?” Toeti terdiam sebentar. ”Maaf Bu, saya kurang paham,” jawabnya. ”Ya sudah, ndak usah pakai rekaman. Saya juga ndak tahu tentang alat itu. Ngobrol sajalah, enakan.”
Wawancara yang semula dimulai pukul 10.00, belum berakhir sampai pukul 14.00. ”Kami masih ngobrol terus ketika Pak Harto pulang dari Bina Graha. Pak Harto hanya memberi salam, tertawa, terus naik ke ruang atas,” kata Toeti.
Wawancara ketiga, saat Toeti menjadi wartawan majalah Femina. Tak banyak pertanyaan diajukannya. Ketika itu Tien menganjurkan bagaimana seharusnya perilaku seorang istri dan bagaimana membantu karier suami. ”Jangan lupa, minumlah jamu,” pesan Tien.
Saidi
Fotografer Istana
”Saya Ini Diajak Ikut, itu kepanjangan nama saya, Saidi,” kata Saidi, bergurau. Pria yang kini berusia 65 tahun ini menjadi juru foto di Sekretariat Negara sejak Soeharto menjadi pejabat presiden. Perkenalannya dengan Soeharto dimulai sejak sang Jenderal memimpin Operasi Mandala membebaskan Irian Barat, 1963.
Saidi mengabadikan pertempuran itu karena tugasnya sebagai staf penerangan di Angkatan Darat. Ketika Soeharto menggantikan presiden pertama Soekarno, dia dipanggil menjadi juru foto Istana. ”Setelah itu, ke mana saja Pak Harto ke luar negeri, saya diajak,” kata bapak empat anak dan kakek sembilan cucu ini.
Selama 32 tahun menjadi juru foto di Istana, dia telah merekam puluhan ribu bahkan mungkin seratusan ribu gambar.
Ia mengaku jarang sekali berbicara dengan Presiden. ”Saya ini hanya pion, tak banyak bicara dengan bapak,” katanya. Selain mengabadikan berbagai acara kenegaraan, Saidi juga selalu diminta menjadi juru foto acara keluarga. Kameranya tak pernah ketinggalan zaman. Sebab, jika bukan kantor yang memperbarui perlengkapannya, anak-anak Soeharto sering kali membelikannya kamera jenis terbaru.
Pria kelahiran Medan, Sumatera Utara, ini mengaku Soeharto tidak pernah membatasi mana peristiwa yang boleh difoto dan mana yang haram. Dia sendiri yang harus tahu batasannya. ”Kalau bapak menerima tamu pribadi, saya tahu tidak akan saya foto,” katanya. Meski dia menolak siapa yang dimaksud sebagai tamu pribadi itu.
Sebuah peristiwa yang membuatnya tidak enak hati adalah ketika mengiringi Soeharto bertemu Klompencapir (kelompok pendengar, pembaca, dan pemirsa) di Wonogiri, Jawa Tengah. Soeharto berniat meneruskan perjalanan ke Pacitan, Jawa Timur, menggunakan helikopter. Heli kecil itu hanya muat empat orang, Soeharto bersama tiga jenderal TNI.
Sebelum heli berangkat, tiba-tiba Soeharto bertanya. ”Saidi mana?” Pilot menjawab, ”Helinya tidak cukup, Pak.” Soeharto kemudian memerintahkan salah seorang mayor jenderal turun untuk mencari Saidi. Saat Saidi menghadap, Soeharto memerintahkannya naik. Terpaksa sang mayor jenderal yang memanggil Saidi batal ikut.
Tetapi masa yang paling dikenang Saidi adalah ketika Soeharto lengser. Dialah satu-satunya fotografer yang mengabadikan Soeharto turun tangga Istana diiringi putri sulungnya, Siti Hardijanti Indra Rukmana. Saidi bahkan mengiringi Soeharto hingga pulang ke rumahnya di Jalan Cendana.
Saat itu suasananya murung sekali. Anak-anak dan menantunya sudah menunggu di rumah. Soeharto tak banyak bicara. Keriangan cucu-cucunya pun tak mampu menghibur. Pesan terakhir yang diingat Saidi menjelang pulang dari Cendana: ”Wis, Di, kamu ikut Habibie.” Itulah saat terakhir pengabdiannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo