Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KABAR dari kawasan Bintaro itu cepat mencapai Jalan Yusuf Adiwinata, Menteng, Jakarta Pusat. Pemilik rumah langsung menggelar rapat keluarga. Ia mengumpulkan keempat adiknya, kecuali Hutomo Mandala Putra.
Justru Hutomo, alias Tommy, yang jadi pusat keprihatinan. Adik laki-laki bungsu itu diberitakan tertangkap di Bintaro pada 28 November 2001. Elza Syarief, pengacara Tommy yang ikut dalam rapat keluarga itu, mencatat peran Siti Hardijanti Rukmana—biasa disebut Tutut—si pemilik rumah.
Setelah menyimak semua saran, putri sulung Soeharto itu memutuskan agar tim pengacara Tommy diperkuat. ”Tim pengacara Pak Harto jadi ikut membantu kami,” kata Elza kepada Ami Afriatni dari Tempo.
Tommy, yang didakwa membunuh Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita dan memiliki senjata, lalu diadili. ”Sampai berbulan-bulan Mbak Tutut sulit tidur ngurusin kasus Mas Tommy,” kata Elza. Tommy jadi buronan selama setahun dan 22 hari.
Tutut ibarat ganjal bagi keluarga Soeharto. Ia mengurusi mulai dari tuntutan pengadilan sampai soal kesehatan ayahnya. Ringkas kata, perempuan yang menikah dengan Indra Rukmana pada 29 Januari 1972 itu selalu tampil di depan membela trah Soeharto.
Orang tuanya memang telah lama memberikan kepercayaan kepada emak tiga anak ini. Ketika ayahnya masih presiden, Tutut mengakui kurangnya waktu Pak Harto dan Ibu Tien memperhatikan anak-anaknya. ”Karena itu, sejak di SMA saya telah menjadi ibu sekaligus bapak untuk adik-adik saya,” kata Tutut, yang tidak menamatkan kuliah di Fakultas Teknik Universitas Trisakti, Jakarta, kepada Kompas.
Soeharto selalu mendorong Tutut bergiat di lapangan sosial dan politik. Dalam Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, orang kuat Orde Baru itu memuji aktivitas sosial Tutut. ”Itu ajaran yang kami berikan kepadanya, agar tidak hidup sendirian, tapi bermasyarakat.”
Tutut lahir pada 23 Januari 1949 di Yogyakarta, ketika Soeharto sedang menyiapkan Serangan Umum 1 Maret. Kelahiran Tutut, kata Soeharto dalam otobiografinya, ”Ternyata menambah semangat saya untuk berjuang.”
Pada awal 1990-an, Tutut mendirikan Yayasan Tiara Indah, yang menggelar Kirab Remaja Nasional. Ia juga menjadi orang nomor satu di Himpunan Pekerja Sosial Indonesia, Perhimpunan Donor Darah Indonesia, Organisasi Federasi Perhimpunan Donor Darah Internasional, dan Palang Merah Indonesia.
Di dunia bisnis, nama Tutut berkilau pada 1990, ketika perusahaannya, PT Citra Marga Nusaphala Persada, berhasil membangun jalan tol Cawang-Tanjungpriok. Ini perusahaan swasta pertama yang membangun dan mengoperasikan jalan tol.
Kemudian dia melenggang ke bisnis media dengan mendirikan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) dan beberapa stasiun radio. Dunia politik? Jangan tanya. Dalam Musyawarah Nasional Golkar 1993, dia terpilih menjadi salah satu ketua dewan pimpinan pusat.
Menjelang Pemilihan Umum 1997, Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama ketika itu, Abdurrahman Wahid, menggandeng Tutut ke sejumlah pesantren. Kepada para kiai dan santri, Gus Dur menyebut Tutut tokoh masa depan.
Dalam Sidang Umum MPR 1998, Soeharto terpilih lagi menjadi presiden. Tutut masuk kabinet sebagai Menteri Sosial. Ikut masuk kabinet sejumlah orang dekat Tutut di Golkar: Jenderal (Purn.) Hartono, Theo Sambuaga, Ary Mardjono, dan Muladi.
Tapi, apa daya, kabinet itu hanya bertahan dua bulan. Soeharto lengser karena gelombang unjuk rasa mahasiswa. Redupkah ambisi politik Tutut? Ternyata tidak. Menjelang Pemilu 2004, ia mendirikan Partai Karya Peduli Bangsa, yang dipimpin Hartono dan Ary Mardjono.
Partai itu, yang menggadang-gadangnya sebagai calon RI-1, memang tak digubris pemilih. Tapi Tutut tak kekurangan pekerjaan, terutama merawat ayahnya, yang sejak lengser sering sakit-sakitan—sampai akhirnya menutup mata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo