Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Terjepit di tengah jalan

Para pengemudi bajaj melancarkan protes terhadap penutupan jl. samanhudi. penyelesaian tercapai setelah kadapol metro jaya mencabut larangan tersebut. posisi angkutan iv makin terjepit. (kt)

7 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JALAN Samanhudi, Jakarta Pusat, direbut kembali. Dan para pengemudi bajaj pun berteriak senang. Malahan Kadapol Metro Jaya, Anton Sudjarwo, mereka kerubungi untuk menjabat tangannya. Itu hasil perjuangan para pengemudi bajaj setelah selama tiga hari berturutturut, pekan lalu, melancarkan protes terhadap penutupan Jalan Samanhudi bagi jenis kendaraan IV itu. Tak kurang dari 3.000 pengemudi, Rabu lalu memenuhi halaman Kodak Metro Jaya dan langsung diterima Anton Sudjarwo. Tapi tuntutan mereka untuk merebut kembali beberapa jalan yang dua tahun sebelumnya telah tertutup bagi mereka seperti Jalah Gajah Mada, Hayam Wuruk, Majapahit -- gagal. Kendaraan bulan, begitu julukan yang diberikan warga Kota Jakarta bagi bemo, bajaj dan helicak, sejak dua tahun berselang memang telah berkali-kali terkena pembatasan ruang gerak. Mula-mula mereka harus menyingkir dari jalan protokol (Jalan Thamrin dan Sudirman). Berikutnya mereka juga harus melepaskan beberapa jalan lainnya. Tapi ketika pihak DLLAJR memasang larangan juga di Jalan Samanhudi, mereka protes. Mula-mula mereka mencopot tanda larangan itu beramai-ramai. Lalu secara demonstratif berbaris di beberapa jalan dan berkumpul di Lapangan Monas: menuntut jalan itu dibuka lagi bagi mereka, begitu juga jalan-jalan lainnya. Penyelesaian tercapai, setelah Kadapol Metro Jaya sendiri mencabut larangan bajaj memasuki Jalan Samanhudi. Demonstrasi juga dilancarkan beberapa pengemudi bajaj keesokan harinya di Jalan Tanah Abang I. Tapi aksi yang dianggap liar ini segera dibubarkan. Di Jakarta, kendaraan bulan sesungguhnya dipersiapkan untuk mengganti peranan becak yang telah disingkirkan dari beberapa jalan. Tapi karena becak belum mungkin dihapus sama sekali, sementara juga kendaraan lain (bis dan oplet/mikrolet) masih dianggap kurang, angkutan IV masih diberi kelonggaran untuk beroperasi di beberapa jalan penting. Tapi dengan kelonggaran ini, telah mnyebabkan jenis angkutan IV sering dipandang sebagai sumber kemacetan lalulintas. Mungkin karena kebiasaan pengemudinya menghentikan kendaraan di sembarang tempat. "Tapi setelah jenis angkutan umum lainnya sudah dirasa mencukupi, semua kendaraan jenis IV diharapkan menyingkir, hanya ke jalan-jalan lingkungan," tutur Kepala Humas DKI, Drs. Ramona Ginting. Menurut Ginting, suatu jalan dibebaskan dari angkutan IV ditentukan berdasarkan hasil studi DPU, DLLAJR dan Polantas. Hasil studi itu disampaikan kepada gubernur yang kemudian meneruskannya ke DPRD-DKI untuk disahkan. Ginting tak menjawab ketika ditanya, apakah larangan di Jalan Samanhudi itu sudah disahkan DPRD. "Yang penting larangan itu sudah dicabut," katanya. Sah & Liar Di Jakarta terdapat 11.000 kendaraan angkutan IV. Tapi menurut catatan Organda DKI, seluruhnya, termasuk yang tidak terdaftar pada organisasi ini, berjumlah sekitar 13.000 buah. Sebagian besar terdiri dari bajaj. Pemiliknya adalah perorangan yang menjadikannya sebagai salah satu sumber penghasilan tambahan. Si pemilik setiap hari memungut uang setoran dari pengemudi: Rp 3.500 hingga Rp 4.000 untuk bajaj, Rp 1.500 untuk helicak dan Rp 4.000 untuk bemo. Si pengemudi sendiri berpendapatan bersih antara Rp 1.000 hingga Rp 1.500 sehari. "Kendaraan-kendaraan itu kebanyakan dimiliki anggota ABRI," kata Hidayat, salah seorang pengemudi bajaj. Meskipun ruang geraknya semakin terbatas, jumlah kendaraan IV semakin bertambah. Khususnya bajaj. Sebab menurut Iing, seorang petugas di agen besar bajaj yang berkantor di Jalan Gajah Mada, Jakarta, "tiap hari rata-rata 15 buah bajaj terjual kontan." Harganya Rp 1.750.000. Tapi bagi mereka yang telah memiliki bajaj, diberi kesempatan untuk membeli secara kredit uang muka Rp 1.250.000 dengan cicilan Rp 56.000 sebulan, selama 20 bulan. Posisi angkutan IV memang semakin tejepit. Di satu pihak kendaraan umum lainnya, bis kota, taksi dan oplet/mikrolet, terus bertambah, di pihak lain becak belum mungkin dilenyapkan sama sekali. Artinya, operasinya di jalan-jalan penting terus didesak agar menyingkir ke jalan lingkungan, sementara di jalan terakhir ini deretan becak masih menghadang. Becak sendiri tidak mungkin dihapus secara serta merta. "Karena alasan kemanusiaan," kata Ramona Ginting. Tapi, keluh seorang pengemudi bajaj, "mengapa bukan dengan alasan kemanusiaan pula, kami dibiarkan di jalan-jalan penting?"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus