HUMOR ada di mana-mana. Barangkali itulah motto Lembaga Humor
Indonesia (LHI). Sejak gebrakan pertamanya, September 1979,
sampai kini hampir semua bidang kesenian dicoba
dihumor-humorkan. Seni lukis, tari, musik, wayang. Dan 27
Februari sampai 9 Maret ini di Galeri Baru Taman Ismail Marzuki
dipamerkan sejumlah keramik humor.
"Mulanya saya pesimis," tutur Arwah Setiawan, Ketua LHI, dengan
serius. Ceritanya, ketika gagasan Boedi Sr. -- bekas anggota
Srimulat yang kini hidup mandiri -- dicoba direalisasikan,
tanggapan para keramikus seret. Bahkan beberapa hari sebelum
pameran hanya beberapa peserta yang telah mengirimkan karya.
Agar pameran tak baul, Arwah sampai merencanakan: kalau memang
jumlah yang masuk sedikit, ruang pameran akan disekat.
Untung akhirnya tak perlu penyekatan ruangan. Sekitar 20 orang
(tak semuanya menggauli seni keramik benar-benar, tapi ada yang
pelukis, bahkan pelawak) ambil bagian.
Tak seperti ketika pameran kartun atau karikatur, suasana ruang
pameran tenang saja. Susah mencari pengunjung yang tertawa atau
bahkan tersenyum pun. Lho? Paling tidak itulah yang terjadi di
hari kedua. Begitu susahkah keramik dihumorkan?
Dalam pengantar di katalogus, A. Girindra, dosen seni keramik di
Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, menulis betapa yang disebut
seni keramik membutuhkan kesabaran si seniman. Seorang keramikus
"harus sabar mengikuti sifat tanah liat yang kadang karena
keliatannya ingin memberontak melawan kehendaknya," tulis
Girindra. Juga, dalam proses pembakarannya seorang keramikus
"harus bisa dengan kesabarannya menjinakkan api yang
meronta-ronta ingin membakar hangus segalanya." Wah.
Mulut Tertawa
Mungkin saja tuntutan kesabaran itu telah menyulitkan memasukkan
humor. Lihat saja karya Girindra sendiri. Sebuah deformasi
bentuk kepala orang, dengan mata sipit dan mulut yang entah
menangis atau tersenyum. Di kepalanya, pada hiasan yang mungkin
dimaksud sebagai topi, terukir gambar tengkorak dan dua tulang
bersilang. Kalau toh itu termasuk keramik lucu yang berhasil,
kelucuan di situ sangat bersifat fisik.
Dan sebagian besar karya keramik yang dipamerkan ini memang
begitu lebih mencoba mengeksploatir segi fisik daripada ide. Dan
yang paling banyak adalah bentuk mulut tertawa -- bagian dari
tubuh yang sangat vital hubungannya dengan humor.
Amrus Natalsja misalnya. Pematung ini menyuguhkan dua karya,
dua-duanya berjudul Figur. Dan dua-duanya mempertaruhkan mulut
figur yang menganga lebar sebagai pengundang tawa. Karya lain,
sebuah deformasi bentuk cangkir menjadi mirip wajah orang.
Lengkung tempat pegangan cangkir dipindahkan lebih ke atas. Di
kanan-kiri lengkung ditaruh benjolan, dimaksud sebagai mata.
Mulut cangkir tentu saja tak lagi persis bagian atas cangkir,
tapi merupakan bagian sampingnya. Dengan membentuk mulut itu
seperti mulut lagi menganga, memang inilah kemudian cangkir
tertawa.
Yang agak mengandung ide adalah karya Priyanto S. -- grafikus
yang lebih suka dijuluki tukang gambar. Dua pasang makhluk mirip
katak lagi berdiri merentang tangan. Dan -- ini lagi -- mulutnya
terbuka lebar. Yang agak lain dari karya Priyanto adalah
judulnya Minta Makan. Judul itu memberi sugesti, membantu orang
melihat humor di situ. Mirip dengan karya itu adalah karyanya
yang lain, yang berjudul I'm Here -- saya di sini. Hampir mirip
bentuk figurnya yang juga mirip katak, tapi mulut tak terlalu
lebar terbuka. Dan 'anu' makhluk itu tegak menantang. Dari
segi kualitas seni keramiknya pun, karya Priyanto terasa
luwes.
Sebuah potret figur badut mirip pelawak sirkus disuguhkan Beni
Sukarsa dari Balai Penelitian Keramik, Bandung. Seorang botak
berjubah, dan di satu sudut di sebelah kanan, jubah itu robek.
Dari robekan itu muncul dua atau tiga ekor tikus kecil. Dan
tentu saja mulut figur itu pun tertawa.
Itulah kira-kira beberapa karya yang agak jelas sengaja
mengundang tawa. Yang lain, yang mungkin bagus dilihat dari
sudut seni keramik, agak susah di cari letak humornya. Karya
Subrto dari Sekolah Tinggi Senirupa Indonesia ASRI, Yogya,
misalnya. Sebentuk cangkir yane- mengelupas dindingnya, dan
dinding itu menggeliat ke bawah membentuk sebuah lepek --
piring kecil pasangan cangkir. Atau Karya Munni Ardi yang satu
kandang dengan Broto. Munni menderetkan tiga kendi yang saluran
airnya telah diganti pipa ledeng. Judul karya ini Teknologi
Masuk Desa.
Tiba-tiba ini menjadi acara LHI yang paling susah menimbulkan
tawa. Atau para keramikus kita memang sulit berhumor. Dan
seperti pelawak yang gagal menggelitik penonton, lihatlah,
kebanyakan karya keramik itu sendirilah yang tertawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini