Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Keramik humor tertawa sendiri

Lhi menyelenggarakan pameran keramik humor di galeri baru tim menampilkan beberapa karya. sebagian besar karya mencoba mengeksploatir segi fisik dari pada ide. (sr)

7 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HUMOR ada di mana-mana. Barangkali itulah motto Lembaga Humor Indonesia (LHI). Sejak gebrakan pertamanya, September 1979, sampai kini hampir semua bidang kesenian dicoba dihumor-humorkan. Seni lukis, tari, musik, wayang. Dan 27 Februari sampai 9 Maret ini di Galeri Baru Taman Ismail Marzuki dipamerkan sejumlah keramik humor. "Mulanya saya pesimis," tutur Arwah Setiawan, Ketua LHI, dengan serius. Ceritanya, ketika gagasan Boedi Sr. -- bekas anggota Srimulat yang kini hidup mandiri -- dicoba direalisasikan, tanggapan para keramikus seret. Bahkan beberapa hari sebelum pameran hanya beberapa peserta yang telah mengirimkan karya. Agar pameran tak baul, Arwah sampai merencanakan: kalau memang jumlah yang masuk sedikit, ruang pameran akan disekat. Untung akhirnya tak perlu penyekatan ruangan. Sekitar 20 orang (tak semuanya menggauli seni keramik benar-benar, tapi ada yang pelukis, bahkan pelawak) ambil bagian. Tak seperti ketika pameran kartun atau karikatur, suasana ruang pameran tenang saja. Susah mencari pengunjung yang tertawa atau bahkan tersenyum pun. Lho? Paling tidak itulah yang terjadi di hari kedua. Begitu susahkah keramik dihumorkan? Dalam pengantar di katalogus, A. Girindra, dosen seni keramik di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, menulis betapa yang disebut seni keramik membutuhkan kesabaran si seniman. Seorang keramikus "harus sabar mengikuti sifat tanah liat yang kadang karena keliatannya ingin memberontak melawan kehendaknya," tulis Girindra. Juga, dalam proses pembakarannya seorang keramikus "harus bisa dengan kesabarannya menjinakkan api yang meronta-ronta ingin membakar hangus segalanya." Wah. Mulut Tertawa Mungkin saja tuntutan kesabaran itu telah menyulitkan memasukkan humor. Lihat saja karya Girindra sendiri. Sebuah deformasi bentuk kepala orang, dengan mata sipit dan mulut yang entah menangis atau tersenyum. Di kepalanya, pada hiasan yang mungkin dimaksud sebagai topi, terukir gambar tengkorak dan dua tulang bersilang. Kalau toh itu termasuk keramik lucu yang berhasil, kelucuan di situ sangat bersifat fisik. Dan sebagian besar karya keramik yang dipamerkan ini memang begitu lebih mencoba mengeksploatir segi fisik daripada ide. Dan yang paling banyak adalah bentuk mulut tertawa -- bagian dari tubuh yang sangat vital hubungannya dengan humor. Amrus Natalsja misalnya. Pematung ini menyuguhkan dua karya, dua-duanya berjudul Figur. Dan dua-duanya mempertaruhkan mulut figur yang menganga lebar sebagai pengundang tawa. Karya lain, sebuah deformasi bentuk cangkir menjadi mirip wajah orang. Lengkung tempat pegangan cangkir dipindahkan lebih ke atas. Di kanan-kiri lengkung ditaruh benjolan, dimaksud sebagai mata. Mulut cangkir tentu saja tak lagi persis bagian atas cangkir, tapi merupakan bagian sampingnya. Dengan membentuk mulut itu seperti mulut lagi menganga, memang inilah kemudian cangkir tertawa. Yang agak mengandung ide adalah karya Priyanto S. -- grafikus yang lebih suka dijuluki tukang gambar. Dua pasang makhluk mirip katak lagi berdiri merentang tangan. Dan -- ini lagi -- mulutnya terbuka lebar. Yang agak lain dari karya Priyanto adalah judulnya Minta Makan. Judul itu memberi sugesti, membantu orang melihat humor di situ. Mirip dengan karya itu adalah karyanya yang lain, yang berjudul I'm Here -- saya di sini. Hampir mirip bentuk figurnya yang juga mirip katak, tapi mulut tak terlalu lebar terbuka. Dan 'anu' makhluk itu tegak menantang. Dari segi kualitas seni keramiknya pun, karya Priyanto terasa luwes. Sebuah potret figur badut mirip pelawak sirkus disuguhkan Beni Sukarsa dari Balai Penelitian Keramik, Bandung. Seorang botak berjubah, dan di satu sudut di sebelah kanan, jubah itu robek. Dari robekan itu muncul dua atau tiga ekor tikus kecil. Dan tentu saja mulut figur itu pun tertawa. Itulah kira-kira beberapa karya yang agak jelas sengaja mengundang tawa. Yang lain, yang mungkin bagus dilihat dari sudut seni keramik, agak susah di cari letak humornya. Karya Subrto dari Sekolah Tinggi Senirupa Indonesia ASRI, Yogya, misalnya. Sebentuk cangkir yane- mengelupas dindingnya, dan dinding itu menggeliat ke bawah membentuk sebuah lepek -- piring kecil pasangan cangkir. Atau Karya Munni Ardi yang satu kandang dengan Broto. Munni menderetkan tiga kendi yang saluran airnya telah diganti pipa ledeng. Judul karya ini Teknologi Masuk Desa. Tiba-tiba ini menjadi acara LHI yang paling susah menimbulkan tawa. Atau para keramikus kita memang sulit berhumor. Dan seperti pelawak yang gagal menggelitik penonton, lihatlah, kebanyakan karya keramik itu sendirilah yang tertawa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus