Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SATU per satu Deputi Gubernur Bank Indonesia keluar dari ruang gubernur bank sentral di Menara Radius Prawiro, Kebon Sirih, Jakarta. Rombongan deputi gubernur itu—Muliaman Hadad, Halim Alamsyah, Budi Mulya, Ardhayadi, dan Hartadi A. Sarwono—baru saja usai menggelar rapat bersama Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution. "Raut muka mereka tegang dan hampir tak ada senyum," kata sumber Tempo di Jakarta pekan lalu.
Beberapa pegawai Bank Indonesia, kata si sumber, mengira pertemuan Jumat petang tiga pekan lalu itu membahas rencana rotasi lanjutan karyawan di level tengah. Beberapa pekan sebelumnya, Darmin memang mengocok ulang sebagian posisi pejabat setingkat direktur, kepala biro, dan wakil direktur. Ternyata persamuhan dewan gubernur selama lebih dari lima jam itu bukan membahas rotasi lanjutan para direktur dan wakil direktur, melainkan mengubah tugas Budi Mulya.
Darmin diketahui telah memangkas kewenangan Budi Mulya. Dulu pria kelahiran Bogor itu memiliki kewenangan mengelola devisa dan operasi kebijakan pasar terbuka—menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Tapi sekarang tidak lagi. Si jago operasi pasar—begitu para koleganya menyebut—hanya berwenang dan bertugas mengelola aset-aset BI, museum, dan kesekretariatan.
Karyawan Bank Indonesia kaget. Beberapa karyawan di sejumlah direktorat kasak-kusuk mencari bocoran. Hari semakin malam dan sebagian karyawan tak mendapatkan jawaban pasti. Semua karyawan BI baru mengetahui keputusan Gubernur Bank Indonesia pada Senin pagi. Dalam edaran internal yang diteken Darmin disebutkan urusan pengelolaan devisa diserahkan kepada Halim Alamsyah. Adapun urusan pengelolaan kebijakan operasi pasar terbuka diserahkan kepada Hartadi.
Pergeseran kewenangan dan tugas Budi Mulya, kata sumber Tempo tadi, menjadi topik paling hangat yang diperbincangkan karyawan bank sentral. Berbagai dugaan muncul. Apalagi saat itu seantero Bank Indonesia sedang meriang setelah muncul berita tentang hasil audit forensik Bank Century oleh Badan Pemeriksa Keuangan. BPK menemukan adanya dugaan aliran dana dari salah satu pemegang saham Century ke seorang Deputi Gubernur BI (Tempo 19-26 September 2011). Juru bicara Bank Indonesia, Difi A. Johansyah, tak mau memberikan komentar. "Tunggu penjelasan resmi dari Gubernur," katanya pekan lalu.
SEBUAH tugas diterima Badan Pemeriksa Keuangan dari tim pengawas kasus Century Dewan Perwakilan Rakyat pada Mei lalu. Auditor negara itu ditugasi mengurai motif keputusan pemberian suntikan dana talangan (bailout) Bank Century senilai Rp 6,7 triliun. Tim pengawas Century juga meminta BPK menelusuri aliran dana dari Century, yang mereka yakini mengalir ke orang-orang terdekat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Tim pengawas Century berharap audit forensik menemukan aliran dana ke Partai Demokrat, yang tidak ditemukan BPK saat menggelar audit investigasi dua tahun sebelumnya. Auditor BPK bekerja keras. Menurut seorang pemimpin BPK, lebih dari 80 juta transaksi di Century—sekarang Bank Mutiara—dipelototi. Dua jutaan transaksi di atas Rp 300 juta dari sekitar 5.000 rekening dipilah-pilah. Alih-alih mendapatkan bukti aliran dana ke Partai Demokrat, BPK malah mendapatkan temuan baru. Auditor BPK menemukan indikasi aliran dana dari Robert Tantular, bekas pemilik Century, senilai Rp 1 miliar ke Budi Mulya.
Awalnya para auditor BPK tak yakin dengan temuan mengejutkan tersebut. BPK bergegas berkoordinasi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Lembaga antipencucian itu berhasil mengendus jejak aliran dana tersebut. Walhasil, BPK yakin 100 persen bahwa kucuran uang dari Robert kepada Budi Mulya memang ada. "Sudah tuntas semua. Bahan sudah di tangan auditor," kata pemimpin BPK tadi. "Kami sekarang berfokus membuktikan aliran dana pasca-bailout."
Wakil Ketua BPK Hasan Bisri mengunci mulut saat ditanya tentang aliran dana ke Deputi Gubernur Bank Indonesia. "Saya belum bisa mengungkapkan itu sekarang. Saya berkomitmen dengan sumpah dan janji," ujarnya Selasa pekan lalu. BPK juga berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut sumber Tempo, KPK juga sudah melihat ada fakta kuat aliran dari Robert ke Budi Mulya. Aliran dananya terjadi sekitar September 2008.
KPK curiga karena waktu aliran dana dari Robert ke Budi Mulya berdekatan dengan upaya Bank Century meminta bantuan likuiditas kepada Bank Indonesia pada 30 Oktober 2008. Saat itu rasio kecukupan modal (CAR) Century melorot tajam menjadi 2,35 persen. Century mengalami kesulitan dana dan meminta pendanaan dari Bank Indonesia. Bank Indonesia memproses permohonan pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek buat Century. Padahal, sesuai dengan ketentuan BI, hanya bank dengan CAR minimal delapan persen yang bisa mendapatkan fasilitas tersebut.
Rapat dewan gubernur 13 November 2008 mengubah peraturan tersebut. Dalam aturan yang baru disebutkan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek bisa diberikan asalkan bank memiliki CAR positif. Fasilitas pendanaan senilai Rp 689 miliar ke Century pun mengucur dalam tiga tahap. Belakangan diketahui, sehari setelah mengajukan permohonan (31 Oktober 2008), posisi CAR Century sebenarnya minus 3,53 persen.
Bantuan fasilitas pendanaan Bank Indonesia tetap tak menolong. Perahu Century hampir karam. Bank Indonesia membawa Century ke Komite Stabilitas Sistem Keuangan. Berdasarkan persetujuan komite itu, Lembaga Penjamin Simpanan akhirnya mengucurkan dana talangan alias penyertaan modal sementara ke Century senilai Rp 6,7 triliun.
ISU panas aliran dana kepada Budi akhirnya sampai juga ke telinga Darmin. Sumber Tempo membisikkan, dalam rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada Jumat siang tiga pekan lalu, Darmin mendesak Budi Mulya menjelaskan uang dari Robert. Dengan bergetar, Budi menjelaskan kronologi transaksi itu. Budi mengakui menerima uang dari Robert sekitar Rp 1 miliar pada September 2008. Tapi, menurut dia, transaksi itu merupakan utang Budi kepada Robert untuk membantu bisnis seorang teman yang sedang mengalami kesulitan dana.
Pinjaman itu diberikan dalam bentuk cek yang dicairkan dan ditransfer lewat transaksi kliring. Empat bulan kemudian, pinjaman dikembalikan kepada Robert. Dengan alasan itu, Budi meyakinkan semua anggota dewan gubernur bahwa tak ada unsur suap atau gratifikasi. "Kalau punya niat melakukan praktek haram, mengapa saya cuma meminta sedikit (Rp 1 miliar) dan ditransfer dengan cara yang mudah dilacak. Kalau mau jahat, mengapa tidak tunai saja sehingga susah ditelusuri," ujar si sumber menirukan argumentasi Budi.
Meski Budi menjelaskan panjang-lebar, Darmin tetap mengambil keputusan. Bekas Direktur Jenderal Pajak itu menggeser Budi Mulya ke tempat lain: mengurusi museum, kesekretariatan, dan aset-aset bank sentral. Budi langsung minta cuti sepuluh hari.
Sebelum cuti, ujar sumber Tempo lainnya, Senin pagi dua pekan lalu, Budi Mulya memanggil anak buahnya. Di antaranya Direktur Pengelolaan Moneter Hendar, Kepala Biro Pengelolaan Moneter Filianingsih, Kepala Biro Operasi Moneter Budianto, dan Wakil Direktur Wahyudi. Di sana Budi menjelaskan rotasi yang menimpanya serta menjelaskan lagi soal pinjaman uang dari Robert.
Sumber Tempo di pemerintahan mengungkapkan, jauh sebelum rapat dewan gubernur Jumat tiga pekan lalu, Darmin mendatangi sejumlah koleganya, termasuk di kalangan pemerintahan. Darmin meminta masukan dalam kasus Budi Mulya. Salah satu rekomendasi itu adalah Darmin meminta Budi Mulya mengundurkan diri guna melokalisasi masalah di Kebon Sirih—sebutan untuk Bank Indonesia. Permintaan mundur disampaikan agar kredibilitas bank sentral terjaga. Tapi Darmin tak mengikuti rekomendasi itu. Ia hanya "memarkir" Budi ke bidang yang tak strategis. Darmin, sayangnya, belum mau menjawab pertanyaan Tempo. "Gubernur BI bilang ke saya, belum bisa menjelaskannya saat ini," kata Difi.
Budi Mulya juga belum bisa dimintai konfirmasi. Pertanyaan tertulis yang dikirim Tempo tak digubris, "Sudah saya sampaikan, tapi belum dibalas," kata Priyanto B. Nugroho, anggota staf khusus Budi Mulya di Bank Indonesia. Tempo sempat mendatangi rumah Budi di Jalan Panglima Polim III Nomor 147, Jakarta, untuk meminta wawancara. Tapi kandas. Petugas satuan pengamanan bernama Supardi mengatakan, "Bapak sedang ke luar rumah."
Sumber-sumber di lingkaran Budi Mulya hakulyakin bosnya tak punya motif memuluskan pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Century. "Dalam rapat-rapat penentuan FPJP Century, Budi Mulya bukan penentu kebijakan dan tak mendorong keputusan."
Segendang sepenarian, Robert Tantular mengatakan tak punya motif apa pun saat memberikan pinjaman kepada Budi Mulya. Pinjaman itu, kata Robert, diberikan sekitar Agustus 2008, sebelum masa pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek. "Century waktu itu masih sehat-sehat saja," kata Robert kepada Tempo di Jakarta pekan lalu (lihat "Budi Mulya Pinjam untuk Berbisnis").
Tapi penjelasan Robert dibantah sumber Tempo. Katanya, selama 2005 hingga Oktober 2008, Century sudah bermasalah—kekurangan modal dan keluar-masuk pengawasan BI. Bank Indonesia sudah berkali-kali meminta pemilik Century—Robert Tantular, Rafat Ali Rizvi, dan Hesham al-Waraq—menambah modal bank itu.
Sumber Tempo memaparkan, pinjaman Robert bermula dari sebuah proposal Budi Mulya pada pertengahan Agustus 2008. Budi mengajak Robert berbisnis. Mereka memang berkawan sejak 1998 (lihat "Hikayat Dua Sahabat"). Dalam proposal itu, bekas Direktur Perencanaan Strategis BI itu mengajukan pinjaman sekitar Rp 1 miliar untuk membebaskan lahan di Kuningan, Jakarta. Waktu itu, Budi melampirkan surat-surat putusan dari Mahkamah Agung atas status tanah tersebut.
Awalnya Robert tak merespons. Tapi, dua minggu kemudian, ia menghubungi Budi. Deal. Robert memberi pinjaman semiliar rupiah berbentuk cek. Cek itu dicairkan dan ditransfer lewat Century ke rekening Budi. Awal Januari 2009—pascapenyelamatan Century—Budi mengembalikan uang kepada Robert. "Dibalikin tunai. Duitnya dolar Amerika dan Singapura," kata sumber Tempo. Sekretaris Perusahaan Bank Mutiara Rohan Hafas mengatakan manajemen Mutiara belum tahu tentang transfer oleh Robert ke Budi Mulya itu. "Kami belum diberi tahu BPK," ujarnya pekan lalu.
Kini nasib Budi Mulya ada di tangan KPK. Menurut sumber Tempo, KPK sedang menelusuri motif pengucuran dana dari Robert kepada Budi. Lembaga antirasuah itu juga sedang menelusuri peran master ekonomi dari University of Illinois, Amerika Serikat, tersebut dalam rapat-rapat dewan gubernur di masa-masa pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek pada November 2008. Salah satunya rapat dewan gubernur yang dihadiri Budi Mulya pada 5 November 2008. Saat itu Bank Indonesia setuju menempatkan Century dalam pengawasan khusus. Rapat itu cikal-bakal pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek buat Century.
Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah enggan mengkonfirmasi temuan lembaganya. Saat ini, kata dia, penyelidikan sedang berjalan. "Kami sedang menyerap informasi dari banyak sumber. Soal materinya kami tak bisa sampaikan," katanya di Jakarta pekan lalu. Bila KPK berhasil membuktikan adanya rasuah itu, gempa tampaknya akan kembali mengguncang Kebon Sirih. Guncangannya bisa semakin hebat bila para politikus di Senayan ikut cawe-cawe (lihat "Budi Mulya Bukan Boediono").
Padjar Iswara, Agoeng Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo