Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Julukannya Raja Kayu Sumatera. Dia memang mirip ”raja”—bahkan ketika kembali sebagai pesakitan ke Medan, pada Sabtu dua pekan lalu. Satu brigadir jenderal—Johny Wainal, Wakil Kepala Polda Sumatera Utara—beserta 30 anak buahnya datang menjemput ke Bandara Polonia. Lalu, iring-iringan ketat polisi mengawalnya ke luar bandara, melintasi kota menuju gedung Direktorat Reserse dan Kriminal Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Utara.
Di situ, sang ”raja”, Adelin Lis, 49 tahun, dimasukkan ke sel di lantai dasar gedung. Pengusaha kayu terkemuka di Sumatera Utara itu kabur pada Februari lalu. Di ruangan seluas 16 meter persegi, perbawanya masih terlihat. Sel itu, yang biasa ditempati lima tahanan, ia huni sendirian. Diperlukan lima anggota Brigade Mobil bersenjata lengkap di tiga lapis pintu menuju sel itu.
Adelin Lis ditangkap di Beijing saat buronan polisi Sumatera Utara ini memperpanjang paspornya di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Dia berupaya kabur. Bermodal tangan kosong, empat staf KBRI yang mengawalnya melawan 20 kaki tangan Adelin. Terjadi baku hantam dan saling kejar sampai ke halaman Hotel Sheraton seusai petugas kedutaan mengantarkan Adelin mengecek jantungnya di sebuah klinik. Empat staf babak-belur. Tapi sang buron, yang masuk daftar pencarian orang (DPO) polisi Sumatera Utara, terpegang.
Dia dibawa kembali ke Jakarta dalam kawalan Konsul Kejaksaan KBRI Yan Maringka, dan langsung diterbangkan ke Medan. Pembekukan Adelin bisa menjadi lonceng yang mendebarkan para pembalak kakap. Sebagian dari mereka kini bebas melenggang di Indonesia. Ada yang kabur ke mancanegara: Hong Kong, Cina, Malaysia, Singapura.
Di tangan Menteri Kehutanan Malam Sambat Kaban, ada berpuluh nama pembalak—yang kelasnya, menurut Kaban, lebih kakap dari Adelin. ”Dia masih punya hak pengusahaan hutan (HPH). Mereka tak punya HPH, tapi menebang di mana-mana,” kata Kaban. ”Justru mereka yang harus ditangkap.”
Adelin Lis memang bukan target Departemen Kehutanan. Menurut Kaban, saat ini ada sekitar 50 cukong pembalak yang mestinya ditangkap polisi. Mereka beroperasi di Papua, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera. Daftar nama para pencoleng kayu itu disorongkannya ke tangan Kapolri Jenderal Sutanto dan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh setahun silam. Tapi belum ada di antara nama-nama itu yang digiring polisi ke penjara hingga sekarang.
Di antaranya, Ting Ting Hong, yang beroperasi di Papua, Palembang, Riau, Kalimantan. Lalu Abi Besok, yang rajin membalak sekaligus menyelundupkan hasil jarahannya ke Malaysia dari Riau. Silakan berkenalan dengan William Hendrik, pengusaha kayu asal Papua yang berjalin usaha dengan pemodal India dan Cina.
Menurut Kaban, para cukong itu tinggal di Hong Kong, Singapura, atau Malaysia. Mereka juga kerap keluar-masuk Indonesia. Itu sebabnya, sang Menteri mendesak agar polisi bergegas membekuk mereka.
Wilayah jarahan para kakap ini terentang dari Sumatera, Kalimantan, hingga Papua (lihat Sebuah Noktah: Adelin). Dalam hitungan Kaban, luas hutan yang mereka jarah sekitar 2,8 juta hektare. ”Kerugian negara per tahun sekitar Rp 45 triliun,” ujarnya kepada Tempo.
Luas hutan yang dibalak secara ”berjamaah” nyaris tak sebanding dengan areal operasi Adelin Lis di Taman Nasional Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara: 16 ribu hektare. Dalam perhitungan Tempo, nilai kerugian akibat pencurian kayu ditambah tunggakan provisi sumber daya hutan dan tunggakan dana reboisasi oleh Adelin sekitar Rp 4,3 triliun.
Lalu, dari mana datangnya angka Rp 227,02 triliun yang dirilis Departemen Lingkungan Hidup? ”Kami menghitungnya dari aspek ekologis dan biodiversity,” kata Dasru Chaniago, Kepala Bidang Penyidikan Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Rinciannya, menurut Dasru, mencakup kerugian nilai pencurian kayu, kerugian ekologis, serta biaya rehabilitasi lingkungan yang rusak.
Jika mengacu pada hitungan tersebut, angka kerugian sungguh spektakuler. Hampir lima kali lipat versi Departemen Kehutanan. Bandingkan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2005 sebesar Rp 377 triliun. Model penghitungan macam ini memang diatur oleh Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Alhasil, jika angka itu yang dipatok, inilah kasus pembalakan ”termahal” di Indonesia.
Kasus Adelin bermula dari laporan masyarakat ke Polda Sumatera Utara pada 2005. Sempat diselidiki, namun tak terdengar hasilnya selama beberapa waktu.
Pada Januari 2006, tim Mabes Polri turun ke Taman Nasional Batang Gadis. Dua minggu kemudian, Polda Sumatera Utara mengumumkan tiga perusahaan milik keluarga Adelin menjadi tersangka pembalakan hutan. Yakni PT Mujur Timber, PT Keang Nam Development Indonesia, PT Inanta Timber Trading.
Adelin, direktur dan komisaris di tiga perusahaan itu, ditetapkan sebagai tersangka. Juga Adenan Lis, kakak kandung Adelin, serta Lee Suk Man, warga Korea yang menjadi manajer lapangan Keang Nam. Pada 22 Februari 2006, Adelin Lis resmi dinyatakan sebagai buron.
Kepala Polda Sumatera Utara, Inspektur Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri, kemudian meminta Kementerian Lingkungan Hidup menghitung kerugian negara akibat perbuatan Adelin dan perusahaannya. ”Tim ahli Kementerian Lingkungan Hidup yang menentukan nilai kerugian,” kata Bambang Hendarso. Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) punya hitungan sendiri, yakni sekitar Rp 674 miliar (lihat tabel).
Taman Nasional Batang Gadis disebut-sebut sebagai hutan tropis terkaya di Sumatera. Menurut Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati), karakter alam taman nasional tersebut mewakili kekayaan alam dataran tinggi dan pesisir Sumatera. Di hutan seluas 108 ribu hektare itu hidup aneka ragam tanaman dan satwa endemis Sumatera seperti tapir dan gajah.
Tertangkapnya Adelin mengejutkan warga Sumatera Utara, khususnya Sibolga. Di ibu kota Kabupaten Tapanuli Tengah ini, keluarga Lis merupakan warga terpandang. Bisnis mereka luas, dari jaringan hotel hingga aneka usaha di sektor kehutanan.
Bisnis ini mulai dibangun oleh Acik Lis alias Ling Huang Sen, ayah Adelin, pada 1952. Dia mendirikan PT Mujur Timber dan membeli hak pengusahaan hutan (HPH) di Rantau Prapat, Bagan Siapiapi, dan Barumun.
Pada 1970-an, konsesi hutan Acik Lis di tiga wilayah itu berakhir. Mujur Timber kemudian membeli hak usaha hutan ke Tapanuli Tengah, kini bernama Kabupaten Mandailing Natal. Tahun 1978, keluarga ini mendirikan pabrik pengolahan kayu atau kilang kayu PT Mujur Timber. Adelin ditunjuk sebagai salah satu direktur. Bersama saudara-saudaranya, dia berhasil mengembangkan warisan ayahnya menjadi gurita usaha di Sumatera Utara.
Gurita ini mulai tersentuh pada 2005 ketika masyarakat mengadukan perambahan hutan Batang Gadis. Tim Mabes Polri berhasil menemukan bukti pembalakan oleh Keang Nam dan Inanta di areal hutan lindung tersebut. Polisi juga menemukan bukti Mujur Timber menampung kayu-kayu curian. Menurut Kapolda Bambang Hendarso, terjadi pula pencurian kayu di luar wilayah konsesi keluarga Lis—hasilnya diolah di induk perusahaan. Dari sini produksi tersebut ”dialirkan” ke luar negeri.
Sejak Adelin dan Adenan ditetapkan sebagai tersangka dan buron, tiga perusahaan mereka praktis berhenti beroperasi. ”Semua disita polisi. Pabrik, kapal tongkangnya, dan pasokan kayu terhenti,” kata Sakti Hasibuan, kuasa hukum keluarga tersebut.
Kesalahan yang dituduhkan kepada Lis bersaudara ini kian besar karena di lahan bekas garapan PT Keang Nam dan Inanta tidak dilakukan reboisasi seperti yang diwajibkan peraturan Menteri Kehutanan. Lahan itu justru diubah menjadi kebun kelapa sawit.
Jaringan pembalakan dengan cara tebas habis itu, kata Bambang Hendarso, modusnya sederhana saja, yakni memanipulasi surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH). ”Kedua perusahaan ini mendapatkan blangko kosong dari Dinas Kehutanan di Mandailing Natal,” kata Bambang kepada Tempo, pekan lalu.
Dengan blangko itu, mereka ”memutihkan” kayu-kayu hasil pembalakan dari sejumlah perusahaan lain dan para penebang liar. Dan bisa lolos ekspor. Sejumlah orang yang turut membantu pembalakan keluarga Lis telah divonis.
Antara lain, Nirwan Rangkuti, pegawai Dinas Kehutanan Mandailing Natal, dan Susilo Setiawan, Manajer Keang Nam. Jonis Purba, nakhoda kapal tunda milik Keang Nam, dibebaskan. Empat tersangka lain masih disidang. Di antaranya, Kepala Dinas Kehutanan Mandailing Natal, Budi Ismoyo. Ia didakwa melakukan korupsi dan merusak lingkungan.
Adelin, menurut Bambang, akan dijerat dengan sejumlah undang-undang. Dari pelanggaran pidana perambahan hutan, perusakan lingkungan hidup, hingga pencucian uang dan korupsi. ”Perkara korupsi berkasnya akan berdiri sendiri,” ujarnya. Dengan sangkaan ini, tampaknya Adelin bakal sulit lolos.
Di mata Menteri Kehutanan M.S. Kaban, jumlah kerugian negara yang disangkakan pada Adelin sungguh mencengangkan. ”Saya surprised,” ujarnya kepada Tempo. ”Polisi harus menjelaskan dari mana angka fantastis itu,” dia menambahkan.
Apalagi, menurut Kaban, Inanta Timber dan Keang Nam mengantongi izin hak pengusahaan hutan. ”Sejauh ini kami tidak menemukan pelanggaran oleh dua perusahaan itu,” kata Kaban, ”termasuk dugaan tidak menyetor dana reboisasi melalui rekening Menteri Kehutanan.”
Kaban menolak disebut membela Adelin. Dia hanya meminta agar polisi tidak melakukan diskriminasi dalam mengejar pembalak. ”Pemilik HPH bisa ditangkap, tapi yang tidak memiliki hak pengusahaan hutan malah tidak ditangkap,” kata Kaban.
Adelin sendiri berkukuh tak pernah menjarah seperti yang dituduhkan polisi. ”Saya tidak melakukan penebangan liar. Semuanya resmi,” kata Adelin seperti ditirukan Sakti Hasibuan kepada Tempo.
Perdebatan masih panjang karena akan berlanjut ke pengadilan. Dan akan lebih panjang lagi bila 50 nama di tangan Menteri Kaban mulai dijaring polisi.
Arif A.K., Maria Hasugian, Sahat Simatupang, Hambali Batubara (Medan)
Versi Kerugian
Rp 227,02 triliun
Kementerian Lingkungan Hidup (berdasar nilai ekonomis, ekologis, dan rehabilitasi lingkungan)
- PT Inanta Timber: Rp 225 triliun
- PT Keang Nam: Rp 2,02 triliun
Rp 674 miliar
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan PT Inanta Timber
- Tidak membayar provisi sumber daya hutan (PSDH) (2000-2005): Rp 256 miliar
- Tidak membayar dana reboisasi (DR): US$ 2 juta (sekitar Rp 18 miliar)
PT Keang Nam
- Tidak membayar PSDH: Rp 309 miliar
- Tidak membayar DR: US$ 2,9 juta (sekitar 26 miliar)
Rp 4,3 triliun
Perhitungan Tempo Berdasarkan nilai kayu yang dicuri dari lahan hutan lindung seluas 16 ribu hektare dengan asumsi sebagai berikut:
- Produksi kayu 50 meter kubik per hektare.
- Harga kisaran US$ 500 (Rp 4,5 juta) per meter kubik. Total nilai pencurian kayu Rp 3,6 triliun.
- Total tunggakan provisi sumber daya hutan dan dana reboisasi (2000-2005) Rp 674 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo