Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tersandung Silsilah Soeharto

Sepanjang 91 tahun hidupnya, Aloysius Sugiyanto menyebutkan ada dua tindakan yang menjadi kesalahannya. Pertama, saat ia menggiring Resimen Para Komando Angkatan Darat—kini Komando Pasukan Khusus—ke konflik Angkatan Darat dalam Peristiwa Kranji 1956. Kedua, saat majalah miliknya memuat artikel yang menyebut Presiden Soeharto sebagai keturunan Keraton Yogyakarta. Soeharto murka dan karier militer Sugiyanto mentok di kolonel.

23 November 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sidang Majalah Pop di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 22 Januari 1975./perpusnas

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berita itu dibawa Pemimpin Redaksi Majalah POP Rey Hanintyo saat saya sedang bersiap berangkat ke Timor Timur, Juni 1974. Dia mengabarkan bahwa Presiden Soeharto adalah keturunan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dari garis Sultan Hamengku Buwono II. Rey mengantongi informasi tersebut dari seorang wartawan perempuan asal Yogyakarta.

POP—singkatan dari Peragaan, Olahraga, dan Perfilman—adalah majalah hiburan yang saya dirikan. Sebelum membentuk POP, saya sempat menggarap majalah hiburan SFF atau Sport Fashion Film, yang menampung banyak artis. Namun, belum lama terbit, majalah itu dibredel karena diprotes pemuka agama Hindu. Mereka keberatan terhadap foto di SFF yang memperlihatkan seorang artis berpakaian terbuka sedang menaiki candi di Bali. Menjalankan media memang bukan tugas saya sebagai anggota Operasi Khusus (Opsus). Tapi, ya, sebagai bagian dari Opsus, saya harus bisa begitu.

Kabar tentang silsilah keluarga Pak Harto sendiri tak mengagetkan saya. Sebab, sudah ada desas-desus yang menyebutkan beliau masih keturunan Keraton Yogyakarta. Namun, karena isunya sensitif dan melibatkan orang nomor satu di Indonesia, saya meminta beritanya diembargo dulu. Setidaknya menunggu saya kembali dari Timor Timur. Saya juga meminta Rey mengkonsultasikan soal itu ke Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin).

Namun, saat saya di Timor Timur, artikel itu terbit, Oktober 1974. Mendadak sontak, berita itu membuat heboh. Saat kembali ke Jakarta, saya mendampingi delegasi Malaysia ke Bina Graha. Seusai konfrontasi, Indonesia dan Malaysia rutin bergantian mengirim delegasi untuk mempererat hubungan. Bardosono (Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan, lalu Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia 1975-1977) meminta saya, sebagai ketua umum majalah itu, minta maaf kepada Presiden secara tertulis. Dia yang bikinken. Pak Harto membaca, marah. Kata Bardosono, surat itu dicoret-coret. Semestinya saya minta maaf secara pribadi, bukan sebagai institusi.

Artikel di POP itu berjudul “Teka-teki Sekitar Garis Silsilah Soeharto”. Tulisan menyebut orang tua Soeharto adalah Raden Rio Padmodipuro dan Nyai Atmopawiro. Padahal selama ini presiden kedua RI itu diketahui lahir dari pasangan Kartoredjo dan Soekirah. Sementara Rio pangeran di Keraton Yogyakarta, Kartoredjo adalah ulu-ulu atau aparat pengairan Desa Kemusuk. Rio menitipkan anak dan istrinya ke Kartoredjo karena tak mau hubungan gelapnya diketahui orang. Abdi dalem Keraton Yogyakarta yang diwawancarai POP, Raden Wedono Sastroatmojo, mengatakan Rio tak pernah menafkahi anak-istrinya. Itu karena dia takut kepergok mertua dari istri keduanya.

Artikel itu mengusik Pak Harto. Beliau membantah pemberitaan itu. Kasus ini pun bergulir ke meja hijau. Kejaksaan sempat tiga kali memanggil, tapi tak pernah saya penuhi karena mengurus Timor Timur. Saya akhirnya datang sebagai saksi setelah diminta Pak Yoga Soegomo, Kepala Bakin. Sidangnya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat di Jalan Gajah Mada. Sebelum sidang jaksa memberi tahu, nanti ditanya ini, jawabnya ini. Rey dinyatakan bersalah dan dihukum tiga tahun. POP dibredel.

Pak Harto tidak pernah bilang apa pun kepada saya setelah kasus itu. Tapi saya menganggap hubungan kami tetap baik. Istri saya tetap diundang Bu Tien makan di Cendana, kediaman mereka. Bu Tien masih tergolong keponakan istri saya dari Keraton Mangkunegaran, Solo. Ketika Pak Harto meninggal pada 2008 pun saya datang melayat.

ISMA SAVITRI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus