Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 11 Maret 1966 pagi itu, Bung Karno cepat-cepat meninggalkan Istana Negara ke Istana Bogor. Sebab, saat dia memimpin sidang kabinet 100 menteri, ada pasukan liar di depan Istana. Itu sebenarnya pasukan Kostrad.
Pak Harto, yang saat itu sudah menjadi Panglima Angkatan Darat, mengirim utusan ke Bogor, menyatakan kesiapan memulihkan keamanan bila diberi surat tugas. Utusan itu Brigadir Jenderal Amirmachmud, Brigadir Jenderal Basuki Rahmat, dan Brigadir Jenderal M. Jusuf. Pak Harto menunggu di Kostrad.
Bung Karno setuju mengeluarkan surat perintah. Naskahnya diketik Ali Ebram, Asisten I Intelijen Tjakrabirawa, pasukan pengawal presiden. Dia mengetik dua lembar. Jadi berbagai versi Supersemar yang cuma satu lembar tidak benar. Bung Karno hanya mempercayakan surat itu dipegang M. Jusuf sebagai perwira paling muda. Ketiganya sampai di Markas Kostrad sekitar pukul 01.00, sudah berganti hari. Mereka bacaken isi surat itu kepada Pak Harto.
Sehabis dibaca, surat itu Pak Ali Moertopo ambil, diserahkan kepada saya untuk digandakan. Saya naik Jeep bersama seorang polisi militer. Dari Medan Merdeka Timur, saya ke Jalan Sabang karena di sana banyak tukang cetak. Tapi sudah tutup semua. Apalagi waktu itu berlaku jam malam.
Tapi, melihat berbagai versi Supersemar sekarang, tidak ada yang benar. Tanda tangan Sukarno pun ada yang beda. Arsip Nasional juga sudah menyatakan tidak ada Supersemar yang asli. Bagi saya, Supersemar yang asli harus dua lembar, seperti yang saya bawa malam itu.
Setelah muter-muter, saya teringat pada Jerry Sumendap, pemilik Bouraq Airlines dan pengusaha pelayaran. Dia juga anggota Operasi Khusus. Rumahnya di Menteng, dekat Gereja Theresia. Saya gedor-gedor pintunya. Begitu pintu dibuka, surat itu saya tempel di ruang tamu. Sumendap awalnya hendak memfoto surat itu, tapi tidak jadi setelah menghitung waktu proses pencetakan yang paling cepat satu hari. Akhirnya, dia mengambil kamera instan polaroid. Kameranya kecil, tidak seperti polaroid zaman sekarang. Saya potretkan. Jadi tiga atau empat foto. Lalu surat saya masukkan ke map dan cepat-cepat kembali ke markas karena sudah ditunggu.
Di Kostrad, yang menerima Supersemar adalah Pak Tjipto Azha, bendara Penentuan Pendapat Rakyat Irian Barat. Dia pendamping Pak Harto. Setelah itu, saya tidak pernah lihat surat tersebut lagi.
Saya sempat membaca surat itu, tapi tidak ingat betul isinya. Seingat saya, lembar pertama tentang perintah pengendalian keamanan karena, setelah pembunuhan para jenderal saat G-30-S, hanya Kostrad yang paling memiliki kemampuan itu. Lembar kedua berisi kewajiban melapor. Ya, seperti lazimnya panglima tertinggi memerintahkan bawahannya melaporkan kerja mereka. Tanda tangan Bung Karno di lembar kedua. Kira-kira begitu isinya. Yang jelas, ada dua lembar.
Bagi kami saat itu, surat perintah tersebut bukan sesuatu yang istimewa sehingga harus diperhatikan betul dokumentasinya. Seperti surat penugasan biasa saja. Apalagi saat itu belum ada Sekretariat Negara. Boro-boro terpikir mau menyimpannya untuk bukti sejarah.
Tapi, melihat berbagai versi Supersemar sekarang, tidak ada yang benar. Tanda tangan Sukarno pun ada yang beda. Arsip Nasional juga sudah menyatakan tidak ada Supersemar yang asli. Bagi saya, Supersemar yang asli harus dua lembar, seperti yang saya bawa malam itu.
REZA MAULANA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo