Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tersebab Nama dan Aksi 212

31 Desember 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UPAYA menggalang dukungan publik itu dilakukan Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Komisi Pemberantasan Korupsi tiga bulan setelah Novel Baswedan disiram air keras. Koalisi yang terdiri atas sejumlah lembaga nirlaba ini berusaha meyakinkan publik bahwa teror terhadap penyidik KPK pada 11 April 2017 itu adalah serangan terhadap pemberantasan korupsi.

Menurut salah seorang anggota Koalisi, Alghiffari Aqsa, mereka menghimpun dukungan dengan mengontak berbagai individu dan kelompok masyarakat. "Tapi ternyata kurang ngangkat," kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta itu, Kamis pekan lalu.

Salah satu penyebabnya, kata Alghiffari, adanya nama Baswedan di belakang Novel. Serangan terhadap Novel terjadi sembilan hari sebelum pemungutan suara pemilihan Gubernur DKI Jakarta, yang diikuti sepupu Novel, Anies Baswedan. Pada pemilihan itu, Anies menang, tapi banyak dikritik lantaran dianggap mengusung politik identitas dan memberi angin kepada kelompok Islam konservatif.

Di suatu grup percakapan WhatsApp, kata Alghiffari, ada yang mengaitkan manuver politik Anies dengan Novel. "Seolah-olah membela Novel sama saja mendukung Anies," ujar Alghiffari, yang juga salah seorang kuasa hukum Novel. Koalisi mengambil kesimpulan, jangan-jangan karena hal tersebut, kampanye melawan teror terhadap Novel sepi dari sokongan. Maka Koalisi mengubah nama Novel Baswedan dengan "Novel KPK" dalam kampanyenya.

Tapi upaya itu, menurut Alghiffari, tak membuahkan hasil. Sejumlah orang telanjur menuduh Novel bagian dari kelompok Islam konservatif. Salah satunya, kata dia, karena penampilan Novel yang memelihara janggut dan kerap mengenakan gamis serta celana cingkrang-hal yang kerap diidentikkan dengan konservatisme. Selain itu, Novel bergabung dalam aksi "212", demonstrasi menuntut Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama, diproses secara hukum karena dituduh menista agama.

Anggota lain koalisi ini, Dadang Tri Sasongko, membenarkan ada suara-suara yang menggiring opini Novel bagian dari Islam konservatif. "Hanya karena melihat penampilan Novel," katanya.

Novel mengakui turun ke jalan pada 2 Desember 2016 itu. "Tapi bukan karena kepentingan politik," ujarnya. "Saya datang karena merasa kecewa dan dilecehkan." Ihwal cap Islam konservatif, Novel mengatakan hanya menjalankan ajaran agama. "Saya tak tahu apa itu Islam konservatif. Apakah kalau saya rajin melakukan salat dan mengaji dicap konservatif?"

Menurut Novel, dengan menjalankan ajaran agama, ia memiliki keberanian dalam memberantas korupsi. "Kalau yakin dibela Allah, saya akan berani," ujarnya. "Kalau punya religiositas, pasti akan berani, apa pun agamanya." Karena itu, kata Novel, KPK rutin menyelenggarakan siraman rohani bagi pegawainya. Tak hanya bagi pegawai beragama Islam, tapi juga untuk yang beragama lain. "Kami membutuhkan dukungan spiritual."

Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengatakan penyelenggaraan pengajian di KPK dilaksanakan Badan Amal Islam KPK dan diketahui sekretaris jenderal serta pemimpin KPK. Penceramahnya ustad dari berbagai organisasi Islam, termasuk Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Syarif menampik kabar bahwa pengajian tersebut menyebabkan sejumlah pegawai KPK cenderung "kanan". "Saya pikir tidak ada masalah dengan kegiatan keagamaan di KPK," ujarnya. "Agama lain pun aktif melakukan ibadah dan siraman rohani mingguan."

Alghiffari Aqsa menilai alasan sejumlah pihak enggan mendukung kliennya gara-gara tuduhan konservatif itu tak masuk akal. Sebab, hal tersebut tak berhubungan dengan tugas Novel dalam memberantas korupsi. "Kalaupun konservatif, selama berada di wilayah privat, kan, tak apa-apa," katanya. "Yang penting, dia bukan intoleran."

Anton Septian, Syailendra Persada


Bukan serangan Biasa

Polisi tak kunjung menangkap pelaku penyiraman air keras ke wajah penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, pada 11 April 2017. Penyidik Kepolisian Daerah Metro Jaya baru sebatas melansir sketsa terduga pelaku sebulan lalu. Novel berkeyakinan teror itu berhubungan dengan kasus korupsi yang ditanganinya. Belakangan, polisi juga menelisik hubungan teror itu dengan kasus yang dipegang Novel dalam beberapa bulan terakhir.

Megakorupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP)
» Nilai proyek: Rp 5,9 triliun
» Kerugian negara: Rp 2,3 triliun
» Tahun anggaran: 2011-2012
» Pihak terkait: Dewan Perwakilan Rakyat, Kementerian Dalam Negeri, rekanan proyek

Aliran duit, antara lain:
» Jatah pejabat Kementerian Dalam Negeri: Rp 365,4 miliar
» Anggota Komisi Pemerintahan DPR 2009-2014: Rp 261 miliar
» Setya Novanto (Ketua Fraksi Golkar DPR 2009-2014) dan Andi Narogong (pengusaha) : Rp 574,2 miliar
» Setya Novanto membantah menerima uang itu, sedangkan Andi mengakuinya dan akan mengembalikannya ke KPK
» Anas Urbaningrum (Ketua Fraksi Demokrat DPR 2009-2014) dan Muhammad Nazaruddin (Bendahara Umum Demokrat): Rp 574,2 miliar
» Anas membantah, sedangkan Nazar membenarkan partainya menerima uang

Suap rancangan peraturan daerah reklamasi Teluk Jakarta
» Nilai suap: Rp 2 miliar
» Penerima: Mohamad Sanusi, Ketua Fraksi Gerindra Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta; sudah divonis 7 tahun penjara
» Pemberi: Ariesman Widjaja (Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Tbk; sudah divonis 3 tahun penjara), Trinanda Prihantoro (Personal Assistant PT Agung Podomoro Land; sudah divonis 2 tahun 6 bulan penjara)

Sempat dicegah ke luar negeri:
» Sugianto Kusuma alias Aguan pemilik Agung Sedayu Group
» Sunny Tanuwidjaya, anggota staf khusus mantan Gubernur DKI Jakarta

Suap uji materi aturan impor daging sapi
» Nilai suap: US$ 10 ribu
» Penerima: Patrialis Akbar, hakim Mahkamah Konstitusi; sudah divonis 8 tahun penjara
» Pemberi: Basuki Hariman (pengusaha impor daging; sudah divonis 7 tahun penjara), Ng Fenny (anggota staf keuangan perusahaan Basuki; sudah divonis 5 tahun penjara)
» Keterangan: Sempat beredar kabar Novel akanmembongkar kasus baru ini padahal dia bukan anggota tim

Suap pengurusan perkara
» Nilai suap: Rp 100 juta serta US$ Rp 50 ribu dan Rp 50 juta
» Penerima: Edy Nasution, panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
» Pemberi: Doddy Aryanto Supeno, pegawai di salah satu anak usaha Lippo Group; sudah divonis 4 tahun penjara
» Tersangka: Eddy Sindoro, komisaris anak usaha Lippo Group
» Dicegah ke luar negeri: mantan sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi

Terduga dalam Sketsa

Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Idham Azis pada akhir November 2017 mengumumkan dua sketsa wajah terduga pelaku penyiraman Novel. Dari penelusuran Tempo, sejumlah saksi penting di lapangan mengatakan sketsa itu tak sesuai dengan keterangan mereka.

Pria di rumah Novel (versi polisi)
Pria ini mendatangi rumah Novel sepekan sebelum penyiraman. Gerak-geriknya terekam kamera pengintai rumah Novel, yang sudah diperiksa polisi.

Sketsa versi Tempo (dari keterangan saksi)
Sketsa sudah dibuat di Koran Tempo dengan judul "Dicari", edisi 31 Juli 2017

Pria di sekitar masjid (versi polisi)
Sosok laki-laki ini mondar-mandir di sekitar Masjid Al-Ihsan pada siang hari beberapa hari sebelum penyiraman.

Sketsa versi Tempo (dari keterangan saksi)
Sketsa sudah dibuat di Koran Tempo dengan judul "Penyerangan Novel Diduga Sistematis", edisi 1 Agustus 2017

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus