Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Darurat Militer Sampai ke Jakarta

Perang ternyata tak hanya di Aceh. Di Jakarta, Gubernur Sutiyoso meminta aparat di bawahnya mengawasi gerak-gerik orang Aceh. Tangkap dulu, urusan belakangan.

1 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGAPA kami dilahirkan sebagai orang Aceh?” kata Yudi Effendi, 30 tahun. Pria asal Aceh Barat itu seperti menyesali diri karena mendapat perlakuan berbeda dari warga masyarakat lainnya. Betapa tidak, Yudi dan tiga temannya yang tinggal di rumah kontrakan berukuran 7 x 7 meter di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, dipaksa melapor ke Kelurahan Pela Mampang, Senin pekan lalu. ”Padahal saya sudah hampir delapan tahun bekerja di Jakarta,” kata Yudi.

Rumah kontrakan tersebut kebetulan milik ketua RT setempat. Supiyono, sang ketua RT, rupanya tak ingin direpotkan karena ”menyimpan” orang Aceh. ”Prinsip saya, sedia payung sebelum hujan,” Supiyono berperibahasa, kepada Yandhrie Arvian dari Tempo News Room. ”Saya yang meminta mereka segera melapor ke lurah,” ia menambahkan. Ketua RT itu mengaku, sikap waspada ditujukan bagi warga Aceh, baik penduduk lama maupun pendatang baru. ”Pesta ulang tahun saja gak boleh, harus lapor ke RT/RW,” katanya.

Perlakuan Supiyono tak lepas dari hasil pertemuan para ketua RT dan ketua RW dengan Lurah Pela Mampang, Jumat sebelumnya. Dalam pertemuan itu sang lurah, Syamsul Bachri, mengungkap instruksi Wali Kota Jakarta Selatan, Dadang Kafrawi, yang memanggil lurah, camat, dan para kepala suku dinas di Jakarta Selatan, mengikuti imbauan Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso. ”Waspada kalau wilayah kami disusupi anggota GAM yang dikhawatirkan ada di Jakarta,” kata Syamsul.

Yang masuk dalam kategori ”dicurigai” dalam pertemuan itu, menurut Syamsul, misalnya ada pertemuan malam-malam lebih dari sepuluh orang, tanpa pemberitahuan kepada RT/RW. Apalagi jika pokok bahasannya tak jelas, dan di antara hadirin terdapat bukan warga setempat. ”Kalau ada, akan ditanya, apa arisan atau pertemuan keluarga. Tapi bukan berarti ditangkap. Hanya antisipasi keamanan di wilayah,” Syamsul menjelaskan.

Memang, bak menyambut gayung Keppres No. 28 Tahun 2003 tentang operasi terpadu di Aceh, Gubernur Sutiyoso dalam pertemuan sehari sebelumnya meminta aparat bawahannya meningkatkan kewaspadaan dan mengantisipasi kemungkinan ancaman di wilayah masing-masing. Gubernur meminta aparatnya menggeledah rumah kos, rumah kontrakan, apartemen, pokoknya tempat yang mungkin digunakan pelarian anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bersembunyi.

Di tingkat bawah, Camat Mampang Abdurrohim dalam pertemuan dengan para lurah, ketua RW, ketua RT, dan aparat keamanan setempat meminta agar langsung menangkap orang asing yang gerak-geriknya mencurigakan. ”Tangkap dulu, urusan belakangan,” kata Abdurrohim, seperti ditirukan sumber TEMPO yang menghadiri pertemuan itu. Namun seorang polisi yang juga hadir mengingatkan Camat agar tak sembarangan menangkap orang tanpa bukti pendahuluan.

Jadi, bisa dipahami kalau ketua RT seperti Supiyono meminta warganya melapor ke kelurahan. ”Kami bukan takut ditangkap aparat,” kata Yudi. ”Kami justru lebih khawatir sikap dan penilaian warga setempat, hanya karena kami dari Aceh.” Bagi Yudi, wajib lapor atau pendataan adalah konsekuensi situasi seperti sekarang. Tapi ia juga tidak ingin dicurigai terus-menerus oleh warga setempat. ”Kalau bisa, Pemda DKI tidak terlampau berlebihan dalam mengawasi kami, apalagi kalau sampai ada intimidasi,” ia berharap.

Yudi dan teman-temannya tak ingin ada perlakuan tak adil cuma karena mereka dari Aceh. ”Kami ini kan hanya cari makan di sini, karena itu kami meminta perlakuan yang sama sebagai warga negara Indonesia,” Zulfikar, teman Yudi, menimpali. Pemuda yang baru dua tahun di Jakarta ini malah merasa lebih aman setelah melaporkan kehadirannya ke kelurahan. ”Lebih baik kami melapor, toh kami tidak pernah tersangkut paut dengan GAM,” katanya.

Instruksi Gubernur Sutiyoso kepada aparat bawahannya itu tak urung dikecam anggota DPR Fraksi Reformasi asal Aceh, Ahmad Farhan Hamid. Menurut Farhan, menetapkan warga Aceh sebagai target yang perlu diwaspadai di Jakarta merupakan kebijakan pemerintah yang bodoh. ”Ini dapat menanamkan benih disintegrasi yang besar,” kata Fahran kepada Cahyo Junaedi dari TEMPO. ”Seharusnya kasus Aceh dilihat dengan kacamata kebangsaan. Dalam kasus perang di Aceh sekarang ini, bukan warga Aceh saja yang bersalah,” ia menambahkan.

Menurut Farhan, kalau instruksi Gubernur itu dimaksudkan mencegah masuknya pelarian anggota separatis bersenjata asal Aceh ke Jakarta, pemerintah dapat menggunakan mekanisme dan aparat hukum yang ada. ”Instruksi seperti itu tak harus dilakukan secara terbuka, yang mengesankan semua warga Aceh bersalah. Kalau seorang pejabat mengeluarkan instruksi waspada pada salah satu suku yang ada Jakarta, itu kan pikiran rasial,” katanya.

Farhan mengaku sakit hati. ”Sutiyoso tak hanya harus mengklarifikasi, tetapi meminta maaf kepada bangsa ini, tidak hanya kepada warga Aceh,” katanya. Ia melihat perlakuan itu seperti memercikkan disintegrasi antar-anggota masyarakat di Indonesia. Farhan khawatir pola yang sama ditiru oleh pejabat lain untuk suku-suku bangsa yang wilayahnya sedang bergolak. ”Ini seperti menanam benih disintegrasi yang luar biasa besar dampaknya,” ujar Farhan.

Mantan Menteri Negara Hak Asasi Manusia, Hasballah M. Saad, juga menilai instruksi Gubernur Sutiyoso tak bijak. ”Masyarakat Aceh saat ini sedang susah,” katanya. ”Dengan pernyataan seperti itu, kehidupan mereka akan semakin terpojok. Padahal tidak ada hubungannya warga Aceh di Jakarta dengan gerakan bersenjata di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,” Hasballah menambahkan.

Teuku Safli Didoh, Ketua Taman Iskandar Muda—paguyuban warga Aceh dengan 33 cabang di Indonesia—berharap instruksi Gubernur Sutiyoso tak langsung ditindaklanjuti tindakan berlebihan terhadap masyarakat Aceh di Jakarta. ”Kami tahu pemerintah mempunyai itikad baik menyelesaikan kasus Aceh,” katanya. ”Tetapi, kalau keadaannya seperti yang diinstruksikan Gubernur Sutiyoso, kami akan berpikir ulang. Kalau alasannya mencegah tokoh-tokoh GAM yang lari, kan dapat dilakukan dengan cara lebih baik, tidak asal menggeledah tempat warga Aceh tinggal.”

Selasa pekan lalu Teuku Safli menemui Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, Inspektur Jenderal Makbul Padmanagara, untuk menanyakan instruksi Gubernur itu. Apalagi Makbul juga sebelumnya menyatakan ada 18 titik rawan, tempat tinggal warga Aceh yang perlu diawasi. Kepada pengurus paguyuban itu, beberapa warga Aceh di Jakarta mengeluhkan perlakuan polisi saat melakukan pendataan. Di Pasar Minggu, Kebayoran Baru, dan Mampang, Teuku Safli mendapat laporan ada beberapa oknum aparat yang gaya bertanyanya mengintimidasi. ”Memang, sih, belum sampai ke penahanan atau penangkapan, tapi cukup meresahkan,” kata Safli. Ia menganjurkan agar masyarakat Aceh di Jakarta tak reaktif terhadap tindakan oknum-oknum itu.

Setelah pertemuan Kapolda dengan pengurus Taman Iskandar Muda, instruksi memata-matai warga Aceh diralat. ”Penetapan siaga satu itu bukan untuk warga Aceh saja,” tutur Safli. ”Masyarakat diminta meningkatkan kewaspadaan di tempat tinggal masing-masing. Jadi tak ada kebijakan resmi Polda untuk mendata secara khusus warga Aceh yang ada di Jakarta.”

Juru bicara Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Prasetyo, mengakui ada pengawasan yang lebih setelah keputusan presiden untuk operasi terpadu di Aceh. ”Polisi juga melakukan pengawasan dengan menerjunkan pasukan un-uniformed atau intel,” katanya. ”Mereka akan membantu melakukan pengumpulan bahan keterangan dan deteksi dini di lapangan. Misalnya massa mayoritas yang berkumpul di daerah tertentu.”

Selain itu, menurut Kombes Prasetyo, polisi memeriksa kartu tanda penduduk mereka yang melaporkan diri. ”Mesti disesuaikan foto dengan wajah aslinya. Kami juga sharing dengan polisi Aceh, sehingga Polda Metro Jaya bisa melakukan upaya represif terhadap orang-orang yang sudah diketahui melakukan tindak kriminal,” ujar Prasetyo. Hasilnya, polisi mendapatkan Irwandi Yusuf, yang diduga juru propaganda GAM, wakil Sofyan Daud, yang ditangkap di Cipinang, Jakarta Timur, Senin pekan lalu.

Cara Gubernur Sutiyoso menginstruksikan pengawasan warga itu serupa dengan niat Kepala Badan Intelijen Negara, A.M. Hendropriyono, yang dilontarkan di depan Komisi Pertahanan DPR, November lalu: membentuk badan koordinasi intelijen daerah yang diketuai gubernur. Ketua MPR, Amien Rais, khawatir pada rencana perluasan kelembagaan badan intelijen ini. ”Itu bisa memunculkan potensi membahayakan kepentingan publik,” kata Amien. ”Nantinya semua orang akan merasa takut dan tak lagi mempunyai kebebasan bergerak dan berekspresi.” Dan kini, darurat militer rupanya tak hanya ada di Aceh, tapi juga sampai ke Jakarta.

Ahmad Taufik

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus