Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIKA Jenderal Dwight D. Eisenhower dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat ke-34 pada 22 Januari 1953, Douglas MacArthur hanya menontonnya di pesawat televisi di rumah. Namun, pensiunan jenderal, pahlawan Amerika pada Perang Dunia II, dan senior sekaligus mentor Eisenhower itu tak kecewa. Ia merasa sudah cukup puas sebagai guru yang bisa mengantar menuju puncak tertinggi yang bisa dicapai seorang murid.
Entah apa yang ada dalam hati T.B. Silalahi ketika Rabu pagi pekan lalu ia menonton pelantikan Susilo Bambang Yudhoyono di gedung MPR/DPR melalui layar televisi di kediamannya di kompleks Patra Kuningan, Jakarta Selatan. Yang jelas, pensiunan jenderal ini akan marah kalau ada yang menganggapnya kecewa hanya karena tak diundang menyaksikan upacara pengukuhan itu.
Apalagi jika sampai ada yang menghubung-hubungkannya dengan penyusunan kabinet, yang memberi amat sedikit posisi pada kawan-kawan seiring sang Presiden di tim pemenangan. Sebagai orang paling senior di tim sukses SBY, kata Silalahi kepada Tempo, pada suatu hari di bulan Februari lalu ia pernah mengumpulkan 70-an anggota tim, baik yang berasal dari kalangan militer maupun sipil, di Hotel Le Meridien, Jakarta.
Kepada mereka ia bertanya, apakah ada di antaranya yang memiliki pamrih dengan bergabung ke dalam tim. "Tak satu pun mengaku menginginkan jabatan tertentu," katanya. "Semua mengaku sebagai relawan karena terdorong idealisme." Silalahi sendiri sejak awal memastikan kepada Yudhoyono, sekalipun ditawari, ia tak akan mau. "Saya sudah tua, tak akan mampu lagi," kata mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara di masa Soeharto itu.
Memang, tak semua bisa legowo seperti Silalahi. "Kami kecewa, kecewa berat. Kader yang kami rekomendasikan hanya satu yang dipakai," kata Syarief Hassan, salah satu Ketua Partai Demokrat, setelah menghadiri rapat di gedung MPR/DPR, Jakarta, Kamis pekan lalu. Sekretaris Fraksi Partai Demokrat, Sutan Bhatoegana, menambahkan, sebagian besar kader partai kecewa dengan kabinet yang disusun SBY.
Beberapa waktu sebelumnya, partai merekomendasikan sembilan orang untuk diseleksi menjadi menteri: Subur Budhisantoso, Irsan Tandjung, Rusli Ramli, Rizal Maxrompas, Sutan Bhatoegana, E.E. Mangindaan, Syarief Hassan, Ahmad Mubarok, Taufik Effendi. "Cuma Taufik Effendi yang jadi," kata Sutan. "Jero Watjik memang dari Demokrat, tapi kami tak tahu dia masuk dari mana."
Ia membandingkannya dengan porsi yang diperoleh Partai Bulan Bintang, yang dalam pemilu legislatif memperoleh jauh lebih sedikit suara dibandingkan dengan Demokrat. Mereka pun berencana menanyakan soal ini ke Yudhoyono. Upaya menyampaikan unek-unek kepada SBY bukannya tak pernah dilakukan sebelum kata putus soal kabinet diambil. Beberapa orang di lingkaran dalam sang Presiden bercerita, tiga hari sebelum pelantikan, bahkan Suko Sudarso, salah seorang tokoh di tim sukses, sempat bersitegang dengan SBY di Cikeas. Keesokan harinya, giliran Joyo Winoto yang mengungkapkan berbagai ganjalan dalam dirinya.
Sebagai bos Brighten Institute, yang selama ini menggodok banyak konsep bagi SBY, Joyo kecewa karena banyak komitmen yang tak tecermin dalam struktur kabinet yang disusun. "Dia kecewa karena tim ekonomi yang disusun tak menunjukkan kesungguhan Yudhoyono seperti yang ia ungkapkan sendiri melalui disertasi doktoralnya di Institut Pertanian Bogor," kata sumber yang setiap hari bergabung di Cikeas dengan tim sukses. Dalam disertasinya, Yudhoyono menyoroti masalah revitalisasi pertanian dan ekonomi pedesaan dari tinjauan kebijakan fiskal.
Joyo sendiri memilih bungkam soal ini. Mereka yang ditemui di Istana Negara seusai pelantikan memilih menghindar dari pertanyaan wartawan. Sama halnya dengan Suko, yang pada malam seusai pelantikan masih menyempatkan datang untuk memberi selamat kepada Yudhoyono di Istana. "Lihat saja nanti. Kita serahkan pada beliau," kata Joyo. Jelas sekali mereka tetap berupaya menjaga hubungan dengan Yudhoyono.
Y. Tomi Aryanto, Fajar W.H., Hanibal W.Y.W.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo