Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SOSIOLOG Universitas Indonesia, Imam B. Prasodjo, tak bisa menahan rasa kecewa. Penggiat Yayasan Nurani Dunia itu rupanya masygul akan komposisi kabinet yang baru diumumkan Presiden Yudhoyono. Karena ia tak masuk? Bukan. "SBY membuat langkah awal yang tak impresif," katanya. "Kabinetnya sungguh tak meyakinkan."
Imam menyebut SBY cenderung mengutamakan loyalitas ketimbang kompetensi. Pelbagai pos penting di bidang politik, hukum, dan keamanan diisi oleh tokoh yang dikenal sebagai "all the president's men". Publik tak melihat prestasi dan pemikiran mereka yang cukup menonjol.
Imam, misalnya, meragukan kemampuan Laksamana (Purn.) Widodo Adi Sucipto. Meski sempat menjadi Panglima TNI (1999-2002), menurut Imam, prestasi Widodo tak terlalu menonjol. Dalam kasus konflik Ambon yang telah merenggut 8.000 nyawa, misalnya, peran Panglima TNI Laksamana Widodo tak terlalu signifikan. Tapi beban terberat kini justru jatuh di pundak Widodo.
Pria kalem kelahiran Boyolali, Jawa Tengah, 60 tahun silam ini dipercaya Presiden Yudhoyono menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Alumnus Akademi Angkatan Laut 1968 ini akan membawahkan Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Panglima TNI, Jaksa Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kepala Polri, serta Kepala Badan Intelijen Negara.
Segudang persoalan berat telah menanti para menteri bidang politik, hukum, dan keamanan ini. Ancaman disintegrasi di Aceh dan Papua, aksi terorisme, serta kanker korupsi yang menggerogoti keuangan negara hanyalah sebagian persoalan yang menghadang. Toh, Imam masih memberikan peluang kepada Widodo.
Agar dapat mendongkrak kinerjanya, Widodo diminta membentuk tim ahli yang meliputi para pemikir dari kalangan militer dan sipil. Widodo juga seyogianya mengangkat sekretaris dari militer yang memiliki karakter kuat, yang diharapkan mampu menambal kelemahan Widodo. "Seperti Menteri Koordinator Politik dan Keamanan SBY yang mengangkat Letjen TNI (Purn.) Sudi Silalahi sebagai sekretarisnya," kata Imam.
Pengamat politik dan militer CSIS, J. Kristiadi, punya pendapat yang agak lunak. Ia meminta masyarakat memberikan kesempatan kepada tim yang dipimpin Widodo. Kristiadi berharap, pengalaman Widodo A.S. selama berkarier di militer akan membantunya mengatasi segudang masalah. Syaratnya, ujar Kristiadi, "Pak Widodo harus berani mengambil keputusan dengan tegas."
Widodo juga harus berpacu dengan waktu. Masyarakat berharap tim ini mampu memberikan kejutan dalam 100 hari pertama kerja kabinet. Dalam rapat koordinasi pertama di Kantor Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan di Jalan Merdeka Barat, Widodo A.S. menyatakan persoalan konflik di Nanggroe Aceh Darussalam menjadi agenda utama. Maklum, konflik di Aceh telah menyedot keuangan negara begitu besar.
Departemen Keuangan menyatakan operasi militer saat darurat militer dan darurat sipil di Aceh telah menyedot anggaran Rp 2 triliun. Terkurasnya dana sebesar itu membuat APBN makin kedodoran. Belum lagi jatuhnya korban sipil dan personel TNI. Toh, operasi yang menguras pundi-pundi keuangan negara itu relatif berhasil. Situasi keamanan di Bumi Serambi Mekah mulai membaik. "Kami akan mengevaluasi status darurat sipil di Aceh," kata Widodo A.S.
Yang juga menjadi sorotan Imam Prasodjo adalah posisi Menteri Dalam Negeri, yang ditempati Letjen TNI (Purn.) Mochamad Ma'ruf, 62 tahun. Alumnus Akademi Militer 1965 ini juga bekas ketua tim kampanye SBY-Jusuf Kalla. Menurut Imam, posisi itu sebaiknya diisi oleh tokoh sipil yang mengerti konsep otonomi daerah. "Menteri Dalam Negeri dari kalangan militer sudah tak sesuai dengan zaman," katanya.
Ada soal lain yang krusial. Ancaman terorisme kini menjadi pekerjaan rumah yang lumayan heboh. Pelbagai aksi pengeboman—mulai dari bom Bali, Hotel Marriott, hingga bom di Kedutaan Besar Australia—meninggalkan trauma mendalam di masyarakat. Apalagi hingga saat ini polisi belum berhasil menangkap Dr. Azahari dan Noordin M. Top, dua tokoh yang diduga kuat sebagai otak di balik aksi teror itu.
Nama-nama lain yang menuai kritik dan keraguan adalah Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal, Syaifullah Yusuf, Menteri Kehutanan Malam Sambat Kaban, serta Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi. "Siapa sih mereka, kok jadi menteri. Posisi mereka jelas mismatch," ujar Imam Prasodjo.
Robertus Robet, Wakil Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, punya penjelasan menarik. Menurut Robet, banyaknya posisi yang "asal comot" karena Presiden Yudhoyono ingin mengimbangi kekuatan parlemen. Maklum, Koalisi Kebangsaan—kelompok "penyeimbang" yang didukung Partai Golkar dan PDI Perjuangan—menguasai mayoritas kursi di DPR.
Tentu saja, bintang dalam tim politik, hukum, dan keamanan adalah Abdul Rahman Saleh. Nama Arman—demikian ia dipanggil di kalangan dekat—bersinar sejak Februari 2004 silam. Pria kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah, 63 tahun silam ini menjadi satu-satunya hakim agung di MA yang menyatakan bekas Menteri Sekretaris Negara Akbar Tandjung bersalah dalam skandal korupsi Bulog.
Dalam dissenting opinion-nya, Arman memastikan Akbar Tandjung terbukti melakukan korupsi dana Bulog sebesar Rp 40 miliar. Padahal keempat koleganya dalam majelis hakim agung menyatakan Akbar tak bersalah. "Saya hanya mengikuti hati nurani. Saya mengabaikan risikonya," ujar Arman kepada Tempo ketika itu.
Selama ini masyarakat menilai lembaga Kejaksaan Agung tak serius dalam menegakkan hukum dan memberantas korupsi. Bekas Jaksa Agung M.A. Rachman dianggap membuat institusi yang menaungi 7.000 jaksa itu terjerembap di kubangan lumpur. Selama kepemimpinan M.A. Rachman nyaris tak ada koruptor kakap yang mendapat tuntutan hukum yang serius.
"M.A. Rachman adalah bagian dari persoalan," ujar Teten Masduki, Koordinator Indonesia Corruption Watch. Tak mengherankan jika SBY mencoba menaruh figur "bersih" di kursi Jaksa Agung. Beberapa nama sempat beredar di Cikeas. Marsillam Simandjuntak, Todung Mulya Lubis, Artidjo Alkotsar, dan Abdul Rahman Saleh sendiri masuk nominasi.
Ternyata "pemenangnya" Abdul Rahman Saleh, bekas wartawan yang pada 1970-an dikenal sebagai aktor ganteng yang antara lain sempat membintangi film Kabut Sutra Ungu dan Sunan Gunung Djati. Kepada majalah ini, Arman berjanji tak akan mengecewakan kerinduan publik atas tegaknya hukum. "Saya akan memprioritaskan kasus-kasus besar," katanya kepada L.R. Baskoro dari Tempo.
Aktivis LSM Transparansi Indonesia, Emmy Hafild, mengakui kredibilitas Abdul Rahman Saleh. Emmy berharap Abdul Rahman dapat menjadi "sapu bersih" di lembaga ujung tombak penegakan hukum itu. "Sekarang persoalannya justru di Mahkamah Agung. Saya khawatir MA malah gembos karena ditinggal Abdul Rahman," ujar Emmy Hafild.
Tapi Imam Prasodjo berpendapat lain. Menurut dia, kredibilitas semata tak cukup untuk menjadi Jaksa Agung di salah satu negeri terkorup ini. Agar mampu berbuat banyak dan tak dibohongi anak buahnya, "Abdul Rahman harus cerdik dan aktif," kata Imam. Cuma itu?
Setiyardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo