Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ACARA makan malam di Restoran Dapur Babah di Jalan Veteran, Jakarta Pusat, Rabu pekan lalu, mendadak meriah begitu Rizal Ramli muncul di tengah hadirin. Di sana, bekas Presiden RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur tengah berbincang dengan Duta Besar Amerika Serikat Ralph L. Boyce. Di meja ada hidangan berbuka puasa dengan menu masakan Cina. Satu kilometer dari restoran itu, di Istana Negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sibuk menyusun nama yang akan mengisi kabinetnya.
Malam itu Rizal—ekonom yang memimpin lembaga kajian Econit— tak sedang menuju Istana. Dia diundang mampir ke restoran untuk turut makan bersama Gus Dur dan para diplomat asing. "Ini dia Menteri BUMN kita," ujar si Gus begitu tahu Rizal tiba. Tepuk tangan pun bersahutan. Rizal bersikap tenang. "Masih belum pasti," katanya.
Pekan lalu, nama Rizal Ramli sempat melintas di bursa kabinet Susilo Bambang Yudhoyono. Dia termasuk calon kuat Menteri Keuangan. Bagi Rizal, itu bukan tugas baru. Dia pernah menjabat posisi yang sama pada masa akhir pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.
Tengah malam baru terdengar kabar dari Istana. Setelah tiga kali diundur, pukul setengah dua belas malam formasi kabinet Presiden Yudhoyono akhirnya tuntas. Ada 36 nama masuk dalam susunan kabinet. Yudhoyono menunjuk tiga nama menteri koordinator, 18 menteri departemen, 13 menteri negara, dan 2 nama pejabat setingkat menteri negara, yaitu Jaksa Agung dan Sekretaris Kabinet. "Ini Kabinet Indonesia Bersatu," ujar Yudhoyono, yang akrab dipanggil SBY.
Seperti namanya, kabinet itu tampaknya hasil kompromi dengan banyak pihak. Jatah terbesar jatuh bagi partai pendukung Yudhoyono dalam pemilihan presiden kemarin. Sebelum pemilu presiden putaran terakhir, Partai Demokrat sepakat bergabung dengan Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Bulan Bintang serta sejumlah partai kecil untuk menghadapi Koalisi Kebangsaan (aliansi Golkar dan PDI Perjuangan). Belakangan juga merapat Partai Amanat Nasional dan Partai Kebangkitan Bangsa.
Dalam kabinet baru itu, setidaknya ada 15 nama menteri berasal dari partai politik atau individu yang pro-SBY. Mereka masuk berbekal rekomendasi partai, di antaranya Muhammad Yusuf Asyari, Anton Apriantono, dan Adyaksa Dault (Partai Keadilan Sejahtera). Ada pula Bachtiar Chamsyah dan Surya Dharma Ali dari PPP, Yusril Ihza Mahendra dari Partai Bulan Bintang, Taufiq Effendi, dan Jero Wacik dari Partai Demokrat.
Memang, tak semua pakai katebelece partai. Ada juga menteri dari tokoh partai yang secara individu mendukung Yudhoyono. Sebutlah Bambang Sudibyo dan Hatta Radjasa dari Partai Amanat Nasional, Alwi Shihab dan Saifullah Yusuf dari Partai Kebangkitan Bangsa, serta Fahmi Idris dari Partai Golkar. Selebihnya, terangkut juga kaum profesional. Mereka masuk karena pilihan SBY atau Jusuf Kalla. Namun ada juga yang melewati pintu partai politik.
Meski sudah mencoba menyerap ba-nyak kekuatan politik, toh kabinet itu tak bisa memuaskan banyak orang. "Setiap nama yang dinominasikan selalu ada pandangan pro dan kontra," ujar Presiden saat mengumumkan susunan kabinet di Istana Negara malam itu. Makanya, banyak orang terkejut melihat komposisi orang-orang pilihan SBY. Sejumlah nama yang pernah dijagokan lewat media massa mendadak lenyap (lihat Kocok-kocok Kabinet).
Rizal Ramli, misalnya. Dalam susunan akhir kabinet namanya mendadak hilang. Padahal sepekan sebelumnya Rizal sudah dipanggil ke rumah SBY di Cikeas, Bogor, untuk seleksi calon menteri. Bahkan, "Saya sempat teken kontrak," ujarnya. Menurut sumber yang dekat SBY, Rizal ditawari tiga pos: Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Keuangan, dan Menteri BUMN. "Rizal memang pilihan SBY sejak awal," ujar sumber itu. Belakangan, nama Rizal tergeser dari calon Menteri Keuangan.
Tapi Rizal tak tampak kecewa. "Saya bukan mencari jabatan," ujarnya. Sebenarnya doktor ekonomi lulusan Boston University, Amerika Serikat, itu nyaris duduk di kabinet juga. Sepulangnya dari Dapur Babah, ia ditelepon Jusuf Kalla, yang menawarkan posisi baru sebagai Menteri Perindustrian. Tapi jabatan itu ditolak Rizal dengan alasan kurang cocok. Apalagi dia tak sepakat bidang itu dipisah dari Departemen Perdagangan.
Di mata Abdurrahman Wahid, kabinet Yudhoyono sungguh tidak menarik. Dia begitu jengkel dengan dua tokoh PKB yang masuk dalam gerbong pembantu Yudhoyono. "Alwi Shihab dan Saifullah Yusuf bertindak secara pribadi," ujarnya. Keduanya, kata Gus Dur, tak pernah melaporkan pencalonannya ke PKB. "Mereka harus mundur dari PKB," ujar Gus Dur.
Kepada wartawan Alwi Shihab mengatakan sebaliknya. Dia masuk kabinet karena dicalonkan oleh partainya. Meski tak ikut proses seleksi di Cikeas, Alwi mengatakan telah dihubungi Jusuf Kalla beberapa hari sebelum pengumuman kabinet. "Pak Kalla menanyakan kesediaan saya menjadi salah satu menteri," ujarnya.
Rupanya ada banyak pintu masuk ke kabinet SBY. Bukan cuma Alwi, sejumlah calon dari Partai Amanat Nasional (PAN) juga terjun bebas ke kabinet. Misalnya M. Hatta Rajasa, yang kini duduk sebagai Menteri Perhubungan dan Telekomunikasi. Padahal, dalam surat Majelis Penasihat Partai PAN kepada SBY dan Kalla, nama Hatta Radjasa dianggap tak cocok masuk kabinet. "Penilaian masyarakat, Hatta lebih berpeluang menjadi beban (liabilities) kabinet," begitu bunyi surat yang ditandatangani Ketua Majelis Penasihat PAN, M. Amin Aziz.
Surat bertanggal 16 Oktober itu juga menyinggung pencalonan Bambang Sudibyo. Menteri Keuangan zaman Presiden Abdurrahman Wahid itu memang ramai dikabarkan media massa sebagai calon menteri dari PAN. Tapi, menurut Amin Aziz dalam suratnya, "Pencalonan Bambang tak pernah dibicarakan dalam rapat Dewan Pimpinan Pusat PAN".
Partai Amien Rais itu menyorongkan lima nama kepada SBY melalui Jusuf Kalla. Mereka adalah Abdillah Toha, Miranty Abidin, Didik J. Rachbini, Hasballah M. Saad, dan Faisal Basri. Rupanya, surat partai saja tak cukup ampuh. Entah apa sebabnya, tak ada satu pun calon resmi itu lolos.
Memang, gerbong kabinet itu bukannya tanpa retak. SBY tampaknya cukup berat menghadapi tekanan politik se-putar penyusunan kabinet.
Pada menit-menit terakhir menjelang pengumuman, tampak jelas bagaimana beban segunung seperti diletakkan di bahu Susilo. Berkali-kali ia keluar-masuk ruangan di Istana Negara tanpa senyum. Di dalam kamar ia berdiskusi dengan Jusuf Kalla dan Yusril Ihza Mahendra. Di sana ikut hadir pula Sudi Silalahi, pembantu Susilo sejak ia menjadi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan.
Sikapnya yang peragu—seperti banyak disebut orang—ternyata berujung tak enak. Justru dalam tekanan tenggat pengumuman yang makin mepet, para pendukung kian gencar menyodorkan nama. "SBY jadi terdesak," kata seorang kawan dekat Presiden.
Susilo menghadapi dilema. Semula ia ingin agar mayoritas anggota kabinet berasal dari kalangan profesional. Ia, yang menang dalam pemilihan presiden, langsung merasa di atas angin ketimbang kekuatan parlemen.
Belakangan ia berubah. Terpilihnya Agung Laksono dari Golkar sebagai Ketua DPR membuatnya menggeser strategi: aspirasi partai harus lebih diserap dalam penyusunan kabinet. Tanpa itu—dengan hanya mengandalkan kursi Partai Demokrat di parlemen yang tak seberapa—ia merasa hanya akan menjadi bulan-bulanan legislatif.
Itulah sebabnya bahkan Yudhoyono sempat menawarkan Guruh Sukarno Putra—adik Megawati, seterunya dalam pemilu—untuk menduduki kursi Menteri Kebudayaan. Tujuannya untuk melunakkan hati Megawati sekaligus PDI Per-juangan (lihat Di Kebagusan, Malam Semakin Larut).
Strategi mengelus punggung partai politik itu terasa pula ketika Partai Keadilan Sejahtera memprotes masuknya Sri Mulyani sebagai kandidat menteri. PKS menilai Sri condong ke IMF dan pasar bebas.
Menurut pejabat Presiden PKS, Tifatul Sembiring, protes mereka sebetulnya bertujuan baik. "Itu bagian dari peringatan dini," ujarnya. Apalagi SBY sudah membuat kontrak politik dengan PKS. Isinya siap memberantas korupsi, tidak didikte asing, dan tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel. "Ekonomi kita terpuruk gara-gara IMF. Utang luar negeri kita kini mencapai Rp 1.500 triliun," ujar Tifatul.
PKS lalu mengutus lima orang kadernya ke Jusuf Kalla yang lantas meneruskan pesan protes itu ke SBY. "Kritik itu langsung direspons," ujar Tifatul. Begitu juga kritik PKS kepada Aburizal Bakrie, tokoh Golkar yang kini duduk sebagai Menteri Koordinator Perekonomian. Masih menurut Tifatul, SBY ternyata sudah melakukan klarifikasi terhadap Aburizal soal tunggakan utang bos kelompok usaha Bakrie Brothers itu kepada negara. Kompromi pun terjadi. PKS meminta mereka, kalaupun masuk ke kabinet, tidak mengelola keuangan atau bendahara negara. Posisi Menteri Keuangan pun akhirnya dijabat Yusuf Anwar, bekas Ketua Badan Pengawas Pasar Modal.
Politik akomodatif itu terjadi pula ketika Presiden menetapkan Fahmi Idris dari Partai Golkar untuk menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Fahmi adalah pengurus Golkar yang pecah kongsi dengan Ketua Umum Akbar Tandjung. Syahdan, nama Fahmi disorongkan Jusuf Kalla—pengurus Golkar yang bersamanya didepak Akbar dari kepengurusan Golkar. Fahmi mengaku tidak tahu soal dukungan itu. Katanya, Sudi Silalahi-lah yang menelepon dia agar datang ke Cikeas. Sebelumnya, "Saya tahu nama saya disebut dari media saja," ujarnya.
Tapi politik akomodatif itu bukannya tanpa risiko. Banyak orang dekatnya yang kecewa dengan keputusan politik Yudhoyono. Apalagi dengan merangkul sana-sini, sekondan lama SBY banyak yang merasa ditinggalkan (lihat Tetap Setia Meski Kecewa).
Pengamat politik Syamsudin Haris mengatakan efek politik itu adalah harga dari politik kompromistis Yudhoyono. Memang kompromi satu keniscayaan karena kemenangannya berkat kerja banyak pihak. Hanya, kompromi itu berdampak pada pergeseran prinsip membentuk kabinet profesional. "Dampak dari kompromi yang lain adalah kabinet membengkak," ujar peneliti politik di LIPI itu. Selain itu, Partai Demokrat, pendukung nyata Yudhoyono di parlemen, turut menjadi korban. Mereka hanya kebagian dua kursi dan sangat mungkin kecewa.
Namun, the show must go on. Pekan ini, kabinet baru itu mulai bekerja. Sofyan Djalil, Menteri Komunikasi dan Informasi, mengakui harapan rakyat kepada SBY begitu besar. "Tapi kami tak bisa mengubah keadaan dengan sim salabim," ujarnya. Dia menegaskan bahwa yang dijanjikan Yudhoyono adalah kerja keras untuk mencapai perbaikan.
Walhasil, kata Syamsudin Haris, kabinet Yudhoyono akan makin solid jika bisa memenuhi janji politik pada masa kampanye lalu.
Jika harapan itu tak terpenuhi, SBY harus siap dengan hujatan. Apalagi kalau kabinet Yudhoyono ini dinilai gagal. Haris memberikan peringatan gawat. Katanya, ada dua kekuatan besar yang bersiap menggerus SBY-Kalla: massa pendukungnya sendiri dan koalisi ke-bangsaan di DPR RI.
Nezar Patria, Fajar W. Hermawan, Indra Darmawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo