Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gelanggang sudah disiapkan, gedung parlemen Senayan, Jakartakawasan terbanyak dikunjungi demonstran sejak Presiden Abdurrahman Wahid memerintah pada Oktober 1999. Waktunya pun sudah pasti, Senin 30 April. Saat itu, sebagian besar fraksi hampir pasti akan menjatuhkan memorandum kedua untuk Presiden Abdurrahman. "Pukulan" telak kedua setelah 1 Februari lalu jatuh memo yang pertama. Dan negeri iniketika ekonominya payah dan satu dolar Amerika harganya hampir Rp 12 ribukembali dibayangi ketidakpastian politik. Seorang presiden yang baru 19 bulan memerintah naga-naganya harus segera "angkat koper" dari Istana.
Presiden Abdurrahman tentu mencoba bertahansayang, dengan cara yang sangat mencemaskan. Puluhan ribu pendukungnya, terutama dari Jawa Timur, berdatangan ke Ibu Kota. Jumlah pastinya simpang-siur. Kantor Nahdlatul Ulama bilang sekitar 100 ribu, catatan polisi sampai Sabtu lalu tertulis tak sampai 15 ribu. Ada yang hanya membawa tasbih atau pakaian takwa, tapi tak sedikit yang menenteng celurit dan parangdan disita polisi. Resminya, orang-orang NU ituorganisasi massa Islam terbesarakan hadir dalam istighotsah akbar di Parkir Timur Senayan, sehari sebelum DPR bersidang. Ada juga kelompok pro-Gus Dur yang lainyang mungkin juga hadir berdoatapi juga berancang-ancang "menyerbu" DPR. Target kelompok ini, mencegah memorandum kedua diluncurkan.
Aksi jalanan bisa ada yang "menjawab". Ribuan massa anti-Presiden sudah bersiap siaga juga. Semula mereka sudah bertekad mengadakan "Aksi Sejuta Umat" di Silang Monasterpisah sekitar 6 kilometer dari Parkir Timur--pada hari yang sama. Agar tidak terjadi bentrok, akhirnya acara itu mundur sehari, digelar pada 1 Mei. Tapi sebagian besar warga Jakarta tetap diselimuti kecemasan. Mereka khawatir, pengerahan massa akan mengundang huru-hara, seperti peristiwa Mei 1998 dan lainnya.
Di tengah udara politik yang sudah memanas tinggi, Abdurrahman Wahid berusaha menawarkan "kipas angin". Ajakan rukun dilontarkan mantan ketua umum PBNU itu dalam acara bertajuk "Damai Negeriku" yang siarkan secara langsung oleh TVRI, Jumat malam pekan lalu. Ketegangan politik, kata Presiden, harus diredakan. Secara tak langsung ia juga "menahan" rencana DPR mengeluarkan memorandum kedua. Katanya, "Kalau kesalahan yang dicari, saya manusia biasa, tempat salah, saya minta dimaafkan."
Dalam pidato yang dibacakan oleh Wimar Witoelar, juru bicara Presiden, Abdurrahman juga menyinggung proses terpilihnya menjadi orang nomor satu. Ia menjadi presiden, kata Ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa itu, bukan karena hebat tapi karena keadaan. Saat itu ia didukung oleh Amien Rais karena dianggap bisa menjadi perekat bangsa. Maka, Abdurrahman menaruh hormat pada Megawati, yang telah legawa memberikan kesempatan kepadanya. Sebagai pemimpin partai pemenang pemilu, putri Bung Karno itu seharusnya lebih berhak "naik". Kata Presiden, Megawati merupakan negarawan sejati.
Sedianya, acara yang diadakan di Auditorium TVRI di Senayan itu juga bakal dihadiri sejumlah tokoh penting, termasuk Megawati. Yang terakhir ini rupanya "dipagari" pengurus partainya agar tak ketemu Gus Dur. Mega dikabarkan "sakit flu" dan perlu beristirahat 2-3 hari.
Para pendukung Gus Dur juga turun gelanggang. Baharuddin Lopa, Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, siang hari Jumat lalu, menemui Ketua DPR Akbar Tandjung. Lopa menyampaikan bahwa hasil rapat kabinet yang tidak dihadiri oleh Megawati itu meminta DPR tidak mengeluarkan memorandum kedua. Kata Akbar, "Proses memorandum tidak akan berhenti hanya karena ada permintaan pemerintah."
Lopa hanya menambah daftar panjang "utusan" Presiden Abdurrahman yang gagal menahan memorandum kedua. Sebelumnya, Menteri Mahfud Md., Ketua Umum PKB Matori Abdul Djalil, Sekjen PKB Muhaimin Iskandar, Menteri Khofifah Indar Parawansa, Menteri Alwi Shihab, diberi tugas melobi berbagai pihak. Hasilnya nihil. Demikian pula upaya yang dilakukan sejumlah kiai NU untuk membujuk Megawati. Padahal, dalam berbagai kasak-kusuk itu, menurut sumber TEMPO, Abdurrahman telah memberikan tawaran amat menggiurkan. Presiden telah bersedia me-reshuffle kabinet dengan komposisi sekitar 70 persen menteri dari partai-partai besar di luar PKB.
Kegagalan lobi Abdurrahman Wahid itu sudah mulai tampak dua pekan lalu. Saat itu Megawati tak mau menanggapi usul Presiden soal pertemuan empat atau lima tokoh penentu. Ketua Umum PDI-P itu bersama Tim Delapan PDI-P malah sibuk mempersiapkan draf pendapat fraksi partai itu, yang akan dilontarkan dalam Rapat Paripurna DPR pada Senin ini. Kamis pekan lalu, tim yang dipimpin Kwik Kian Gie itu berkonsultasi lagi dengan Mega. Menurut sumber TEMPO, Mega, tokoh yang kian kuat pengaruhnya itu, sudah menyetujui rancangan sikap PDI-P setebal 18 halaman.
Bagi PDI-P, kata sumber tadi, skandal dana Yanatera Bulog dan bantuan Sultan Brunei, yang memicu munculnya memorandum pertama, bukan masalah sepele. Dari dua kasus itu, DPR telah menganggap Presiden telah melanggar sumpah jabatan dan Ketetapan MPR Nomor XI/1998 tentang pembersihan korupsi. Dan penjelasan Presiden yang disampaikan akhir Maret lalu di DPR, demikian antara lain isi draf partainya Mega, tidak menjawab masalah pokok. Demikian pula kinerja Presiden selama tiga bulan terakhir. Presiden justru membuat pernyataan yang bertentangan dengan kewajiban menjaga persatuan. Misalnya, pernyataan Abdurrahman bahwa apabila keluar memorandum kedua akan terjadi "pemberontakan nasional". Gongnya, Fraksi PDI-P mengusulkan agar DPR mengeluarkan memorandum kedua.
Sikap PDI-P ini jelas sangat berbeda dengan saat memorandum pertama dulu. Kali ini partai itu sudah terang-terangan menampakkan sikapnya sejak awal. Mereka rupanya sadar bahwa sebagai pemenang pemilu sikap mereka akan jadi barometer kekuatan lain. Tak mengherankan pula bila sikap Fraksi Partai Golkar pun senada. Menurut Syamsul Mu'arif, Ketua Fraksi Partai Beringin itu, bisa dipastikan pihaknya akan mendukung dikeluarkannya memorandum kedua. Alasannya mirip, tidak adanya perubahan sikap dan kinerja Presiden sejak dikeluarkannya memorandum pertama.
Dalam draf Golkar yang disusun oleh Tim Sebelas disebutkan bahwa Golkar menghargai upaya pemberantasan korupsi yang dilaksanakan Presiden. Cuma, partai pimpinan Akbar Tandjung itu juga menilai Abdurrahman Wahid kurang sungguh-sungguh membersihkan borok di lingkungan sendiri, terutama di kabinet dan birokrasi.
Bukan cuma PDI-P dan Golkar yang enggan berbasa-basi. PPP juga tidak mau kompromi, kendati ketua umumnya, Hamzah Haz, dilobi berkali-kali oleh kubu Abdurrahman. Menurut Ali Marwan Hanan, Ketua Fraksi PPP, semua anggotanya setuju memorandum kedua. Sebab, kinerja Presiden tidak membaik. "Yang terjadi justru mengulangi keburukan-keburukan yang dulu dilakukan," kata Ali Marwan. Sikap Fraksi Partai Ka'bah itu, menurut sumber TEMPO, dituangkan dalam tanggapan fraksi setebal 15 halaman. Dan memburuknya perekonomian sekarang, termasuk anjloknya nilai tukar rupiah, menjadi catatan tersendiri.
Fraksi Reformasi, yang dulu mengangkat Gus Dur dan kemudian paling vokal memintanya turun, lebih galak lagi. Fraksi yang merupakan gabungan wakil rakyat dari Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan itu sejak awal aktif mendorong jatuhnya memorandum kedua. Presiden dinilai bukan saja tidak sungguh-sungguh memperhatikan memorandum, juga dianggap melecehkan DPR lewat pernyataan-pernyataannya. Selain itu, Fraksi Reformasi juga menilai Abdurrahman Wahid suka berbohong. Dalam draf akhir yang dibahas Rabu pekan lalu, menurut sumber TEMPO, mereka juga mengusulkan agar Abdurrahman Wahid mengundurkan diri.
Tinggallah Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa yang "terjepit". Fraksi PKB akan mengatakan memorandum kedua tidak diperlukan lagi. Sebab, dalam rancangan tanggapan fraksi yang disiapkan oleh Rodjil Guffron, dinyatakan bahwa munculnya memorandum cenderung didorong oleh semangat destruktif untuk menjatuhkan Presiden. Selain itu, PKB menganggap ada loncatan logika. Dugaan keterlibatan Presiden dalam kasus dana Bulog dan bantuan Sultan Brunei langsung dikaitkan dengan pelanggaran sumpah jabatan dan haluan negara.
Dalam pertarungan politik, adu pendapat itu boleh dan halal, tapi jumlah kursi juga yang menentukan pendapat siapa yang akan "dipakai". Jelas, PKB yang cuma memiliki 58 kursi akan kalah bila "dikeroyok" 372 wakil rakyat dari empat fraksi besar itu. Bisa saja tidak semua fraksi kompak, mungkin ada "simpatisan" Abdurrahman Wahid di tiap fraksi. Cuma, jumlah suara mereka kecil. Apabila diadakan voting terbuka, para anggota yang mencoba bersuara lain pasti tunduk pada garis fraksi.
Kalangan TNI/Polri, yang mempunyai 38 wakil di DPR, juga tidak bisa diandalkan oleh Presiden. Kendati dalam pemandangan umum mereka mungkin akan bersikap netral, sebetulnya mereka cenderung menyokong memorandum kedua.
Walau bakal panas, perhelatan di dalam Gedung DPR diperkirakan bakal aman. Apalagi pengamanan seputar gedung sangat ketat. Yang menjadi soal justru massa pendukung dan yang anti-Abdurrahman Wahid yang berada di jalanan. Mereka bisa terlibat bentrok bila suasana jadi tak keruan. Kalau tokoh yang mereka dukung "kalah", lantas mereka meluapkan kekesalan ke mana saja, ini yang celaka. Kalau saja sang pemimpin yang kalah bisa menerima "kekalahan politik" itu dan menyuruh "anak buahnya" pulang tanpa marah-marah dan merusaki apa saja, itulah sumbangan besar dalam demokrasi kita. Dan Senin 30 April ini adalah ujian untuk kesekian kalinya.
Gendur Sudarsono, Adi Prasetya, Rian Suryalibrata
Ucapan dan Sikap Presiden | Tahun 2001 | Peristiwa | Pernyataan Presiden | 20 Maret | Saat ditanya pers di Bina Graha | Boleh saja ngeluarin (memorandum kedua), dilarang pun dia (DPR) akan mengeluarkannya juga. | 21 Maret | Sarapan pagi di rumah Wakil Presiden | Saya tidak keberatan dengan memorandum. Juga tidak keberatan kalau, misalnya, (saya) berhenti, asalkan konstitusional. | 28 Maret | Jawaban atas memorandum I di DPR. | Menurut hemat saya, isi memorandum tidak memenuhi alasan konstitusional dan obyektif. | 19 April | Seminar Indonesia Next di Grand Hyatt, Jakarta | Saya khawatir akan terjadi pemberontakan nasional, karena DPR telah sangat tidak bertanggungjawab dengan cara-cara mereka yang ingin menurunkan presiden. | 19 April | Di Dewan Harian Angkatan 45, Jakarta. | (Menirukan ucapan Megawati Sukarnoputri) "Mas Dur, kita tetap saja, sampean sebagai presiden dan saya sebagai wakil presiden hingga tahun 2004" | 25 April | Saat menemui Ketua Umum KNPI di Bina Graha, Jakarta | Saya tidak akan keluar dari konstitusi. Kalau memorandum kedua itu konstitusional, terserah, saya akan menunggu. | 27 April | Di Masjid Agung Pelabuhanratu, Sukabumi. | Kalau DPR nanti membuat memorandum untuk menilai kinerja pemerintah, itu bertentangan dengan undang-undang. Menurut UUD, pertanggungjawaban presiden itu diberikan pada masa akhir jabatan | 27 April | Pidato perdamaian di TVRI, Jakarta. | Kalau saya dianggap salah atau keliru, saya minta dimaklumi dan dimaafkan. Saya berharap kebekuan komunikasi politik segera mencair. | 27 April | Rakornas PKB di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta. | Saya itu pengagum Mahatma Gandhi yang antikekerasan. Serahkan saja seluruhnya pada DPR dan saya berharap semuanya aman. Yang penting memorandum kedua harus konstitusional. |
Sikap Lima Fraksi Kunci | Fraksi | Kursi | Penilaian tindakan Presiden | Sikap | PDI-P | 153 | | | Partai Golkar | 120 | | | PPP | 58 | | | FKB | 51 | | | Reformasi | 41 | | Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO arsip Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |