Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RANCANGAN Undang-Undang Penyiaran tak henti-henti dihunjam protes. Dalam pandangan para praktisi penyiaran, kandungan rancangan undang-undang yang terdiri atas 10 bab dan 63 pasal tersebut merugikan mereka. Sedemikian gencar protes itu sehingga terkesan masalah RUU Penyiaran sudah seperti masalah hidup-mati. Jadi, tak perlu heran mengapa RUU yang sudah diajukan sejak dua tahun lalu itu sampai kini tak kunjung disahkan menjadi undang-undang.
Dalam hal ini anggota DPR, yang menyusun RUU tersebut, menjadi sasaran kritik dan aksi unjuk rasa. Pembahasan calon undang-undang itu pun berlangsung alot. Bahkan beberapa persidangan yang membahas materi RUU terbentur jalan buntu (deadlock).
Belakangan, sikap tak kenal kompromi itu mulai melunak. Sementara dulu para pendekar penyiaran mengecam hampir semua pasal, sekarang tinggal beberapa pasal saja yang mereka anggap belum pas di hati. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), yang diamanatkan untuk dibentuk, misalnya, tak lagi dipandang sebagai badan sensor baru. Mereka tampaknya telah menyadari bahwa komisi yang berwenang menyusun pedoman perilaku lembaga penyiaran dan mengawasi isi siaran itu merupakan badan biasa, yang terdapat juga di negara lain. Hanya, praktisi penyiaran meminta agar KPI itu lebih berbentuk badan pengatur yang bersifat independen (independent regulatory body).
Dalam hal perizinan, kalangan penyiaran sekarang malah mengusulkan agar Komisi Penyiaran-lah yang berwenang memberi izin frekuensi atau siaran. ”Bukannya pemerintah atau Departemen Perhubungan, Pos, dan Telekomunikasi seperti diatur Pasal 22 RUU tersebut,” kata Gilang Iskandar, yang menjabat Ketua Komunitas Televisi, salah satu organisasi praktisi penyiaran yang giat memberi masukan untuk rancangan undang-undang itu. Mereka juga meminta agar KPI cukup dibentuk di tingkat pusat. Jadi, tak perlu merambah sampai ke daerah seperti diusulkan dalam RUU tersebut. ”Hal ini sesuai dengan ketentuan internasional bahwa frekuensi tak bisa didelegasikan ke daerah,” ujar Gilang.
Hal penting yang masih mengganjal adalah soal kepemilikan silang, ketentuan sanksi pidana, dan pembatasan iklan hingga 15 persen dari isi siaran. Menurut DPR, larangan kepemilikan media secara silang—maksudnya menguasai media cetak, televisi, dan radio secara bersamaan—merupakan upaya untuk mencegah monopoli. Tapi praktisi penyiaran berpendapat, sebaiknya pemerintah tidak melarang, melainkan cukup membatasi kepemilikan silang. Soalnya, saat ini praktek kepemilikan silang sudah banyak terjadi. Akan sangat menyulitkan bila si pemilik mesti menjual salah satu medianya gara-gara adanya ketentuan itu. Lagi pula, larangan tersebut menurut Ketua Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI), Leo Batubara, bertentangan dengan semangat globalisasi. ”Trend sekarang adalah multimedia. Sinergi antara media cetak, radio, dan televisi sangat efisien dari sisi bisnis,” Gilang Iskandar melanjutkan.
MPPI juga menyatakan keberatannya atas pembatasan jumlah iklan hingga 15 persen dari isi siaran. Mereka menilai usul itu sebagai ”usaha pengerdilan industri penyiaran”. Alasannya sederhana, yakni bahwa bisnis penyiaran merupakan industri padat modal. ”Iklannya harus di atas 25 persen agar mencapai break event point,” tutur Leo.
Sementara itu, baik Gilang maupun Leo mengeluhkan 21 pasal dalam RUU tersebut yang melulu berisi sanksi—baik berupa kurungan maupun denda—atas setiap bentuk pelanggaran. Sanksi itu mereka nilai terlalu keras, apalagi lantaran hampir semua merujuk pada pelanggaran atas pasal-pasal yang bersifat karet. Contohnya, penyelenggara siaran dikenai denda sebanyak-banyaknya Rp 2 miliar untuk radio dan Rp 20 miliar untuk televisi serta penjara selama-lamanya lima tahun bila terbukti sengaja menyiarkan hal yang bersifat fitnah, bohong, atau sadisme.
Anehnya, RUU Penyiaran tak menjelaskan secara rinci apa yang dimaksud dengan perbuatan fitnah, bohong, ataupun sadisme. Protes pun kembali dilayangkan. ”Sanksi itu merupakan ancaman terhadap kebebasan berekspresi,” kata Gilang. Leo bersama kawan-kawannya di bidang periklanan, radio, surat kabar, TV, dan bioskop bahkan mengancam untuk melakukan kampanye perlawanan besar-besaran. ”Akan ada billboard yang menggambarkan semua mulut pers Indonesia dipasung, dan itu merupakan pekerjaan anggota DPR,” katanya.
Toh, DPR menganggap hujan kritik dan ancaman itu sebagai angin lalu. Ketua Panitia Khusus RUU Penyiaran, Dimyati Hartono, berpendapat bahwa calon undang-undang yang diajukannya sudah menyerap aspirasi 21 organisasi dan lembaga swadaya masyarakat. ”RUU itu bukan hasil pemikiran satu kelompok orang, melainkan hasil pemikiran bersama sejumlah ahli, tokoh agama, cendekiawan, masyarakat penyiaran, dan anggota DPR,” ujarnya. Alhasil, DPR menurut Dimyati akan maju terus dengan RUU tersebut. Kepada pemilik yang telanjur memiliki media secara silang, Dimyati berkeras mereka harus mengikuti aturan baru. DPR hanya memberi kelonggaran untuk melewati periode transisi, ”Yang lamanya satu tahun,” katanya.
Berbeda dengan DPR, pemerintah bersikap lebih luwes. Seperti dikatakan Leo, menghadapi putaran pembahasan terakhir RUU Penyiaran pekan ini, Menteri Perhubungan, Pos, dan Telekomunikasi, Agum Gumelar, hanya mematok harga mati dalam hal pemberian frekuensi siaran, yang dianggap sebagai wewenang penuh pemerintah. Soalnya, hal itu menurut pemerintah sesuai dengan ketentuan International Telecommunication Union (ITU). Selebihnya, pasal-pasal lain masih bisa dirundingkan. Terutama 21 pasal yang berisi berbagai sanksi dan hukuman itu. ”Agar lebih akomodatif dengan rekan industri penyiaran,” kata Agum seperti ditirukan Leo.
Dalam posisi sekarang, pemerintah masih memegang peran menentukan. Ibarat main bola, si kulit bundar kini ada di kaki Agum sebagai Menteri Perhubungan, Pos, dan Telekomunikasi, dan belum bisa ditebak bola itu akan mengarah ke mana. ”Kalau Agum oke, RUU itu akan segera disahkan,” ujar Gilang. Tapi kalangan penyiaran berharap Agum mau menjembatani jurang perbedaan yang masih membentang antara mereka dan para wakil rakyat di Senayan.
Nah, bagaimana kalau pemerintah dan DPR justru tiba-tiba kompak dan mengusulkan agar gagasan para praktisi penyiaran dilempar ke keranjang sampah? Gilang hanya berucap pendek, ”Kita akan terus berjuang dengan cara apa pun. Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) saja bisa digagalkan. Masa, ini tidak,” ujarnya gagah.
Nugroho Dewanto, Dewi Rina Cahyani, Endah W.S., Tomi Lebang
Pasal-Pasal yang Mengundang Protes | Pasal | Versi RUU | Masukan Praktisi Penyiaran | 7 ayat 3 | Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dibentuk di pusat dan daerah. | KPI dibentuk di tingkat pusat saja. | 16 Ayat 2 | Melarang kepemilikan media secara silang. | Jangan dilarang, dibatasi saja. | 18 Ayat 1 | Memperbolehkan lembaga penyiaran komunitas. | Lembaga penyiaran komunitas harus spesifik dan berjangkauan siaran terbatas. | 20 | Memperbolehkan lembaga penyiaran lokal dengan mayoritas modal serta pengelolaannya dimiliki dan dilakukan oleh masyarakat setempat. | Ketentuan itu bisa menggusur keberadaan stasiun TV nasional yang sudah ada. | 22 | Pemberian izin dan perpanjangan izin siaran dilakukan oleh negara. | Perizinan mestinya diberikan oleh KPI sebagai lembaga pengatur independen. | 23 | Masa berlaku izin siaran untuk radio 5 tahun, untuk TV 10 tahun, dan masing-masing dapat diperpanjang. | Masa berlaku izin siaran sebaiknya 10 tahun untuk radio, 20 tahun untuk TV, dan masing-masing dapat diperpanjang. | 25 | Pelarangan atas sejumlah isi siaran yang dianggap berdampak negatif bagi pemirsa. | Pasal tersebut seperti karet. Interpretasinya bisa berubah-ubah. Bisa menjadi jebakan bagi praktisi penyiaran. | 33 | Pelarangan atas sejumlah materi iklan. Pembatasan persentase iklan hingga 15 persen dari waktu siaran. Siaran iklan niaga menjadi tanggung jawab lembaga penyiaran. | Ada pelarangan materi iklan yang tidak masuk akal. Pembatasan waktu iklan maksimum 25 persen dari waktu siaran. Selain lembaga penyiaran, produsen materi iklan juga harus ikut bertanggung jawab. | 34 | KPI berwenang menyusun pedoman perilaku bagi penyelenggaraan penyiaran. | Sebaiknya KPI hanya memfasilitasi pembuatan pedoman perilaku oleh tiap-tiap stasiun TV. | 40-60 | Ketentuan pidana berupa kurungan dan denda terhadap pelanggaran undang-undang. | Ketentuan itu berlebihan dan terlalu represif. | Sumber: diolah dari berbagai sumber Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO ekonomi sinyal-pasar bisnis Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |