Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tiga jagoan patah tulang

Profil tiga dukun ahli patah tulang. mereka: pulung guru singa di medan, aki bohon di bandung, dan arifin di lombok. mereka punya reputasi baik. banyak pejabat dan artis sebagai pasiennya.

12 November 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JERITAN selalu terdengar dari rumah itu. Mungkin telah ratusan atau bahkan ribuan kali, dalam beberapa tahun ini. Tetapi, para tetangga tak peduli. Memang banyak orang berdatangan, bukan untuk bertanya apa yang tengah terjadi, mereka malah ikut-ikutan menjerit. "Yang namanya 'dikusuk', aduuuh sakitnya bukan kepalang," kata Suparman, salah seorang di antara pengunjung. "Dikusuk"? Ya. Ini istilah untuk menyebut cara membenahi tulang kaki -- atau tangan yang remuk. Kaki dipijat keras-keras, ditarik-tarik, ditekan, sehingga tulangnya dianggap tersusun kembali sebagaimana mestinya. Tentu saja ini bukan pekerjaan dokter. Dukunlah yang punya kerja, seperti Pulung Guru Singa di kilometer 11 ruas jalan Medan-Pancur Batu, Sumatera Utara. Dalam urusan perpatahtulangan di Indonesia, dunia perdukunan punya peran besar. Bahkan berkredibilitas tinggi. Jago-jagonya: Pulung Guru Singa (Medan), Aki Bohon (Bandung), Arifin (Lombok), serta puluhan nama lainnya di seluruh Indonesia. Dukun-dukun itu, umumnya, punya reputasi baik. Sebutlah Aki Bohon buat misal. Kakek berusia 73 tahun ini mengaku pernah diundang ke jalan Cendana, menghadap Presiden Soeharto, pada 1971. Apalagi yang membawanya ke sana, kalau tidak profesinya itu. Nama-nama Aang Witarsa, Omo Wiratmo, Hengky Timisela -- kampiun sepak bola pada zaman 'baheula' itu -- menurut Aki Bohon adalah langganannya. "Pada zaman revolusi, Aki banyak mengobati pejuang yang patang tulang," ujarnya. Lain lagi keberhasilan Arifin. Ia menyebut nama seorang istri pejabat dan artis sebagai bekas pasiennya. Namun, yang paling tak dilupakan Arifin adalah kejadian di tahun 1983. Waktu itu ia dijemput dari Lombok, dibawa ke Jakarta, diinapkan di Hotel Borobudur. Di situ, selama tiga hari, ia mengobati kaki kiri seorang pengusaha Filipina, yang patah. Hasilnya, lihat saja sertifikat penghargaan dari yang menyebut namanya Mr. Orro Escarraga -- pimpinan "Prime Pension Plan Inc.", Metro Manila. Bagaimana cara para dukun itu mengelas serpihan tulang kaki, ada kisahnya masing-masing. Pulung melakukan semacam diagnosa sebelum melakukan pengobatan. Mula-mula harus dilihat bagian mana tulang yang patah, dan sejauh mana parahnya. Setelah diketahui pasti bagaimana keadaan tulang yang harus ditangani, bagian tersebut baik kaki maupun tangan diolesi dengan minyak ramuan dedaunan dan akar kayu. "Dengan cara itu kelak tulang-tulang yang patah tebu atau remuk akan bersatu kembali dengan utuh," ujarnya. Ramuan apa yang dipakai, bagi Pulung bukan rahasia. Antara lain akar rotan, akar kelapa, dan akar bambu. Dedaunan juga dipakai untuk bahan ramuan itu. Misalnya daun "galah harimau" yang entah disebut apa di daerah lain. Lalu terjadilah adegan yang dari jauh tampak mengerikan: pasien menjerit-jerit. Yakni pengusukan. "Namanya saja patah tulang. Apalagi kalau sampai remuk, pastilah pasien menjerit sakit saat di-"kusuk"." Setelah dikusuk, pada kulit yang luka ditempeli batang pimpin atau gelagah. Ini disinfektan tradisional -- membunuh kuman yang ada pada luka. Penanganan berikutnya tak banyak beda dengan dokter. Pulung memang tak memakai 'gips'. Bagi dia, tangan atau kaki pasien yang patah itu cukup dibebat kain kuat-kuat. "Supaya tulang-tulang yang disambung dan dipertemukan itu jangan terganggu proses penyembuhannya karena guncangan." Itu saja. Lain lagi cara Arifin. Dukun ini punya cara yang lebih halus, dan lebih sulit diterima akal. Tak terhitung tulang manusia yang telah "dianyam" kembali oleh Arifin. Di tempatnya, tak ada orang yang menjerit-jerit. Sebab, ia punya obat bius, pemati rasa, yang ampuh: jampi. Jampi itu berupa syair, yang di Lombok disebut "lakak-lakakan", berupa rangkaian kata yang menyebut bagian-bagian tubuh manusia misalnya "tulang daging". Bagaimana lengkapnya, tentu saja rahasia Arifin. Yang pasti, "Jampi itu Pendek saja." Dengan jampinya itu Arifin tak harus mengobati orang yang patah tulang, di dalam rumah. "Di jalan pun bisa," kata Arifin. Sebab, jampi cukup dibisikkan di telinga si penderita. Kalau mau ampuh, jampi itu dimasukkan ke air. Lalu air diminumkan pada pasien. Dengan cara itu, rasa sakit yang diderita berkurang, dan "tulang-tulang jadi lemas." Pada tahap akhir, baik cara Arifin, Pulung, maupun dokter praktis sama. Seperti Pulung, AriBn tak menggunakan 'gips'. "Gips bagian dalamnya terlalu longgar." Ia lebih suka memakai bilah bambu, yang kemudian diikat kuat-kuat dengan perban atau kain setagen. Sebelum itu, ia memakai cara seperti yang dipakai Pulung. Kaki -- atau tangan -- yang patah ditempeli ramuan yang antara lain berasal dari biji kemiri dan daun pace. Yang lebih aneh adalah metode Aki Bolon. Alat yang dipakai Aki ini sederhana: segelas air putih, dua butir beras -- tak boleh patah, lho, sekeping uang logam, air jahe, dan mantra. Pasien biasanya ditelungkupkan di dipan kayu. Tapi sebelumnya ia sudah disuruh minum air yang sudah diberi mantra. Cukup setengah gelas. Setengah gelas sisanya dibubuhi beras dan logam. Lalu diinjaklah bagian badan yang tulangnya patah atau retak tadi. Memang minta ampun sakitnya. Begitu anggota badan tadi diinjak dan tangan ditarik ke belakang. Duh! Tak jarang sang pasien menjerit, menahan rasa sakit yang tiba-tiba menerjang. Tapi setelah itu..."cespleng". Mantranya apa, Aki? "Dari permulaan hingga akhir ayat Quran doanya. Ya, baca surat Al-Fatihah dan syahadat," jawabnya sembari terkekeh-kekeh. "Dan jangan sampai," katanya lebih lanjut, "pernah ketinggalan salat lima waktu." Dalam banyak hal, praktek dukun patah tulang memang tidak rasional. Namun, umumnya mereka tak antidokter. Untuk mengobati patah tulang yang ada luka menganga, Aki Bolon menganjurkan pasiennya minum pil dari dokter. "Supaya tak terinfeksi," kata Aki Bolon. Arifin pun mengambil langkah serupa. Ada seorang Badrun yang jatuh dari pohon. Murid kelas 6 SD Sengkerang, Lombok, ini dibawa ke Arifin. Tulang paha kanannya patah. Dagingnya robek, tertusuk patahan tulang. Karena luka itu, Arifin mengharuskan Badrun dibawa ke rumah sakit dahulu, agar lukanya tak membusuk. Nanti kalau luka itu sudah sembuh, ia minta baru Badrun dibawa ke rumahnya untuk dibenahi. Saat mendiagnosa, Arifin memang hanya mengandalkan rabaan tangan untuk mengetahui bagian mana yang patah. Ia tak memerlukan "ronsen". Tetapi kalau ada "ronsen" ia pun tak menolak memakainya. "Malah lebih baik," kata Arifin. Kalau ditanyakan komentar pasien tentang dukun-dukun itu, hampir semuanya memuji. Adalah rahasia umum, sebagian pasien dukun tulang adalah mereka yang telah berobat ke rumah sakit tetapi takut mendengar vonis dokter. Ojak misalnya, yang berobat ke rumah Pulung Guru Singa. Tiga bulan lalu, Ojak tertimpa kecelakaan. Bis mini yang ditumpanginya bertabrakan dengan bis mini lain, di Medan. Kakinya patah, tulangnya remuk. Maka, ia pun dilarikan ke Rumah Sakit Polri -- Medan. Kata dokter, Ojak harus dioperasi. Ia dan keluarganya menolak. Sebetulnya, Ojak kurang mempercayai dukun. Apa boleh buat. Dokter mengharuskannya operasi, dan ia tak cukup punya uang untuk terus berobat. Maka, ia pun berpaling pada Pulung. "Eh," katanya, "kok sekarang mulai sembuh." Lagi pula, ia hanya perlu membayar seikhlasnya. Bukan hanya Ojak yang lari ke dukun. Di rumah Pulung maupun Arifin, para pasien banyak yang menginap. Kedua dukun itu menyediakan tempat-tempat tidur buat merawat pasien, persis seperti di puskesmas. Pada pasiennya Pulung mengenakan biaya menginap Rp 1.000 semalam, dan uang makan Rp 1.500 sehari. Memang Pulunglah yang menyediakan segala keperluan pasiennya -- termasuk makan. Sekadar diobati, kadang belum cukup buat menyembuhkan. Pulung memasang beberapa pantangan bagi pasiennya. Mereka dilarang makan daging babi, anjing, dan ikan lele. Untuk dua hal pertama bukan lantaran Pulung beragama Islam. Tetapi ya memang itulah pantangannya. Pantangan lain yang umum tentu saja adalah: jangan mendengarkan musik rock sambil berjingkrak-jingkrak. Kan patah tulang. Yang paling menjengkelkan, kata Pulung, kalau pasiennya bandel. "Lha, bagaimana mau sembuh kalau pasien tak mau diatur? Lasak, bergerak seenaknya." Tentang biaya pengobatannya, tak ada ketentuan. "Dukun tak boleh menentukan tarif pasien," kata Pulung. Bagi Aki Bolon pun, meminta uang adalah haram. "Bila pasien 'rida', rela memberi, baru Aki mau menerima," kata Aki Bolon. Tentang bagaimana mulanya menjadi dukun, ketiga orang itu bisa dikatakan serupa. Pulung Guru Singa yang berewok dan baru berusia 32 tahun itu menjadi dukun karena keturunan. "Saya menggantikan bapak yang meninggal di tahun 1972." Anak keempat dari sembilan bersaudara itu sejak kecil memang aktif membantu ayahnya. Lebih dari itu, nenek moyang Pulung memang dukun. Ia keturunan dukun yang ke-9. Jangan heran bila orang bermarga Guru Singa banyak yang menjadi dukun patah tulang. Klan dari Tanah Karo, Sumatera Utara, memang mewakili tradisi perdukunan. Dari ayahnyalah ia menghafal "doa-doa". Mantra? "Ah, bukan. Hanya doa meminta pada Tuhan agar pasien sembuh." Di Lombok, cara Arifin memperoleh keahlian agak aneh. Sewaktu Arifin berusia 18 tahun, dan punya seorang anak, ia berkali-kali kali bermimpi. Dalam mimpinya, sang ayah yang sudah almarhum -- Amaq Semah -- datang, dan mengajari cara mengobati orang patah tulang. Ajaran itu digabung dengan pemberian ibunya: berupa jampi atau mantra. Perjalanan paling sulit untuk menjadi dukun ditempuh oleh Aki Bolon. Ketika masih kecil, ia terjatuh dari pohon nangka dan pingsan. Tangan kirinya patah. Oleh bapaknya, tangan patah itu diinjak, lalu ditarik, dan sembuh. Kemudian ia dikirim ke pesantren, harus mengaji, dan tak lupa belajar silat. Memang ilmu silat itulah yang dipakai dasar untuk mengurut tulang. Yang paling penting menurut Aki Bolon adalah, batin urang kudu dipinuhan, pitutur kolot teh kudu dipulungan. Artinya: batin kita harus diisi penuh, nasihat orang tua mesti diperhatikan. Selain itu, ia harus menebus ilmunya dengan puasa. Yakni selama 20 tahun tak boleh minum air matang, tak merokok, dan tak boleh makan ikan tawar. Juga, sejak mulai berpraktek sampai tiga setengah tahun kemudian, ia tak boleh menikah. Tapi, semua kesulitan itu telah berlalu. Kini Aki Bolon pun telah mewariskan ilmunya pada anak tertuanya -- Ibu Ito. Zaim Uchrowi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus