HIYAA, hiyaa, kaja, kaja, wuah, wuah. Kalimat ini bukanlah rapal mantra. Ini hanya teriakan para pemburu babi di balik belukar Sum-Bar. Begitu sang babi melejit ke balik semak dan bukit, teriakan pemilik anjing pemburu pun bersipongang di sepanjang lembah dan ladang. Orang Minang berburu babi? Betul! Padahal, masyarakat Sum-Bar terkenal pemeluk Islam yang taat. Tapi hasil perburuan itu bukan untuk dimakan atau sebagai mata pencarian. Bahkan tak bersangkut-paut dengan mencari lemak babi untuk shortening dan gelatin makanan yang sedang heboh sekarang ini. Di Minangkabau orang berburu habi untuk memberantas hama, seperti memberantas tikus yang merusakkan panen. Cuma, bedanya, di sana berburu babi dan memelihara anjing pemburu agaknya sudah "membudaya". Buktinya, dunia perburuan binatang bercongor yang suka menyudu tanah itu memiliki tata krama dan organisasi yang sudah mapan -- sebagai suatu tradisi yang turun-temurun. Tak ada yang tahu persis sejak kapan "kebudayaan" berburu babi berkembang di daerah bentangan Bukit Barisan itu. Tapi dilihat dari tujuannya, diduga tradisi berburu babi sudah ada sejak masyarakat Sum-Bar mengenal sistem bercocok tanam . Tapi khusus bagi mereka yang hidup di pedesaan, kecanduan berburu babi bisa dilakukan tiga kali seminggu -- seperti laiknya mengerjakan pekerjaan sehari-hari. "Saya sendiri tidak tahu persis sejak kapan orang Minang punya tradisi berburu," kata Muncak Paraman dari Desa Sungai Durian, Sungai Sarik, Padang Pariaman. "Yang jelas, sejak masa kecil saya, orang di kampung ini sudah banyak pergi berburu," begitu cerita pak tuo, 60 tahun, yang masih gesit lari melingkar bukit membelah lembah. Di Desa Sungai Durian itu, berburu babi sudah mulai dikenal sejak 1926. Ditandai dengan diangkatnya muncak dan tuo buru yang bertugas mengkoordinasi dan mengatur tata krama perburuan. Keputusan mengangkat muncak dan tuo buru itu diambil via musyawarah desa yang dihadiri ninik-mamak, cerdik-pandai, dan alim-ulama. Muncak dan tuo buru memiliki status terhormat -- dan itu berlaku untuk seumur hidup! Karena baik buruknya hasil panen banyak bergantung pada gesit atau tidaknya pimpinan perburuan mengorganisasi para anak buru dan perangkatnya. Di samping itu, mereka juga bisa menikmati hak-hak istimewa di desanya. Misalnya, dibebaskan dari kewajiban ronda kampung dan gotong-royong. Dalam sebuah penelitian, ada yang mengaitkan tradisi berburu babi dengan ekspresi kejantanan pria Minang, yang masyarakatnya matrilineal. Ibarat Rambo di tangah rimbo, begitu kira-kira. Burhan Piliang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini