DI bulan Agustus yang lalu, di Miami Hospital, Los Angeles, Amerika Serikat, Haji Lele berpidato di depan puluhan dokter ahli. Ia menuturkan seluk-beluk pengobatan yang sulit diterjemahkan dalam alam pikiran modem. Itulah bulan kemenangan sebuah dunia abstrak. Dunia yang sulit dipercaya, tetapi kenyataan telah menyodorkan bukti yang tak terbantah. Dukun Indonesia itu telah membuktikan kesaktiannya. Belum lama ini, seorang warga Los Angeles, Amerika Serikat, yang telah divonis tak lagi punya harapan lantaran AIDS, sembuh berkat tusukan ujung jari Haji Lele. Dunia medis yang canggih pun tercengang. "Fantastic! Miracle." Maka, Haji Lele yang nama sebenarnya Akhmad itu dielu-elukan. Orang Amerika tak peduli lagi itu ilmiah atau tidak. Mereka terpatri pada kenyataan yang terjadi di depan mata mereka. Menyusul kemudian seorang wanita kulit hitam yang buta matanya, dalam beberapa menit bisa melihat kembali setelah Wak Haji Lele menepuk-nepuk punggungnya dengan telapak tangan. "Oh, my God," teriak wanita itu dengan ledakan kegirangan. Tempik sorak pun gemuruh di Miami Hospital, rumah sakit terbesar dan canggih di Los Angeles. Semuanya hanya geleng-geleng kepala, terheran-heran. Dukun dalam masyarakat Indonesia adalah sebuah fenomena. Peranannya besar tidak hanya dalam soal penyembuhan penyakit. Ia terlibat dalam berbagai tungsi sosial dan bahkan kadang ritual. Manusia jenis ini menyentuh semua sektor kehidupan. Ada dukun penyembuhan penyakit, dukun santet, dukun peramal, dukun pijat, dukun bayi, dan lain lain. Sebagai akibatnya: kedudukan dalam masyarakat jadi istimewa. Orang hormat kepadanya. Ia otomatis menjadi orang tua, sesepuh dalam suatu lingkungan masyarakat. Bahkan tak jarang hampir jadi panutan untuk membuat keputusan-keputusan pribadi maupun resmi. Pengaruhnya mengendalikan berbagai tindakan penduduk. Mulai dari penentuan hari baik sebuah upacara, sampai pada keputusan pernikahan dan usaha mencari maling. Dukun tiba-tiba menjadi manusia ajaib yang tak mengenal batasan. Ia seperti lambang terobosan manusia pada keterbatasannya. Kepercayaan terhadap dukun terkadang membabi buta. Dalam keadaan seperti itu, ia bukan lagi hanya sakti tetapi sudah menjadi "dewa", yang mampu memenuhi apa saja. Yang sanggup mengadakan apa saja yang tak dapat diusahakan dengan akal sehat. Dukun tiba-tiba menjadi medium untuk menciptakan mimpi dan harapan. Tak jarang kedudukannya yang hebat itu menjerumuskan orang pada malapetaka. Djais misalnya. Dukun ramal dari Desa Cerme, Gresik, Jawa Timur, sempat bikin heboh. Ia diserbu ribuan orang, lantaran nomor-nomor buntutnya dianggap sakti. Ribuan nasib orang seakan berada dalam genggaman tangannya. Ini sebuah puncak krisis dalam masyarakat desa, yang menjelaskan betapa tak adanya kepercayaan terhadap diri sendiri. Nomor-nomor bertuah Djais dianggap sebagai penyelamat, yang mampu mengatrol, kalau perlu menyulap, derajat sosial ekonomi mereka. Sukses tanpa harus membanting tulang, cukup ongkang-ongkang sembari menimang nomor buntutan. Pelajaran moral yang amat berbahaya. Adakah ini pertanda masyarakat telah putus asa karena mereka merasa sudah dol, tak berdaya menembus tembok keras kehidupan? Di mana-mana orang haus akan kehadiran orang sakti. Tak heranlah ketika terbetik berita akhir tahun seorang wanita tua bersemadi di sebuah gua di Kecamatan Babat Lamongan Jawa Timur, orang langsung menyerbu. Tujuannya hanya satu: minta nomor buntut. Edan. Tetapi salah pula kalau mengatakan dukun hanya membawa kegegeran. Ada sisi putih dari dunia orang sakti ini, yang membuktikan bahwa dukun punya peran dan reputasi positif dalam masyarakat. Raden Soehardjo, misalnya. Dukun yang berusia 65 tahun ini tak berwajah seram sebagaimana digambarkan dalam komik atau film-film horor. Wajahnya mulus tanpa jenggot, berkaca mata dan, dalam praktek, ia lebih seperti dokter yang selalu berjas putih. Orang Solo kelahiran Yogya, anak Raden Ngabehi Hastrowirjo, yang sempat lulus sekolah MULO, ini konon mampu menyikat penyakit kanker, tumor, lever, dan kesengsaraan yang berat-berat lainnya. Raden Hardjo mengaku memang ia bermula dari hal-hal gaib. Namun ia tak pernah mengajak pasiennya untuk bergaib-gaib. Ia tak pernah mengecap soal kesaktian dengan berbagai bumbunya. "Yang menyembuhkan itu Tuhan, saya hanya perantara," katanya kepada TEMPO. Pada awalnya sedikit pun tak terlintas pada diri Soehardjo bakal jadi dukun. Penganut kejawen yang taat salat lima waktu ini, pada satu malam Jumat di tahun 70-an, bersemadi di halaman rumahnya. "Tiba tiba saya melihat matahari terbit," katanya mengenang. Matahari di tengah malam sunyi itu pelan-pelan menyusup ke dalam pohon kelapa di belakang rumahnya. Kegaiban itu esoknya ia ceritakan kepada bapaknya. "Petiklah kelapa itu tapi jangan sampai jatuh ke tanah," wejang bapaknya. Soehardjo langsung melaksanakan, kemudian meminum airnya. Menyusul datang sebuah bisikan agar ia menanam kunir, jahe, laos, dll. Kemudian ada Kopral Yuwono yang telah putus asa akibat kanker yang menggerogoti hidupnya. Ia sudah pulang balik berobat ke dokter, tapi tak kunjung sembuh. Berkat jamu Soehardjo -- yang diramu dari tanaman yang ditanam berkat bisikan gaib -- Yuwono bisa bersorak. Kanker yang ngendon di tubuhnya kikis. Dari mulut ke mulut kabar itu pun tersebar. Sejak waktu itulah nama Raden Soehardjo melejit sebagai orang sakti. Perjalanan Raden Hardjo menjadi dukun termasuk jenis dukun wahyu. Kegaiban tiba-tiba menyeruak dari atas sana, setelah ia merasa dekat dengan Tuhan. Perjalanan dukun-dukun yang lain berbeda. Ada dukun sekolah, yang harus berguru dulu pada suhunya yang sakti. Lalu ada dukun tiban, alias dukun kaget, orang biasa yang dalam sekejap tiba-tiba jadi sakti. Ada juga yang karena keturunan. Di Tapanuli Selatan misalnya, orang bermarga Hasibuan dikenal sakti. Mereka dianggap mampu mengobati orang sakit lewat ilmu mistik dan ramuan tradisional. Estafet fungsional ini adalah bagian dari kehidupan tradisi yang tetap berlangsung hangat sampai detik ini. Jadi, dukun bahkan merupakan kebanggaan tersendiri. Bagi sebagian Hasibuan, menjadi dukun tak sekadar menempelkan merek di dada mereka. Bakat menyembuhkan, yang telah melekat dan mendarah daging itu, mereka kembangkan. Mereka sentuhkan pada zaman, sehingga tak lekang. Maka, ketika ilmu penyembuhan akademis datang, ketika perguruan tinggi makin banyak membuka fakultas kedokteran, sebagian orang bermarga Hasibuan tak tinggal diam. "Tak perlu heran kalau orang bermarga Hasibuan banyak yang menjadi dokter, psikiater, dll.," kata Dr. Djamalludin Hasibuan, Kepala RSJ Medan, kepada Burhan Piliang dari TEMPO. Di Bali dukun disebut balian. Ada empat golongan balian: balian usadha, balian ketakson, balian kapican, dan balian campuran. Balian usadha masuk pada kelompok dukun yang mendapatkan ilmu, mendiagnosa dan prognosa (ramalan) serta pemberian obatnya berdasarkan lontar. Lontar itu berasal dari ayur weda, salah satu dari empat kitab suci agama Hindu yang artinya hidup. "Balian usadha belajar secara ilmiah," kata dr. I Gusti Ngurah Nala M.P.H., dosen FK Universitas Udayana kepada TEMPO. Dikatakan ilmiah karena balian usadha berpatokan pada yang tertulis di lontar. Umpama ada orang sakit dengan tanda-tanda perut meluntir, kulit pucat, mata sayu sesuai dengan yang tertera dalam lontar, itu pastilah sakit mencret. Maka, obatnya ini-ini-ini, sebagaimana juga kata lontar. Hebatnya, untuk mempelajari penyakit-penyakit, banyak tersedia kitabnya. Salah satunya adalah Usadha Ratuning usadhaa. Kitab ini menampilkan 1.001 penyakit. Balian ketakson adalah dukun yang ilmunya diperoleh dari wahyu atau wangsit dari taksu atau roh halus -- arwah leluhurnya. Cara penyembuhannya gaib, lewat serangkaian upacara mistik, hingga menukiklah sang roh nenek moyang. Ini berlainan dengan balian kapican yang mengandalkan benda bertuah alias jimat. Lewat jimat yang bisa berbentuk besi, batu dll. Lenyaplah penyakit setelah meminum air yang direndami jimat itu. Popularitas balian ketakson dan balian kapican biasanya tak berlangsung lama. Untuk sementara waktu ia dikerubuti orang, sesaat setelah kesaktiannya dianggap hilang, ia dicampakkan. Untuk mempertahankan pamornya mereka terpaksa belajar lontar. Demikianlah dalam perkembangan selanjutnya kebanyakan yang ditemukan di Bali adalah balian campuran. Mereka mempelajari lontar, tetapi juga mengandalkan roh leluhur maupun jimat-jimat sakti. Dukun kini masih berserak di dalam masyarakat kita. Kelarisannya melebihi dokter lulusan universitas. Kepopulerannya menakjubkan. Karismanya meluncur pesat dan menarik bagai besi berani sampai radius yang jauh sekali. Dukun, suka tak suka, ternyata adalah sebuah profesi. Azan subuh belum berkumandang, hanya kokok ayam yang bertalu-talu mementungi desa. Antrean manusia di rumah Jalan Tagore itu sudah panjang, tetapi Raden Soehardjo, pemiliknya, masih lelap. Ia sama sekali tak terusik. Ketika matahari pagi muncul, jajaran manusia itu bertambah. Mereka mulai sibuk mendaftarkan diri. Mencatatkan nama berikut sengsara yang dideritanya pada petugas. Setelah itu dengan tertib meneruskan menanti keluarnya Raden Soehardjo. Inilah beberapa saat dalam hidup seorang dukun. Dia yang masih tidur santai tatkala begitu banyak orang mengharapkannya. Orang yang tak juga tergesa-gesa menyambut tamunya setelah terbangun. Dengan tenang ia melakukan salat subuh. Dengan leha-leha ia menunggu jam praktek sebagaimana tertera dalam jadwal. Hidupnya sejahtera. Budiaono Darsono (Jakarta), Joko daryanto (Denpasar), Kastoyo Ramelan (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini