Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Melaksanakan bisikan gaib

Kisah cara kerja dukun. mereka mampu merambah alam gaib. misalnya, mbah elang, mbah nukiran, i nyoman tista, dan haji sutirna. cara kerja mereka nyaris sama, dari jenis obat, mantra, dan syarat-syarat.

12 November 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MBAH ELANG mendadak kesurupan. Asap kemenyan mengepul lembut, menyebarkan aroma tajam. Ada roh memasuki dirinya, meminjam wadaknya untuk bicara. Kata-kata meluncur cepat, aneh, asing, ganjil. Tubuhnya menggeliat acak. Raut wajah berubah menyeramkan. Bola mata berputar-putar, lalu lenyap tinggal putihnya. Itulah bahasa dan tingkah roh leluhur Mbah Elang yang hanya dapat dimengerti keturunannya yang terkasih. Terkesan amat antah-berantah, tapi dipercayai mengandung petunjuk-petujuk praktis untuk menyembuhkan penyakit, mengentengken jodoh, mengatrol kenaikan pangkat, membuat nilai ujian jadi cemerlang, dan lain-lain. Tegasnya, Mbah Elang dan roh leluhurnya itu dianggap sebagai jalan pintas meraih sukses. Sayang, leluhur tersebut menurut Mbah Elang pantang disebutkan namanya. Pasien pun termangu takjub bak dikepung hawa sihir. Berdebar-debar menunggu petunjuk sang roh untuk memperoleh obat penyembuh penyakitnya. Di antara bahasanya yang aneh itu, Mbah Elang menyebutkan resep obat mujarab penangkal lever, kanker, lumpuh, lemah syahwat, jantungan, dan sejumlah penyakit kelas berat lainnya. Biasanya, berupa ramuan dedaunan yang tentu saja sudah dikenal sang mbah. Pada saat itu pula Mbah Elang meraih bungkusan berisi sebotol minyak wangi. Botol ini sebenarnya milik pasien sendiri, yang harus dibawa sebagai sarana menampung restu roh. Setelah Mbah Elang menyerahkannya kembali ia harus membawanya ke "petilasan" -- makam -- leluhur untuk diberkati. Dengan tujuh kali tabur bunga disusul tiga kali sembah, selesailah prosesi pengobatan dan "usul" kenaikan pangkat. Itu hanya salah satu cerita dari sekian banyak kisah tentang cara kerja dukun. Sebuah fakta yang hidup puluhan bahkan ratusan tahun di kalangn masyarakat. Para dukun ini dianggap memiliki fungsi ganda. Selain menyembuhkan segala jenis penyakit, dari kudisan sampai lemah syahwat, mereka juga dijadikan tempat meminta berkah. Mbah Elang, wanita berusia 65 tahun, yang dipanggil oleh ke-9 anaknya Mbok Sriyem -- nama aslinya -- tergolong dukun laris di bilangan Desa Karangtengah, 75 kilometer sebelah barat Cilacap. Cara kerja dukun lainnya kurang lebih hampir sama meski terdapat improvisasi di sana-sini. Misalnya soal jenis obat, mantra, dan syarat-syarat. Tetapi secara keseluruhan, mereka diyakini mampu menjadi mediator untuk merambah alam gaib, lalu memohonkan berkah dari kekuatan dahsyat di alam sana. Tetapi siapa backing itu, nampaknya terjadi perbedaan pendapat di kalangan dukun-dukun. Mbah Mukiran, 60 tahun, dari Desa Sokosewu, Kecamatan Talun, Blitar, misalnya, geram luar biasa ketika ditanyakan sosok "peliharaannya". "Saya tidak menggunakan klenik. Saya tidak melakukan semadi" katanya. Bahkan ia menolak disebut dukun. "Kalau penyakit pasien sembuh setelah datang pada saya, itu karena keyakinan pasien sendiri. Tuhan yang menyembuhkannya, bukan saya," tambahnya sambil berkhotbah tentang iman, Tuhan, lalu merembet ke soal Pancasila. Pernyataan serupa dikemukakan I Nyoman Tista, 46 tahun. Penghuni Desa Binyan, Kintamani, yang berpraktek sejak 1971 ini, menolak digolongkan ke dalam jenis balian. "Orang yang saya sembuhkan bukan karena saya, tapi karena kebesaran Tuhan. Tuhanlah yang mengabulkan permohonannya," katanya lugu. Tetapi, wanita setengah baya ini mengakui tetap melakukan semadi untuk memperoleh petunjuk gaib sebelum mengobati pasien. Dia juga menggunakan benda pusaka dan mantra yang diperoleh dari Gunung Penulisan, Bangli. Hebatnya lagi, Nyoman pernah "nyepi" di Gunung Semeru, Jawa Timur. Di sana dia menerima "wahyu" ketabiban dan sempat bertemu dengan roh Bung Karno. Di Pulau Menjangan, tempat nyepi berikutnya, ia bahkan mendapat julukan "Mangku Tirta" atau "Jro Mangku Kusuma Jaya" -- manusia lebih. Predikat "balian tulen" disandang oleh I Gusti Agung Ktut Sumerta di Jalan Nangka, Denpasar, Bali. Lelaki 57 tahun dengan rambut tipis ini mengandalkan kekuatan "Bhirawa Geni" mantra warisan leluhurnya, yang diperoleh di Pura Luwur Dalem Kebon Tinggah, Tabanan, lima belas tahun silam. Ketika itu dia tengah bingung mencari obat untuk menyembuhkan penyakit perut adiknya. Ia pergi ke Pura Luwur. Tiba-tiba terdengar suara gaib, menyebut daun dadap, bawang putih, minyak goreng, plus air suci dari pura. Sumerta menganggap campuran benda-benda itulah obat yang dibutuhkan. Eh Betul. Adiknya sembuh. Maka, sejak hari itu, bekas Direktur Bank Pasar Tabanan yang bangkrut pada 1971 ini beralih profesi. Hanya dengan Bhirawa Geni dan dedaunan, ia berhasil mengundang belasan pasien setiap hari. "Saya tak menggunakan Lontar Usadha atau mempelajari dasar-dasar ilmu balian," katanya tandas. Lontar Usadha adalah sumber ilmu dalam dunia balian di Bali. Haji Sutima, 48 tahun, penduduk Kompleks Perumahan Kopo Permai, Bandung, juga dianggap dahsyat. Konon, menurut orang-orang yang datang padanya, itu berkat batu hitam sebesar genggaman tangan. Tetapi Sutirna setengah membantah. "Bukan batu hitam yang berkhasiat, melainkan berkat doa 'Aji Syaefi' yang saya salurkan lewat batu." Apa pula itu? Itulah ilmu pengobatan yang diperolehnya 21 tahun lalu dari Eyang Dipa, kakeknya sendiri. "Aji Syaefi adalah ilmu putih yang datang dari Allah Subhanna Wa Taalla. Bukan ilmu hitam," katanya tegas. Dia mempelajarinya sejak 1964 sampai 1967. Selama itu, menurut penuturannya sendiri, ia mengalami kegilaan, hilang akal. Eyangnya kemudian membawanya ke Cirebon dan melepaskannya di sana dalam keadaan kumuh tak terawat. Tahun 1967, gilanya sembuh. Berarti dia telah menguasai ilmu "Aji Syaefi" dan berhak menerima batu hitam segenggam tangan. Dengan kedua kesaktian ini ia ditugasi menangani pasien sejak 1980, saat banyak orang kebal terhadap obat-obatan dan kembali menoleh pada dukun. Caranya, batu ditempelkan ke bagian tubuh yang sakit sambil membaca "Aji Syaefi". Maka, akan terdengar suara "kereket" dari batu itu. Kemudian ia memberikan air rebus berwarna kuning, campuran jeruk nipis dan kuning telur. Tetapi ada pasien yang diwajibkan membawa sebungkus "kembang telon" dan sebutir telur ayam kampung plus sebungkus rokok. Ini untuk mendiagnosa jenis penyakit. Posisi Sutima agak sulit digolongkan ke dalam klenik atau bukan. Batu sakti dan ajiannya membuatnya mirip cara pengobatan Nyoman Tista, Ktut Sumerta, atau Mbah Elang. Di Dukuh Termas, Kabupaten Nganjuk, hiduplah Abdullah Yasin. Gaya pengobatannya sepintas agak mirip yang lain-lain, khususnya dalam hal "bacaan-bacaan". Bedanya, ia ffdak membaca mantra warisan leluhur, melainkan mengutip ayat-ayat suci Quran dan berdoa sesuai dengan ajaran Islam. "Dengan itu, insya Allah, atas kehendak Allah, mereka sembuh." Cara pengobatannya pun mirip dokter. Hanya saja lebih sederhana. Soal operasi ringan, penyakit katarak, misalnya, Abdullah menggunakan gunting dan silet. Karena tanpa pembius, Abdullah mengalihkan perhatian pasien sewaktu menjalankan operasi. Ketika pasien lengah, secepat kilat ia memainkan silet dan gunting. Darah mengucur, dan tentu saja sakit. Tetapi seminggu kemudian penyakit itu, atas kehendak Allah swt., insya Allah, sembuh. Kehadiran dukun di tengah masyarakat tampaknya memang tak bisa disepelekan begitu saja. Dokter boleh lahir lalu beroperasi di segala pelosok. Tetapi, nyatanya, dukun tidak kekurangan penggemar. Kuli bangunan, mahasiswa, artis, pegawai negeri, sampai "calon" pejabat diam-diam mendatangi mereka, dengan maksud berobat atau minta berkah. Jumlahnya pun mencengangkan. Malah Mbah Kiran sempat mendirikan bangunan, khusus untuk pasien jangka panjang, yang perlu dirawat secara intensif selama beberapa hari atau beberapa minggu. Biaya menginap tentu ditanggung pasien sendiri. Sedang ongkos berobat terserah kemampuan pasien saja. Lantaran begitu banyaknya pasien, Mbah Mukiran terpaksa libur praktek pada hari Rabu dan Jumat. Di depan rumahnya terpampang plang pengumuman, "Hari Rabo dan Jum'at tidak melayani tamu. Harap maklum. Tertanda Pak Kiran". Dan pengumuman tersebut merupakan harga mati. Jangan harap akan dilayani bila datang di hari istirahat itu. Bayangkan, pada Selasa dan Kamis, tamu membludak hingga 200 orang. Akibatnya, Mbah Kiran merasa "teler" berat. Yang gembira justru tukang-tukang ojek. "Kamis dan Selasa saya bisa mengantongi tujuh ribu rupiah," kata seorang di antara puluhan tukang ojek. Sabtu, Minggu, dan Senin agak sepi, paling-paling berkisar antara 10 dan 25 orang. Dan jangan lupa, penyanyi Arie Koesmiran, katanya, juga pernah datang. Cuma tak begitu jelas maksudnya, apakah berobat atau minta resep awet muda. Dulu, antara 1965 dan 1970, pasien Mbah Kiran -- panggilan akrab Mukiran -- jauh lebih banyak. Ratusan tamu tiap hari datang. Tetapi sebagian besar mereka tidak bermaksud berobat, melainkan minta timbulan -- azimat yang berupa ikat kepala berwarna hitam atau sepotong rotan berkhasiat. Timbulan, konon, dapat dijadikan pagar awak -- pelindung diri dari serangan lawan. Maklum pada tahun-tahun tersebut situasi negara tergolong kurang stabil. Pembunuhan dan pembantaian setelah peristiwa G-30-S PKI terjadi di desa-desa. Tahun 1975-1980, menurut Kamari, salah seorang anak Mukiran, mbah yang satu ini setiap Kamis dan Selasa harus melayani sekitar 500 orang. Ya berobat, ya minta pagar awak. Pokoknya, supersibuk. Sampai-sampai Mukiran pernah mengeluh dan berniat mengundurkan diri dari dunia perdukunan. Kesibukan serupa juga dialami I Gusti Agung Ktut Sumerta. Setiap hari ia harus melayani 5-8 orang. Seorang pasien yang sudah melanglang buana ke mancanegara, dan menghabiskan puluhan juta rupiah untuk berobat, berhasil sembuh. Begitu pula yang dialami Abdullah Yasin, Mbah Elang, dan lain-lain. I Nyoman Tista setiap hari harus melayani lebih dari 10 orang. Di hari Minggu bisa mencapai 100 orang. Andaikan mereka memasang tarif seperti dokter, pasti sudah kaya-kaya. Lha, di sini perbedaan dukun dengan dokter. Kebanyakan dukun tidak memasang tarif. "Biaya sukarela. Berapa saja saya terima. Bahkan kalau ada yang tidak mampu, tidak membayar juga tidak apa-apa," kata Mbah Elang. Sikap seperti ini dilakukan oleh dukun-dukun lain. Sebab, mereka menganggap apa yang mereka kerjakan adalah untuk melaksanakan bisikan gaib. Tujuannya semata-mata demi kesejahteraan sesama manusia, tanpa pamrih. Itu sebabnya mengapa Yasin tak berani kawin lagi setelah dua kali bercerai. "Perempuan," katanya berdalih, "paling gampang tergoda materi." Berobat kepada dukun bukannya tanpa alasan. Umumnya mereka merasa frustrasi pada dokter. Contohnya Hadimin, bujangan dari Ponorogo yang baru berusia 25 tahun. Jauh-jauh ke Desa Sokosewu lantaran sebelah kakinya lumpuh digigit ular ketika sedang mencangkul di sawah. Puskesmas di Ponorogo dan RSU Dr. Soetomo, Surabaya, sudah disambanginya. Dokter mengusulkan agar kakinya diamputasi, dipotong. Keruan Hadimin menolak, lalu memilih Mbah Mukiran. Aneh bin ajaib, setelah seminggu "mondok" di rumah Mbah Kiran, ia sudah mulai bisa berjalan. Yulis, 18 tahun, penduduk Desa Banaran, Kecamatan Kadangan, Kediri, sudah empat bulan dirawat Mukiran karena menderita kanker. Ayahnya, Suyanto, acap menjenguk dan menungguinya. "Sejumlah dokter sudah kami datangi, tapi tak mampu menyembuhkan anak saya," kata ayah yang berharap banyak dari Mukiran ini. Dan harapannya memang tak sia-sia. Yulis, anak laki-laki kesayangannya, sekarang berangsur sehat. Perut dan kaki Yulis yang dulu bengkak, kini mengempis. "Wajahnya pun terlihat mringah -- cerah," kata Suyanto bahagia. Wayan Suakarna, 35 tahun, penduduk Kabupaten Bangli, pernah menderita penyakit kulit. Luka di kakinya mengeluarkan air yang tak sedap dipandang mata dan tak menggembirakan alat penciuman. Telah dicobanya berobat ke beberapa dokter. Tapi entah mengapa tak juga sembuh. Akhirnya, ia pergi ke I Nyoman Tista di Desa Binyan. Luar biasa, hanya dengan mantra dan minta maaf pada leluhur, Suakarna sembuh. "Saya pernah membangun tempat suci tanpa minta izin leluhur," katanya menyesal. Dan ia yakin, sebagaimana Nyoman pun yakin, segala penyakit disebabkan karena bersalah pada leluhur. Priyono B. Sumbogo, Slamet Subagyo, Zed Abidin, Nengah Wedja, dan Joko Daryanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus