Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tiga Mengusik Nurani Keadilan

Membebaskan Tommy Soeharto, tiga hakim agung bergeming meski menuai banyak hujatan. Bagaimana sepak terjang mereka?

7 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEBAS murni. Itulah "hadiah" yang tidak diduga-duga—juga oleh yang punya diri—yang diberikan kepada terpidana Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Setelah sekitar empat bulan bekerja, majelis peninjauan kembali (PK) tindak pidana korupsi tukar guling (ruilslag) tanah Bulog dengan PT Goro Batara Sakti memutuskan pembebasan Tommy dari tuduhan. Tanggapan khalayak akan keputusan kontroversial ini ternyata lebih banyak kontra daripada pro. Akibatnya, putusan itu membuat majelis hakim agung yang diketuai Wakil Ketua MA, Drs. H. Taufiq, dikecam habis-habisan. Isu suap dan rasa takut (dari ancaman) disebut-sebut sebagai biang keladi keluarnya putusan kontroversial tersebut. Pujian atas sikap hakim mungkin hanya datang dari Nudirman Munir, kuasa hukum Tommy. Ia dengan tegas mengucapkan rasa kagumnya atas sikap hakim yang tetap berpegang pada keyakinannya dan dengan berani menentang arus hujatan berbagai pihak. Profil ketiga hakim agung pembebas Tommy ini mungkin menarik. Berikut sepak terjang mereka sepanjang karirnya. Drs. H. Taufiq, S.H., M.H. Lelaki kelahiran Lamongan, Jawa Timur, 7 Januari 1938 ini dikenal ahli hukum agama. Tak aneh, karena sejak kecil ia bersekolah di madrasah ibtidaiah (setingkat sekolah dasar) hingga menimba ilmu di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Selepas kuliah, Taufiq menjadi pegawai di pengadilan agama. Karirnya meroket setelah meniti berbagai jenjang. Dua jabatan ketua pengadilan agama disandangnya, pertama di Tuban dan kemudian di Bojonegoro, Jawa Timur. Berikutnya, ketua pengadilan tinggi agama diembannya pula di dua tempat secara berurutan, di Surabaya dan Jakarta. Di Ibu Kota, Taufiq sempat menimba ilmu di Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Ketika Mahkamah Agung membutuhkan hakim agung pengadilan agama, ia pun masuk dengan mulus. Dari sinilah, karirnya di jalur birokrasi kian berkembang. Terbukti kemudian ia menjadi Sekretaris Direktorat Jenderal Bima Islam dan Urusan Haji Departemen Agama. Namanya melambung ketika ia diangkat oleh Presiden Abdurrahman Wahid sebagai Wakil Ketua MA, 18 Desember 2000. Saat itu, Abdurrahman sedang berseteru dengan anggota parlemen perihal calon Ketua MA. Saat dilantik, Taufiq dengan takzim mencium tangan Gus Dur. Perbuatannya ini segera melahirkan banyak hujatan—bahkan ada yang menudingnya penjilat penguasa—di samping banyak suara menyebutnya tidak dapat menempatkan dirinya sebagai pejabat negara. Meski berada dalam koridor pengadilan agama, bau tak sedap melingkupi perjalanan karirnya. Sumber TEMPO di MA mengatakan, Taufiq kerap "bermain" perkara. Satu di antaranya, ketika Indonesian Corruption Watch (ICW), melalui staf divisi hukum dan monitoringnya, Wasingatu Zakiyah, menuding Taufiq mengeluarkan surat sakti pada 15 Januari 2001. Surat ini memenangkan PT Enico dalam perseteruannya dengan PLN. Departemen Pertambangan pun kemudian harus membayar ke PT Enico lebih dari Rp 2,1 miliar, ditambah bunga majemuk 3 persen setiap bulan. Tudingan suap itu dibantah Taufiq. "Soal tudingan (menerima) suap, silakan lapor ke kejaksaan. Akan saya hadapi...," katanya. Statusnya sebagai pegawai negeri ternyata tidak menghalangi Taufiq menggemukkan kekayaannya. Tengok saja laporan KPKPN yang diumumkan dalam tambahan berita negara (TBN) No. 55 tertanggal 10 Juli 2001. Di sini tertera bahwa jumlah kekayaannya Rp 2,1 miliar dan US$ 5.460. Dari mana semua itu? Taufiq sadar betul bahwa keputusannya melepas Tommy akan mendapat banyak hujatan dari masyarakat. Walaupun begitu, ia tetap teguh dengan keputusannya, yang diyakininya berdasarkan alasan-alasan kuat. "Kalau ada yang tidak setuju, silakan saja. Kalau ada yang mengatakan putusan kami mengotori MA, itu terserah," ujarnya. Meskipun menuai banyak celaan atas putusannya, Taufiq tetap bergeming. Dan ia punya dalih. "Dalam kaidah ilmu hukum yang saya anut, lebih baik saya salah dengan tidak menghukum daripada salah karena menghukum orang," katanya pula. Ia pun siap seandainya keputusan tersebut membuatnya harus hengkang dari MA. "Pokoknya, kalau ada apa-apa, saya yang tanggung jawab. Saya siap kalau harus diberhentikan sebagai wakil ketua (MA) maupun hakim agung," tutur Taufiq. Mayjen (Purn.) H. German Hoediarto, S.H. Karir German, 60 tahun, dimulai setelah ia lulus dari Akademi Militer Nasional (AMN) Magelang, 1964. Pria kelahiran Bandung ini kemudian diperbantukan sebagai staf khusus Rektor Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, yang sedang berbenah akibat prahara G30S-PKI. Ia bisa melewati masa-masa sulit itu. Dari Purwokerto, German ditugaskan ke Balikpapan. Antara 1972 dan 1980, ia sempat menjabat Kepala Hukum Komando Daerah Militer setempat dan Kepala Oditur Militer Kalimantan Timur. Pada 1980, ia ditarik ke Direktorat Hukum TNI AD, dan sejak itu jabatan hakim militer disandangnya. Selama kurun 1982-1983, German diangkat sebagai Kepala Mahkamah Militer Medan dan Banda Aceh. Ditarik kembali ke Jakarta, ia bergabung di Badan Pembinaan Hukum (Babinkum) TNI, 1983. Lalu, sampai 1984, ia menjadi penjabat Kepala Mahkamah Militer Surabaya, Malang, dan Madiun. Selanjutnya, German menjabat Asbin Babinkum TNI (1984-1985), dan pada 1985-1988 menjadi Kepala Mahkamah Militer Tinggi di Surabaya. Kembali lagi ke Jakarta, 1988, ia menyandang Wakil Babinkum TNI. Pada tahun yang sama, German dipercayai menjadi Direktur Hukum TNI AD. Ia juga ditaruh di Kabiro Hukum Hankam, 1990-1991. Dan sejak Desember 1990, ayah dua anak dan kakek tiga cucu ini diangkat menjadi Hakim Agung MA dan menjabat Ketua Muda MA Bidang Peradilan Pidana Militer. Nama German mulai terangkat ketika, sebagai hakim agung, menolak gugatan 11 partai politik untuk membubarkan Golkar. Partai berkuasa pada masa Orde Baru ini dituduh menggunakan dana Bank Bali Rp 15 miliar saat kampanye 1999. Selain kasus gugatan 11 parpol terhadap Golkar itu, German pernah menangani kasus besar lainnya. Yang menghebohkan adalah perkara pembunuhan pemimpin PT Irama Tara, Nyo Beng Seng, dengan terdakwa Eng San alias Hasan, pada 1999. Kepada TEMPO, German mengaku sudah jenuh menjadi hakim agung. "Soalnya, tiap hari cuma ngadepin berkas-berkas," katanya. Ada keinginan memperdalam ilmu hukumnya, tapi tempat tugas yang senantiasa berpindah-pindah membuat cita-citanya sulit terlaksana. Menurut sumber TEMPO di lingkungan Mahkamah Agung, German dikenal suka main perkara. Ia disebut memiliki seorang kawan dekat yang kabarnya memiliki jaringan mafia perkara yang tersebar mulai dari Bandung, Surabaya, Makassar, hingga Jakarta. Atas tudingan itu, German membantahnya. "Biarin orang menuding saya menerima suap. Mereka juga boleh menuduh saya seperti apa. Itu saya biarkan saja, yang penting saya tidak melakukannya," katanya panjang lebar. H. Soeharto, S.H. Jabatan terakhirnya di Mahkamah Agung adalah Ketua Muda Bidang Perdata Tertulis. Pendidikan formal pria yang lahir di Bogor 24 Februari 1938 ini, sampai SMA, dijalani di Rembang, Jawa Tengah. Ia kemudian mengambil Jurusan Ilmu Hukum Pidana di UGM, selesai pada 1963. Dari sini, Soeharto langsung berkarir sebagai hakim di Pengadilan Negeri Rembang, sampai menjadi Ketua PN Rembang dua tahun kemudian. Berpindah-pindah di seantero pengadilan negeri di Jawa Tengah, Soeharto kemudian diangkat menjadi Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, lalu Ketua PN Jakarta Utara, keduanya pada 1980. Lima tahun berikutnya, ia menjadi hakim tinggi di Pengadilan Tinggi Sumatra Utara, dan pada 1992 beralih jadi Ketua PT Sumatra Barat. Tahun berikutnya, Soeharto kembali ke Ibu Kota dan menjadi Ketua PT Jakarta. Lalu, dua tahun kemudian, Soeharto, dengan keputusan presiden, menjadi Hakim Agung RI. Pada 1997, penerima delapan tanda jasa ini diangkat sebagai Ketua Muda MA Bidang Hukum Perdata Tertulis. Soeharto sempat "menanam jasa" kepada Megawati Sukarnoputri, yang kini Presiden RI. Ia pernah memenangkan sebagian gugatan Mega terhadap panitia Kongres PDI (Soerjadi), seperti Buttu Hutapea, Fatimah Ahmad, dan Soerjadi. Nama Soeharto mulai dikenal ketika, sebagai hakim tinggi di PT Jakarta, menjatuhkan vonis 20 tahun penjara kepada terpidana korupsi Eddy Tansil, 1984. Sayangnya, Eddy kemudian lenyap bak ditelan bumi sebelum eksekusi dilaksanakan. Yang juga pernah merasakan kerasnya ketukan palu Soeharto adalah para terpidana kasus narkotik dan pembunuhan. Salah satunya, Tan Tuck Yin alias Asai, warga negara Malaysia, yang diadili pada 1995 di Pengadilan Tinggi Jakarta. Oleh Soeharto, Asai, setelah terbukti bersalah, divonis hukuman mati. Agus Hidayat dan Rommy Fibri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus