Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Balas Budi Mahkamah Buat Tommy

MA, lewat vonis peninjauan kembali, membebaskan Tommy Soeharto dalam kasus korupsi Bulog. Semangat melibas korupsi cuma basa-basi, karena peradilan masih seperti semasa Orde Baru?

7 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HUKUM tinggal bendera hitam setengah tiang. Ia sudah dikubur oleh uang dan kekuasaan (sekaligus ketakutan). Gerakan reformasi yang menuntut agar korupsi, kolusi, dan nepotisme lenyap dari bumi Indonesia tinggal menjadi retorika. Sebab, peradilan ternyata masih jauh dari kebenaran dan rasa keadilan. Fenomena itulah yang terjadi ketika Mahkamah Agung (MA) melalui vonis peninjauan kembali (PK), Senin pekan lalu, membebaskan Tommy Soeharto dalam kasus korupsi ruilslag (tukar-menukar) tanah antara Bulog dan Goro. Menurut majelis PK yang terdiri dari Taufiq, Soeharto, dan German Hoediarto, Tommy tak bisa dipersalahkan dalam kasus korupsi senilai Rp 76,7 miliar itu. Sebab, Tommy sejak 9 September 1996 sudah tak menjadi Komisaris Utama Goro. Ia digantikan oleh R. Isa Danubrata (kini almarhum). Kalaupun Tommy masih komisaris utama, kata ketua majelis PK, Taufiq, berdasarkan Undang-Undang Per-seroan Terbatas Tahun 1995, ia tak bisa dituntut ikut bertanggung jawab atas perbuatan Direktur Utama Goro, Ricardo Gelael. Kontan, vonis bak geledek di siang bolong itu mengundang gelombang reaksi dari berbagai kalangan. Mereka menganggap vonis itu tak tepat, pada saat masyarakat berharap agar peradilan bersikap tegas terhadap koruptor, apalagi Tommy masih buron. MA pun dinilai tak peka terhadap rasa keadilan masyarakat. Vonis itu juga semakin memuncakkan kontroversi kasus korupsi ruilslag Bulog-Goro. Dulunya, peradilan kasus itu diharapkan bisa membuktikan betapa para pengusaha dan kerabat dekat mantan presiden Soeharto semasa Orde Baru bisa dengan gampang mengeruk laba dari kocek negara. Kasus itu diduga tak luput dari peran dan pengaruh Tommy, yang bisnisnya berjaya bersamaan dengan kekuasaan kuat ayahnya sebagai presiden. Proses ruilslag tersebut, yang seolah-olah urusan perdata menyangkut perjanjian bisnis, ditengarai berselimut muslihat hukum. Tukar-menukar tanah itu tak melalui lelang (tender) dan hanya diperoleh Goro. Hebatnya, tanah penukar dari Goro belum ada, tapi tanah dan gudang Bulog sudah diambil Goro. Dana untuk pembebasan tanah calon pengganti juga diperoleh Goro dari pinjaman Bulog sebesar Rp 32,5 miliar. Di pengadilan, ternyata proses perkaranya bak orkestra yang apik. Sebab, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis bebas Tommy dan Ricardo. Pengadilan berpendapat bahwa kasus Bulog-Goro hanya perkara perdata, bukan korupsi. Majelis hakim yang diketuai Sunarto juga menyatakan bahwa unsur melawan hukum dalam kasus korupsi itu tak terbukti. Adapun soal pembongkaran gudang Bulog dan pembangunan Goro, menurut Hakim Sunarto, merupakan rangkaian persiapan ruilslag. Sedangkan unsur merugikan uang negara, tambah Sunarto, tak ada. Alasannya, tanah di Kelapagading dan tanah di Marunda tetap menjadi milik Bulog. Jadi, "Bulog tidak kehilangan aset. Malah, Bulog dianggap mendapat keuntungan," ujar Sunarto. Akan halnya dana Bulog sebesar Rp 32,5 miliar yang di-berikan kepada Hokiarto, hal itu dianggap Sunarto sebagai pinjaman Hokiarto ke Bulog. Dan itu tak terkait dengan Tommy atau Ricardo. Tentu saja Jaksa Fachmi merasa keberatan. Ia mengajukan kasasi. Dalih tentang Bulog bakal untung, menurut Fachmi, masih bersifat perkiraan, selain juga setelah kasus korupsinya terjadi. Ternyata, majelis kasasi di MA menganulir putusan itu. Majelis hakim agung yang diketuai Syafiuddin Kartasasmita (almarhum) sependapat bahwa proses ruilslag itu mengandung rangkaian perbuatan melawan hukum. Berdasarkan hal tersebut, Tommy dan Ricardo masing-masing dihukum 18 bulan penjara. Tak dinyana, setahun kemudian, vonis kasasi itu ditorpedo oleh majelis PK. Menurut majelis ini, PK Tommy dikabulkan lantaran adanya novum (bukti baru), yaitu Tommy bukan komisaris Goro lagi ketika kasus terjadi. Dan, yang lebih penting, menurut Hakim Agung Taufiq, vonis kasasi mengandung kekhilafan. Majelis kasasi menganggap putusan pengadilan tingkat pertama bukan vonis bebas murni. "Ketika kami kaji, ternyata putusan itu menyatakan bahwa terdakwa bebas dari segala dakwaan jaksa. Itu berarti vonis bebas murni yang tak bisa dikasasi," kata Taufiq. Buat keluarga Soeharto di Jalan Cendana, Jakarta, tentu vonis PK itu amat menggembirakan. Salah seorang pengacara Tommy, Nudirman Munir, juga tak terkira gembiranya. "Saya salut dengan majelis hakim PK yang punya independensi. Majelis benar-benar berpijak pada hukum dan kebenaran, tak mau tunduk pada intervensi pihak lain, termasuk hujatan masyarakat," kata Nudirman. Tak demikian halnya dengan Jaksa Fachmi. Ia menganggap vonis PK bersifat blunder. "Soal Tommy bukan komisaris Goro lagi, itu sih bukan novum," ucap Fachmi, sebagaimana dikutip Koran Tempo. Katanya, kualitas Tommy selaku komisaris sudah dibedah di peradilan pertama. Fachmi juga berpendapat bahwa argumentasi Taufiq yang menggunakan dalil Undang-Undang Perseroan Terbatas Tahun 1995, yang mulai berlaku sejak 7 Maret 1996, mengada-ada. Pendapat senada diutarakan pula oleh praktisi hukum Ricardo Simanjuntak. Menurut Ricardo, jangankan komisaris, pemegang saham pun bisa dituntut turut bertanggung jawab terhadap tindak pidana yang dilakukan direksi. "Untuk transaksi besar seperti pada kasus Bulog-Goro itu, tak mungkin komisaris dan pemegang sahamnya tak mengetahui," kata Ricardo. Boleh dibilang, dalil Taufiq tentang kekhilafan hakim kasasi terhitung kemunduran hukum. Pada 15 Desember 1983 saja, MA lewat yurisprudensi kasus korupsi Natalegawa menegaskan bahwa majelis kasasi berwenang menilai murni-tidaknya sebuah vonis bebas. Bila vonis bebas dari pengadilan bawahan ternyata keliru menafsirkan tindak pidana dalam dakwaan jaksa dan bukan berdasarkan pada tak terbuktinya unsur-unsur pasal dakwaan, berarti vonis bebas itu tidak murni dan bisa dikasasi. Itu sebabnya, vonis bebas Natalegawa di tingkat pertama diganti MA dengan hukuman pidana. Hal lain yang diprotes Fachmi adalah waktu vonis PK yang dianggapnya terlalu dini dan tak tepat karena diketuk ketika Tommy masih buron. Seharusnya, menurut Fachmi, putusan PK dikeluarkan setelah Tommy muncul, sebagai bukti terpidana ini menghormati hukum. Ada kesan, vonis PK diburu-buru dan seolah-olah menjadi prioritas utama MA. Proses itu, janggalnya pula, tak diketahui oleh Ketua MA, Bagir Manan. Kabarnya, majelis PK Taufiq dan dua koleganya sesama hakim karir itu dibentuk setelah Taufiq menjadi Wakil Ketua MA dan pelaksana harian Ketua MA, pada Januari 2001. Adapun Bagir, yang bukan dari jalur hakim karir, baru menjadi Ketua MA pada 18 Mei 2001. Tak cuma itu. Majelis PK juga tak berkonsultasi dulu dengan majelis kasasi. Setelah Syafiuddin tewas ditembak, dua anggota majelis kasasinya, yakni Soeharso dan Sunu Wahadi, yang kini sudah pensiun, mengaku tak pernah diajak berkonsultasi. Padahal, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi MA Tahun 1994 mengharuskan hal itu. Namun, Taufiq membantah anggapan bahwa vonis PK itu mendadak. Katanya, proses penyelesaian PK itu sudah lama. Ketua MA juga mengetahuinya. "Waktu kami menanyakan pada Ketua MA apakah ada arahan, Ketua MA bilang tak ada arahan apa pun dan menyerahkan sepenuhnya kepada majelis PK," kata Taufiq. Mungkin pengaruh Ketua MA tak ada. Tapi tekanan lain berlangsung lewat seorang calo perkara terkenal di MA. Calo yang membawa "order" agar vonis PK Tommy dipercepat dan memenangkan Tommy ini menghubungi German Hoediarto, yang kemudian berkompromi dengan Taufiq. Tak aneh ketika tiga hakim agung itu melakukan voting, suara German senada dengan Taufiq, sementara Soeharto tidak. Soeharto bertahan untuk menolak vonis bebas Tommy karena, antara lain, Tommy sudah mengajukan grasi ke presiden—berarti ia mengakui kesalahan. Jelas, suara Soeharto kalah melawan suara Taufiq dan German. Lagi-lagi Taufiq menepis kabar itu. Katanya, vonis PK sudah berdasarkan musyawarah majelis pada tanggal 14 September 2001. Adapun soal grasi Tommy, menurut Taufiq, itu tak ada hubungannya dengan PK, apalagi tak ada undang-undang yang melarang PK bersamaan dengan grasi. Tanggapan serupa juga dilontarkan German. Ia pun membantah adanya isu suap di balik vonis PK. "Biarin orang menuding suap. Sekarang kan orang-orang dan media massa boleh ngomong apa saja. Yang penting, saya tak melakukannya," ujar German. Seperti German, Taufiq tak lupa menandaskan bahwa vonis kemenangan buat Tommy diketuk bukan lantaran mereka diteror atau merasa takut mengalami nasib seperti almarhum Syafiuddin. "Saya sadar bahwa putusan ini akan dihujat masyarakat. Sebaliknya, kalau benar ketua majelis kasasi dibunuh Tommy, saya akan mendapat risiko mati bila menerima vonis kasasi. Tapi, hidup itu lebih berat lo, daripada mati," kata Taufiq. Buat Taufik, ia memutuskan PK semata-mata menjalankan ajaran agama Islam. "Biarpun orang membenci Tommy, Pak Harto, juga Orde Baru, janganlah kita lantas tak adil. Bagaimanapun, kebenaran harus ditunjukkan, walau memenatkan masyarakat," tutur Taufiq, yang mengaku siap diberhentikan sebagai Wakil Ketua MA ataupun hakim agung bila terbukti vonis itu "ada apa-apanya". Yang jelas, vonis PK tak bisa diralat lagi, kendati Kejaksaan Agung menempuh upaya hukum yang juga keliru, yakni mengajukan PK atas PK tersebut. Tinggallah kini tantangan berat bagi Bagir Manan untuk memulihkan citra MA, yang babak-belur dihantam isu kolusi dan vonisnya dianggap tak bermutu. Apalagi kondisi peradilan sekarang diduga tak berbeda dengan semasa Orde Baru. Hal itu setidaknya ditunjukkan dengan pembatalan dakwaan terhadap tiga mantan hakim agung serta seorang pejabat MA dalam kasus suap. Happy S., Rommy Fibri, dan Agus Hidayat
Bekas Jejak Hukum Tommy TOMMY Soeharto masih raib. Namun, hukum berpihak pada putra bungsu mantan presiden Soeharto itu. Pencarian oleh kepolisian yang pernah mengultimatum tiga kali 24 jam juga tak kunjung berkabar. 16 Februari 1995 Beddu Amang menjadi Kepala Bulog. Esoknya, ia langsung meneken perjanjian dengan Tommy sebagai Direktur Utama PT Sekar Artha Sentosa. Isi perjanjian itu, tanah 50 hektare serta bangunan di atasnya milik Bulog di Kelapagading, Jakarta Utara, ditukar (ruilslag) dengan tanah seluas 125 hektare di Marunda, Jakarta Utara, yang akan disediakan pihak Tommy. 11 Agustus 1995 Tommy dan Ricardo Gelael, masing-masing selaku komisaris utama dan Direktur Utama PT Goro Batara Sakti, membuat perjanjian dengan Beddu Amang. Perjanjian ini persis dengan perjanjian ruilslag sebelumnya antara Bulog dan PT Sekar. 1996-1997 Untuk mengupayakan tanah calon pengganti, Goro meminjam uang Rp 20 miliar ke Bank Bukopin. Jaminannya tanah seluas 25 hektare milik Hokiarto dari Goro di Marunda. Tapi pinjaman itu ditolak bank. Hebatnya, Beddu mengganti jaminan tadi dengan deposito Bulog Rp 23 miliar. Saat jatuh tempo, pinjaman itu dikemplang oleh Goro. Ee, lagi-lagi Beddu malah memberi pinjaman Rp 32 miliar dari Bulog kepada Hokiarto untuk pembebasan tanah calon pengganti itu. Beddu juga meminjamkan 16 gudang Bulog untuk dijadikan Pusat Perkulakan Goro, meski tanah calon pengganti belum ada. Sudah begitu, barang-barang Bulog di gudang itu pun dialihkan ke gudang lain dan Bulog mesti membayar sewa kepada Goro. Sampai di sini, rentetan muslihat bisnis ruilslag telah merugikan Bulog Rp 95,5 miliar. 19 Februari 1999 Akhirnya, kasus ruilslag diproses pengadilan dengan tuduhan korupi. Beddu, Tommy, dan Ricardo jadi terdakwa. 19 April 1999 Ternyata, dakwaan jaksa terhadap Beddu ditolak Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Alasannya sepele, yakni jaksa tak mencantumkan jabatan Beddu sebagai anggota MPR. Kini, Beddu kembali disidangkan di pengadilan yang sama. 14 Oktober 1999 Muncul lagi kejutan dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tommy dan Ricardo dibebaskan. Majelis hakim menganggap kasus tukar-menukar tanah itu cuma perkara perdata. Jaksa mengajukan kasasi ke MA. 22 September 2000 Di MA, ternyata majelis kasasi yang terdiri dari Syafiuddin Kartasasmita, Soeharso, dan Sunu Wahadi memvonis Tommy dan Ricardo masing-masing dengan hukuman 18 bulan penjara. Majelis kasasi juga menghukum Tommy untuk membayar ganti rugi Rp 30,68 miliar, sedangkan Ricardo harus membayar ganti rugi Rp 7,67 miliar kepada negara. 2 Oktober 2000 Ricardo mengajukan grasi ke presiden. Esoknya giliran Tommy. 5-6 Oktober 2000 Presiden Abdurrahman Wahid dikabarkan bertemu dengan Tommy di Hotel Borobudur dan Hotel Regent, Jakarta. "Ada tawar-menawar (grasi) dalam pertemuan itu," kata Elza Syarief, pengacara Tommy. 30 Oktober 2000 Tommy mengajukan peninjauan kembali (PK) ke MA. Upaya ini jelas kontroversial dengan permohonan grasi. Dengan minta ampun kepada presiden berarti Tommy mengakui kesalahannya. Sebaliknya, dengan mengajukan PK, berarti ia tak mengakui kesalahannya. 2 November 2000 Dalam tempo cepat, Presiden menolak grasi Tommy dan Ricardo. Tak dinyana, esoknya, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Antasari Azhar, menyatakan bahwa Tommy kabur. Adapun Ricardo menerima putusan dan masuk ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta. "Saya pasrah. Saya lebih mementingkan keluarga," kata Ricardo. 26 Juli 2001 Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, yang memvonis kasasi Tommy, tewas ditembak saat mengendarai mobilnya di Jalan Sunter Raya, Jakarta Utara. 6 Agustus 2001 Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Sofjan Jacoeb menuduh Tommy sebagai tersangka pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita. Tommy juga disangka terlibat kasus peledakan bom di Jakarta, setelah ditemukan senjata api dan bahan peledak di Pondokindah, Jakarta Selatan, serta di Apartemen Cemara, Jakarta Pusat. Sofjan Jacoeb lantas memberikan waktu 3x24 jam bagi Tommy untuk menyerahkan diri. "Apabila lewat tenggat, kami akan melakukan tindakan tegas dan keras," katanya. Kenyataannya, ancaman ini cuma sesumbar. 17 Agustus 2001 Ricardo memperoleh remisi. 1 Oktober 2001 Majelis hakim agung yang terdiri dari Taufiq, German Hoediarto, dan Soeharto mengabulkan permohonan PK Tommy. Berdasarkan itu, Tommy pun divonis bebas. Toh, Tommy masih raib. Mungkinkah ia mau menyerahkan diri setelah dianugerahi vonis bebas? Agaknya, kepolisian mesti sungguh-sungguh melacaknya. Bukankah ada dua kasus lagi yang dibidikkan ke Tommy, yakni pembunuhan Syafiuddin dan pengeboman?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus