M. Sadli *)
*) Pakar ekonomi
SETELAH serangan terorisme di Amerika Serikat, peta bumi politik dan ekonomi dunia berubah banyak. Di bidang politik, ada suasana dalam negeri yang sangat mengancam bagi pemerintahan Megawati. Kalau Afganistan sampai diserang dan banyak penduduk sipil terbunuh, mayoritas penduduk Indonesia akan bersimpati kepada pihak yang lemah itu, dan bagian dari gerakan politik Islam yang militan bisa menggoyangkan kestabilan pemerintah RI. Lepas dari skenario buruk ini, diharapkan mayoritas yang moderat bisa mengimbangi minoritas yang galak. Pemerintah tidak bisa bertindak sendiri, dan perlu dibantu oleh mayoritas masyarakat yang mengutamakan pemulihan ekonomi. Siapakah yang harus menggerakkan penyelamatan politik ini? Jelas Megawati tidak bisa sendiri.
Asumsi-asumsi dasar ekonomi untuk tahun 2001 dan 2002 mulai goyah. Pada ekonomi makro, tingkat inflasi, suku bunga, dan kurs rupiah cenderung keluar dari ambang aman. Di sektor riil, bisa dipastikan ekspor nonmigas akan turun, dan pertumbuhan PDB tahun 2001 dan 2002 kurang dari perkiraan pemerintah semula. Lalu, apa yang harus disiapkan sebagai skenario dan kebijakan alternatif?
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Kwik Kian Gie mengemukakan wacana mengubah rezim devisa, yaitu supaya kurs rupiah tidak diserahkan kepada kekuatan-kekuatan spekulasi di pasar. Menteri Keuangan Boediono langsung menolaknya.
Kiranya suara Boediono akan mencerminkan haluan pemerintah. Kalau kurs rupiah dipatok, masalah pertama adalah pada tingkat apa. Tentu tidak di atas Rp 10.000, tapi akan cenderung ke kurs yang sudah menjadi pegangan pemerintah untuk RAPBN 2002, yakni di bawah Rp 9.000 per dolar AS. Namun, pada tingkat itu, permintaan devisa untuk transfer akan jauh lebih besar dari cadangan devisa yang bisa dikorbankan. Maka, kurs tetap demikian harus dibarengi oleh penjatahan devisa untuk keperluan operasi dan transfer modal. Transfer modal tidak bisa bebas.
Bagi modal yang mau masuk ke Indonesia, tidak ada kepastian lagi bahwa setiap waktu dipandang perlu bisa dikeluarkan lagi. Akibatnya, arus modal yang masuk hanya terbatas kepada PMA yang besar-besar yang memang mau mendirikan proyek besar. Padahal, dalam situasi yang baru sekarang ini, ketika (citra) keamanan orang asing sedang memburuk, janganlah berharap banyak bahwa PMA besar yang masuk. Keadaan keamanan dalam negeri harus diperbaiki dulu secara meyakinkan.
Pihak IMF, pemerintah, dan pakar ekonomi dalam negeri berkesimpulan bahwa yang sekarang harus diutamakan adalah kehidupan ekonomi dalam negeri. Tapi tidak bisa dengan pump priming atau deficit spending seperti saran Lord Keynes untuk memerangi depresi. Inflasi Indonesia sudah tinggi.
Di pihak lain, kehidupan ekonomi dalam negeri membutuhkan investasi. Yang diharapkan dan yang harus dirangsang adalah investasi dari kalangan PMDN, khususnya dari kalangan etnis Tionghoa. Mereka telah memarkir puluhan miliar dolar kekayaannya di luar negeri. Apakah mereka akan takut seperti orang Amerika dan orang Barat? Pada umumnya, investor PMDN ini tahu medan keadaan dalam negeri dan lebih berani mengambil risiko. Tapi mereka akan teringat pada trauma bulan Mei 1998 setiap kali melihat gambar-gambar di media massa Indonesia yang menampilkan laskar jihad dengan pedang terhunus.
Pemodal dalam negeri ini sudah biasa dengan rezim devisa bebas dan merasa aman. Kalau rezim devisa bebas diganti, modal yang masih ada di luar tidak akan masuk. Tentu akan selalu ada pasar gelap dan kurs bebas di samping kurs resmi. Biaya transfer modal demikian menjadi mahal.
Pengusaha Indonesia di Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia kurang merasa senang kepada pemerintah sekarang karena merasa kurang diperhatikan. Kondisi ini harus ditanggapi oleh para menteri ekonomi. Secara public relations, para menteri ini harus ramah kepada Kadin dan selalu bersedia mengadakan dialog secara terbuka.
Kadin Indonesia secara tradisional merupakan kelompok lobi bagi sebagian besar pengusaha pribumi, yang di waktu yang lalu senantiasa minta berbagai fasilitas, kredit murah, serta perlindungan dari pemerintah. Sekarang ini, pemerintah tak mampu memberikan fasilitas demikian. Karena itu, kiranya Kadin akan mendukung gagasan kurs rupiah tetap, dengan harapan bisa mendapat jatah. Tapi pemerintah terutama akan menjadi pembagi jatah dan dalam iklim politik baru akan terus dituduh main KKN. Pemerintahan Megawati pasti tidak akan bisa menepati janji bahwa pemerintahnya, juga keluarganya, akan bebas dari tudingan dan citra buruk KKN ini.
Mengubah unsur-unsur utama paket kebijakan ekonomi, seperti sudah tertera di letter of intent (LoI) dengan IMF, membahayakan Paris Club II dan III. Tanpa rescheduling, neraca pembayaran akan memikul beban yang terlalu berat dan rezim devisa apa pun tidak bisa mencegah kejatuhannya. Maka, dalam keadaan baru yang sangat mencekam ini, tetaplah berkepala dingin. Jangan ubah unsur-unsur kebijakan ekonomi makro dan program restrukturisasi yang sudah menjadi janji dan tanggungan LoI.
Bagaimanapun, masih ada beberapa opsi yang bisa dipertimbangkan, walaupun merupakan opsi yang sangat sulit. Penjualan aset Badan Penyehatan Perbankan Nasional dan privatisasi badan usaha milik negara masih berjalan tersendat-sendat. Batu ujiannya adalah kasus BCA dan Semen Gresik. Kalau dana dari sumber ini tidak cukup untuk menutup defisit, jalan keluarnya adalah mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) lebih cepat, dan pada tahun 2002 menaikkan harga BBM. Pemungutan pajak, pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh), lebih ditingkatkan.
Maka, para politisi di DPR, pakar ekonomi yang populis, dan LSM tidak boleh menutup sebelah matanya. Kalau mau yang enak, harus rela membayar rekeningnya. Kalau tidak mau menjual aset BPPN dan BUMN dan tidak mau membayar pajak lebih banyak, anggaran pembangunan harus dikurangi, transfer dana ke daerah ditunda, bunga obligasi tidak dibayar, utang luar negeri dikemplang. Semuanya itu punya konsekuensi yang harus dihadapi.
Sebetulnya, ada opsi lain yang lebih tepat, yaitu mengubah parameter yang menguasai keamanan dalam negeri dan penegakan hukum. Investasi dan ekonomi dalam negeri pasti akan lebih bergairah kalau keamanan lebih terjamin. Itu agenda politik. Keefektifan pemerintahan Megawati masih harus ditingkatkan. Ketiga menteri koordinator harus lebih kolektif dan kuat membantu Presiden Mega-wati. Partai-partai besar di DPR harus mendukung kebijakan Megawati dalam masa-masa yang bersifat krisis ini, atas dasar kesadaran bahwa menggantinya sebelum 2004 akan meruntuhkan bangunan negara ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini