Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tipis Peluang Gagalkan Revisi Undang-Undang KPK

Pegiat antikorupsi menemukan kecenderungan hakim Mahkamah Konstitusi mendukung revisi UU KPK.

4 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sidang lanjutan pengujian formil Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 3 Februari 2020. TEMPO/Magang/Ahmad Tri Hawaari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pegiat antikorupsi menemukan kecenderungan hakim Mahkamah Konstitusi mendukung revisi UU KPK.

  • Mahkamah Konstitusi dianggap terlalu lama memproses uji materiil dan uji formil UU KPK hasil revisi.

  • UU KPK hasil revisi melemahkan lembaga KPK karena menjadikan pegawai dan penyidik lembaga ini sebagai aparat sipil negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Sejumlah pegiat antikorupsi pesimistis Mahkamah Konstitusi akan mengabulkan uji formil dan uji materiil terhadap Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi, hari ini. Pengajar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, mengatakan banyak fakta yang mengindikasikan gugatan tersebut bakal ditolak. 

Pertama, kata dia, cara Mahkamah Konstitusi memproses permohonan gugatan yang terlalu lama. Proses sidang hingga pembacaan putusan yang dijadwalkan pada hari ini memakan waktu satu tahun lebih. "Padahal banyak kesempatan MK untuk menyelesaikannya lebih cepat," kata Zainal, kemarin. 

Kedua, dalam beberapa waktu terakhir, Mahkamah Konstitusi cenderung menghasilkan putusan yang terkesan aneh dan mengedepankan logika politik daripada logika hukum. Ia mencontohkan putusan MK terhadap permohonan uji materiil Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3) yang memutuskan KPK sebagai bagian dari eksekutif, sehingga bisa menjadi sasaran hak angket parlemen. 

Ketiga, MK sudah mengalami proses penjinakan lewat revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang diteken oleh Presiden Joko Widodo pada Oktober 2020. Revisi UU MK ini memperpanjang masa pensiun hakim konstitusi dari 65 tahun menjadi 70 tahun. "Banyak hakim yang diselamatkan lewat revisi UU MK ini," ujar Zainal. 

Di samping itu, dia menganggap sejumlah hakim konstitusi menampilkan sikap penolakan saat persidangan gugatan UU KPK hasil revisi. Zainal mencontohkan ketika dirinya dihadirkan sebagai ahli dalam persidangan. Dalam persidangan itu, Zainal menyampaikan ketidaksinkronan sikap Presiden Jokowi dalam proses revisi UU KPK. 

Ia menemukan bahwa Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly ikut dalam proses pembahasan dan persetujuan revisi UU KPK atas izin Presiden. Namun Menteri Hukum dan HAM yang meneken revisi UU KPK karena Presiden Jokowi tak mau menandatanganinya setelah DPR mengesahkannya. 

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo (kiri), Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly menyerahkan perubahan kedua atas UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK kepada Badan Legislasi DPR di komplek parlemen, Senayan, Jakarta, 12 September 2019. ANTARA/Tyaga Anandra

"Mengapa pada akhirnya Presiden menolak untuk menandatangani UU itu? Tidak ada alasan bagi Presiden untuk tidak meneken UU tersebut," katanya. 

Di depan majelis hakim, Zainal meminta MK memanggil atau setidaknya mendengarkan pernyataan resmi Presiden Jokowi tentang keengganannya menandatangani revisi UU KPK. Namun majelis hakim tak menggubris permintaan tersebut. 

"Dalam uji formil, masalah ini penting karena pembahasan dan penyetujuannya oleh Presiden. Menteri hanya bertindak atas nama Presiden," ujarnya. 

Dengan berbagai pertimbangan tersebut, Zainal menilai nyaris tertutup kemungkinan MK akan mengabulkan uji formil UU KPK hasil revisi. Namun, kata dia, bisa saja MK mengabulkan uji materiil UU KPK pada pasal-pasal yang tak krusial. "Ibaratnya hanya untuk hiburan publik semata," kata dia. 

Tiga pemimpin KPK periode lalu mengajukan uji formil dan uji materiil UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK pada November 2019. Ketiganya adalah Agus Rahardjo, Laode Muhammad Syarif, dan Saut Situmorang. Mereka menggugat atas nama pribadi yang tergabung dalam Tim Advokasi UU KPK. 

Gugatan mereka pada umumnya menyorot revisi UU KPK yang cenderung melemahkan lembaga KPK. Misalnya, menempatkan KPK dalam rumpun eksekutif, membentuk Dewan Pengawas, memberi wewenang menghentikan penyidikan perkara, serta mengubah status pegawai KPK menjadi aparat sipil negara (ASN). Perubahan status pegawai KPK ini akan membuat mereka menjadi tidak independen dalam memberantas korupsi. 

Ketua KPK periode 2019-2023, Firli Bahuri, lantas merealisasi alih status pegawai itu dengan membuat Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Alih Status Pegawai KPK Menjadi ASN. Dalam peraturan ini ditambahkan ketentuan asesmen wawasan kebangsaan bagi pegawai KPK sebelum alih status. 

Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, juga menemukan sikap hakim konstitusi yang terkesan mendukung revisi UU KPK selama persidangan. Dengan demikian, ia pesimistis Mahkamah Konstitusi akan mengabulkan uji formil dan uji materiil UU KPK hasil revisi tersebut. 

"Jika MK menolak gugatan, sama saja melegalkan proses legislasi ugal-ugalan yang dilakukan pemerintah dan DPR," kata Kurnia. 

Menurut Kurnia, proses legislasi revisi UU KPK sarat kepentingan politik. Sebab, proses legislasi itu berlangsung sangat cepat, hanya dalam waktu 14 hari, dari pengusulan, pembahasan, hingga pengesahan di DPR. Revisi UU KPK ini juga tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2019. Selain itu, jumlah anggota DPR dalam sidang paripurna pengesahan UU KPK hasil revisi tidak memenuhi kriteria kuorum. 

"Reaksi penolakan dari masyarakat pun tidak didengarkan," kata dia. 

Muhammad Busyro Muqoddas di Gedung KPK, Jakarta. Dok. TEMPO/Eko Siswono Toyudho

Mantan pemimpin KPK, Busyro Muqoddas, mengatakan idealnya Mahkamah Konstitusi menjadi satu-satunya harapan publik dalam memperkuat komisi antirasuah lewat pembatalan revisi UU KPK. Busyro juga mengingatkan MK agar menyikapi situasi KPK dan lembaga negara lainnya yang saat ini dikuasai oleh oligarki bisnis dan politik. 

"Arah angin MK sebagai negarawan dan pengawal konstitusi seharusnya dibebaskan dari oligarki tersebut," kata Busyro. 

Juru bicara Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono, membantah lembaganya mengulur sidang permohonan uji materi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Menurut dia, judicial review UU KPK hasil revisi membutuhkan persidangan yang lama lantaran menghadirkan ahli dan saksi. 

MK menggelar sidang sebanyak 12 kali sejak Desember 2019 hingga September 2020. Sesuai dengan risalah persidangan, MK menentukan batas akhir penyerahan kesimpulan para pihak pada 1 Oktober 2020. Namun belum selesai pembahasan rapat permusyawaratan hakim, MK memasuki masa penanganan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah pada 23 Desember 2020. 

"Yang pasti, waktu penyelesaian masih dalam batas wajar,” katanya. “Kalau soal ada yang pesimistis, tidak apa-apa. Itu sikap masing-masing. Yang optimistis saya kira juga tidak sedikit." 

INDRA WIJAYA 
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus