Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Majelis Masyayikh KH Abdul Ghaffar Rozin atau yang akrab disapa Gus Rozin menyampaikan maraknya pseudo pesantren seiring penetapan UU No. 18/2019 Tentang Pesantren.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sebelum adanya UU Pesantren, jumlah pesantren di Indonesia sekitar 28 ribuan. Namun, setelah adanya UU Pesantren jumlah pesantren naik menjadi 37 ribuan. “Maka, pseudo pesantren harus dilawan,” kata Ketua Asosiasi Pesantren Nahdlatul Ulama (NU) itu dalam keterangan tertulis, Rabu, 3 Agustus 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kenaikan tersebut, kata dia, disinyalir karena ada pesantren yang didirikan hanya untuk mendapatkan fasilitas dari negara. “Pesantren sebagai konsekuensi dari pelaksanaan UU Pesantren, sehingga pesantren-pesantren ini sebenarnya tidak memenuhi syarat dan rawan terjadi penyimpangan,” ucapnya.
Menurut Gus Rozin, cara melawan pseudo pesantren adalah dengan berpikir melompati kekhasan pesantren, melakukan kampanye publik dan countering terhadap stigma pesantren, melawan dengan melukis prestasi dan memberikan bukti harapan publik terhadap pesantren dapat terpenuhi, meningkatan mutu, serta menguatkan jaringan untuk konsolidasi pesantren asli.
Pengurus PWNU DKI Jakarta KH. Fuad Thohari menekankan bahwa rukun pesantren harus benar-benar diperhatian bagi setiap orang tua jika ingin memasukkan anaknya ke pondok.
Tokoh NU KH. Jamaluddin F Hasyim menilai pesantren yang benar adalah yang kyainya dan pesantrennya sama-sama dikenal masyarakat. Namun saat ini, marak pesanten yang masyarakat hanya mengenal pesantrennya, tetapi tidak mengenal kyainya atau pimpinan pesantrennya.
Selain itu, dia turut mengkritisi tentang UU Pesantren yang masih memiliki kelemahan yang fatal, yaitu tidak adanya pasal-pasal tentang sanksi untuk pesantren yang melanggar UU Pesantren, sehingga tidak memiliki kekuatan untuk memberikan hukuman.
“Hal ini perlu dijadikan pemikiran untuk menyempurnakan UU Pesantren tersebut,” ujarnya.
Tidak hanya itu, Ketua PW RMI-NU Jakarta KH. Rakhmad Zailani Kiki mengatakan istilah pseudo pesantren dicetuskan untuk mengisi kekosongan istilah yang selama ini membuat nama pesantren menjadi tercermar dan untuk mencegah terjadinya asosiasi negatif dari arti pesantren.
“Pesantren yang merupakan tempat pembinaan moral, benteng moral, serta sebagai tempat pembinaan paham Islam yang moderat, toleran, berpegang teguh kepada Pancasila dan bagian dari penjaga keutuhan NKRI malah menjadi bergeser ke makna negatif,” ujarnya.
Makna negatif pesantren yang dimaksud, yaitu sebagai tempat melakukan tindakan asusila, kekerasan seksual dan tindakan melawan hukum lainnya, serta menjadi tempat untuk mengajarkan paham keislaman yang sesat, intoleran, tempat kaderisasi teroris yang anti Pancasila, dan anti NKRI.