Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUATU kali saya dan istri berjalan-jalan di Kota Roma, Italia, setelah menyelesaikan tugas menjadi pembicara sebuah seminar di London. Selain mengunjungi sejumlah tempat wisata di kota dengan berbagai warisan budaya kuno ini—termasuk menikmati keindahan dan keunikan Kota Venesia—kami berkunjung ke Vatikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanpa kami rencanakan, kunjungan ke ibu kota Gereja Katolik ini ternyata bertepatan dengan hari Idul Adha, yang saya lupa tahunnya. Maka, setelah salat Id sebisanya, kami meluncur menuju situs-situs keagamaan dan budaya Vatikan, seperti Gereja Basilika Santo Petrus yang megah, Kapel Sistina, perpustakaan apostolik, dan museum Vatikan. Situs-situs tersebut memamerkan lukisan-lukisan dan pahatan-pahatan yang menakjubkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain rumah bagi Sri Paus, Vatikan adalah tempat penyimpanan berbagai karya seni dan arsitektur ikonik. Museum Vatikan menyimpan berbagai pahatan Romawi kuno seperti Laocoön and His Sons yang terkenal serta lukisan dinding Renaisans di Ruang Rafael. Sementara itu, Kapel Sistina terkenal dengan langit-langit berhiaskan karya Michelangelo.
Begitu memasuki gereja, kami terkagum-kagum pada kemegahan bangunannya serta ikon yang tersebar di berbagai bagiannya itu. Di kapel, umat Katolik khusyuk beribadah. Setelah mengantre lama untuk masuk ke museum Vatikan, kami sampai di halaman besar tempat Sri Paus biasa menyapa umat Katolik dari balkon yang legendaris itu.
Bukan hanya kemasyhuran Vatikan yang mendorong saya ke sana, melainkan juga rasa kagum kepada Paus Fransiskus. Ia, yang nama aslinya Jorge Mario Bergoglio dari Argentina, adalah orang yang penampilan dan perkataannya meruapkan aura kesejukan. Saya, sambil setengah bercanda, sering menyebut beliau sebagai seorang wali Allah—dalam makna sufistik (mistik). Setidaknya seorang sufi. Beda keduanya adalah seorang wali bersifat nyaris infallible (maksum), sedangkan seorang sufi—setinggi apa pun maqam spiritual dan kedekatannya dengan Tuhan—tetap bisa berbuat kesalahan kecil, meski Tuhan menjaganya dari akibat kealpaan yang diperbuatnya.
Dalam tradisi Islam, seorang sufi—apalagi wali—memiliki sifat-sifat khusyu’ (berendah suara dan pandangan), hudu’ (tenang dalam pergerakannya), dan tadharru’ (mindful). Paus Fransiskus—berbeda dengan Paus Benediktus yang digantikannya—juga tampak lebih tenang. Terkait dengan Islam, ia tampak memahami kuatnya nuansa mistik (batin, esoteris) dalam salah satu ekspresinya.
Saya ingat, Paus Benediktus pernah mengeluarkan pernyataan kontroversial—yang disebutnya sendiri bersifat brusque (nyeplos begitu saja) yang seperti menggemakan pandangan bahwa Islam adalah agama yang sepenuhnya eksoteris (berorientasi hukum lahir), sehingga lebih didominasi oleh motif politis dan ideologis. Meski begitu, kenyataan ini tak mengecilkan semangat persaudaraan Islam-Kristen yang selalu digaungkan oleh Paus Benediktus, sebagaimana ia buktikan dalam respons positifnya terhadap proyek Common Words (kalimat sawa' atau platform bersama) yang diinisiasi ratusan ulama Islam dunia, demi mendorong lebih jauh dialog Islam-Kristen.
Kenyataannya, seperti banyak diungkap oleh para fenomenolog, Islam tak kurang berorientasi eros (cinta), ketimbang nomos (hukum) semata. Pemahaman lebih mistis terhadap aspek esoteris Islam ini sudah pasti ada hubungannya dengan kecenderungan Paus Fransiskus kepada mistisisme.
Konon, gelar Fransiskus ia ambil dari Santo Fransiskus Assisi—seorang santo yang tak hanya menerapkan cara hidup mistis-asketis (prihatin atau zuhud), tapi juga mempromosikan mazhab serba cinta dalam beragama. Santo Fransiskus biasa mengenakan pakaian amat sederhana dari bahan kasar. Bukan suatu kebetulan jika salah satu akar kata sufi adalah shuf, yang bermakna kain wol yang kasar, yang menjadi bahan pakaian sederhana yang mereka kenakan.
Paus Fransiskus dengan ringan menyambangi pemuka-pemuka spiritual muslim, termasuk Grand Syaikh Al-Azhar Ahmad al-Tayeb—seorang sarjana di bidang sufisme—bahkan mengulurkan tangan kepada Grand Ayatullah Sistani, pemimpin spiritual terkemuka kaum Syiah. Hampir seperti Sri Paus yang hidup sederhana, Ayatullah Sistani adalah ulama-utama yang tinggal di rumah sederhana di sebuah gang sempit di belakang Mausoleum Imam Husayn di Karbala, Irak. Ke rumah sederhana Ayatullah Sistani itu Sri Paus berkunjung. Dengan begitu, kunjungan kepada Ayatullah Sistani ini juga punya nilai khusus mengingat Sistani adalah pemimpin kaum Syiah—yang meski pengikutnya berjumlah besar (konon sekitar 250 juta orang), tetap saja bagian kelompok minoritas dalam masyarakat muslim.
Semuanya itu mengingatkan kita pada firman Allah dalam Al-Quran:
“...sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman (Muslim) ialah orang-orang yang berkata: 'Sesungguhnya kami ini orang Nasrani'. Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka (orang-orang Nasrani) itu terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, yang sungguh mereka tidak menyombongkan diri” (QS Al-Maidah [5]: 82).
Pandangan seperti ini lebih dekat pada kenyataan ketimbang penegasan bahwa nonmuslim—dalam hal ini pemeluk Kristen—adalah kafir. Saya berargumentasi panjang tentang julukan kafir ini dari sifat moral, bukan teologis kategori ini, berdasarkan Al-Quran, hadis, dan pandangan para ulama klasik dan kontemporer dalam sebuah bab di buku Islam Tuhan, Islam Manusia (Mizan, 2017).
Di zaman awal Islam—seperti antara lain ditulis oleh sarjana sufi Islam asal Swedia masa lalu, Tor Andrae, dalam In the Garden of Myrtles; dan karya Bradley Bowman, Christian Monastic Life in Early Islam—dialog di antara para sufi muslim dan rahib-rahib Kristen berlangsung lebih intens. Tak berhenti hanya pada upaya memelihara toleransi di antara kedua agama, dialog-dialog itu bersifat cair dan saling memperkaya, terkait dengan prinsip-prinsip keagamaan kedua agama—khususnya dari perspektif mistisisme. Bahkan para sufi melindungi biara-biara kaum asketis Kristen di wilayah-wilayah yang dikuasai pemerintahan muslim di zaman itu. Maka sudah pas semboyan “agama, persaudaraan, dan welas asih” yang menandai kunjungan Sri Paus ke beberapa negara Asia Tenggara ini.
Semua itu tak berarti kita menafikan perbedaan pandangan di antara berbagai kelompok di kedua agama, bahkan di antara para pemimpinnya. Uluran tangan penuh persaudaraan dan kedamaian ini setidaknya bisa menghindarkan kita dari sikap saling tolak di antara pengikut berbagai agama, yang bisa melahirkan konflik-konflik dan cara-cara kekerasan yang destruktif. Tanpa konflik agama pun, dunia kita sekarang sudah terkoyak-koyak oleh keserakahan dan fanatisme berbagai kelompok identitas politik yang, pada gilirannya, menetaskan bencana post-truth (pascakebenaran).
Tidak berlebihan jika kita berharap kunjungan Paus Fransiskus ini bisa membawa berkah bukan hanya kepada masyarakat Indonesia yang beragama Kristen, melainkan juga meluas kepada seluruh warga Indonesia dari berbagai agama, termasuk Islam.
Kunjungan saya ke Vatikan di hari Idul Adha itu juga bisa dilihat sebagai lambang teladan pengorbanan Ibrahim dan Ismail (atau Ishak) dalam menjalankan tanpa kompromi kemauan Tuhan agar manusia-manusia beragama terus mendahulukan persaudaraan di antara mereka—bukan saling memenggal leher—berdasarkan prinsip cinta yang mengikat semua makhluk Tuhan dan semesta alam ciptaan-Nya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo