OPERASI pencarian Tommy Soeharto alias Ibrahim," demikian tulisan yang tertera pada tanda verboden (larangan masuk) polisi pada suatu operasi malam hari di kawasan Lebakbulus, Jakarta Selatan. Jangan terperanjat jika hari-hari belakangan ini aparat keamanan di Jakarta kian sering melakukan razia di jalan-jalan, yang bertujuan memperkecil ruang gerak buron beken itu. Berhasilkah polisi menangkap Tommy, hidup atau mati?
Kita harapkan begitu. Namun, mengingat prestasi polisi selama ini dalam soal tangkap-menangkap teroris, orang masih memper-tanyakan dan bahkan meragukannya. Mudah-mudahan, dengan iming-iming hadiah dari polisi sebesar Rp 500 juta bagi siapa saja yang bisa (membantu) menangkapnya, lelaki tampan yang playboy tersebut bisa terjerat.
Dugaan keterlibatan Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto dalam tindakan kriminal diungkap Kepolisian Daerah Metro Jaya pada Senin pekan lalu. Toh, dugaan berikut bukti-bukti keterlibatan putra bungsu mantan presiden Soeharto itu dalam pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita belum juga mempertemukan polisi dengan sosok dan bayangan sang buron, bahkan sampai melewati batas waktu ultimatum tiga hari yang dikeluarkan Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Sofjan Jacoeb. Ternyata, sementara masyarakat harap-harap cemas, Tommy belum juga menunjukkan tanda-tanda akan menyerah—seperti yang dikehendaki aparat. Ia lenyap seakan tertelan bumi.
Bagaimana Tommy masih leluasa ber-keliaran di Jakarta, seperti yang diyakini oleh Kapolda Sofjan Jacoeb? Seorang perwira tinggi yang pernah menjadi anggota Tim Lima Jenderal Mabes Polri yang dibentuk Kepala Kepolisian RI Jenderal Surojo Bimantoro berkata dengan setengah berbisik, "Ia masih memiliki banyak kawan yang mau melindungi."
Kalau dilihat dari nama-nama yang di-sebutkan polisi, jaringan Tommy memang sangat beragam, dari pengusaha bar dan restoran sampai penjaja koran. Kawan-kawan dari kaum preman juga tak kurang. Selain itu, ada wanita-wanita di seputar Tommy yang juga berbahaya karena bersenjata, seperti Elize Tuwahatu dan Heti Siti Hartika. Mereka memiliki hubungan istimewa dengan lelaki tampan itu.
Kisah keterlibatan buron perkara tukar guling PT Goro Batara Sakti itu dalam kasus penembakan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita terungkap setelah Fery Hukom "bernyanyi" kepada polisi. Siapa lelaki berbadan kecil ini? Fery, 41 tahun, kelahiran Ambon, sering terlihat mengoordinasi pe-ngawalan Tommy selama dalam pemeriksaan Kejaksaan Agung dan Mabes Polri sebelum si bos menjadi buron.
Hubungan Fery dengan Tommy sudah terjalin lama. Fery adalah teman Tommy semasa bersekolah di STM Penerbangan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pertengahan 1970-an. Kedekatannya dengan pangeran Cendana inilah yang membuat pria dua anak yang beralamat di Perumahan Pamulang Estate, Ci-putat, itu dipercayai mengurus KTP dan akta kelahiran Tommy atas nama Ibrahim. Dua dukumen ini ditemukan polisi di rumah Fery.
Tidak itu saja, Fery ternyata juga menyimpan sejumlah dokumen tentang denah alamat dan foto rumah-rumah tiga hakim agung: Syafiuddin, Sunu Wahadi, dan Paulus Lotulong. Dokumen ini berasal dari survei anak buahnya yang bernama David Edward dan Romy Sabhaputra. Keduanya sudah meringkuk di tahanan Polda Metro Jaya.
Kepada polisi, Fery menunjuk hidung H. Deddy Sutaedi Yusuf sebagai orang yang mengorder kegiatan survei. Deddy adalah pengusaha restoran sate kambing di Manggadua, Jakarta Barat. Usahanya lancar atas bantuan Keluarga Cendana. Karena kepintarannya meramu bumbu sate, kelezatan sate kambingnya tidak hanya populer di kalangan orang biasa di Ibu Kota, tapi juga sangat disukai keluarga Soeharto. Bila ada hajatan, famili penguasa Orde Baru ini selalu memesan sate Pak Haji Deddy.
Deddy ditangkap Tim Reserse Polda Metro Jaya ketika hendak main tenis di kediamannya di Graha Hijau, Sawahlama, Ciputat. Setelah diborgol polisi, ia ternyata tidak tahan gertakan, sehingga dari mulutnya keluar nama Heti Siti Hartika, 39 tahun. Deddy mengaku menyerahkan hasil survei kegiatan hakim agung kepada Heti, yang beralamat di Apartemen Cemara, Jalan Cemara 23-25, Gondangdia, Menteng. Di sini, polisi menyita senjata api Bareta milik Heti.
Siapa Heti? Menurut cerita polisi, gadis manis berdarah Sunda ini teman main Eno Sigit—anak Sigit Hardjojudanto. Hubungan baik dengan sang keponakan yang selebriti itu berlanjut ke Om Tommy. Heti kemudian dipercayai mengelola Apartemen Cemara, yang dimiliki Yayasan Putra Bangsa, yang ketuanya tak lain Tommy sendiri.
Pengakuan Heti dan Deddy itu pun mengembet ke mana-mana. Polisi yang ingin mengorek di mana kira-kira Tommy bersembunyi mendapati nama Dodi Hardjito. Dodilah yang mengontrak rumah di Jalan Alam Segar III/23 seharga Rp 35 juta per tahun. Dodi, 44 tahun, adalah kawan lama Tommy. Mereka bersahabat sejak masih menjadi murid sekolah dasar di Menteng, Jakarta Pusat.
Keluarga Dodi memang tidak asing dengan keluarga Soeharto. Johny Hermanto, abang Dodi, adalah kawan karib Sigit Hardjojudanto, abang Tommy. Tak aneh kalau Johny sempat menjadi eksekutif di PT Panutan Selaras, perusahaan Sigit. Kepada anggota Komisi I DPR yang menemui mereka di ruang penyidik Polda Metro Jaya, pekan lalu, Dodi—yang anak mantan jaksa—mengiba-iba agar ia dan keluarganya dapat dilindungi dari kemungkinan ancaman dan teror. Ayah Dodi, Edi Siswoko, yang juga tinggal di Pondokindah, ketika ditanyai TEMPO, menolak berbicara banyak. Ia hanya mengatakan, "Benar itu anak saya. Saya sedang susah, syok benar."
Menurut versi polisi, Dodi diperkenalkan dengan Maulawarman alias Mola, 39 tahun. Mola adalah salah seorang staf sebuah kafe di kompleks driving range golf Senayan. Mola—yang pernah dibantu Dodi mendapatkan pekerjaaan di kafe itu—kemudian bersedia membantu rencana pembunuhan Syafiuddin. Mola pula yang mencarikan eksekutor hakim nahas itu, dan orang yang punya nyali mengeksekusinya bernama Novel Haddad. Mola, yang kepalanya botak, ditangkap polisi di rumah kontrakannya di Jalan Pinang Kalijati, Lebakbulus, Jakarta Selatan. Waktu itu, ia hendak kabur bersama istri dan anaknya.
Novel, 26 tahun, tidak memiliki pekerjaan tetap. Yang sering dilakukannya adalah jual-beli telepon genggam. Lelaki berdarah Arab-Melayu dan berkulit putih serta berbadan gempal ini besar di Pontianak, Kalimantan Barat. Mengapa ia mau menjadi pembunuh berdarah dingin? Ternyata, Novel adalah buron polisi Pontianak. Pada 1997, ia terlibat pembunuhan warga Dayak di kota khatulistiwa itu. Ia kemudian kabur ke Surabaya.
Rupanya, Novel punya nama lain: Zulkarnaen Ali. Di Surabaya, atas saran seorang kiai, ia mengganti namanya menjadi Novel Haddad—karena Zulkarnaen Ali dianggap nama yang "terlalu berat" baginya. Hijrah ke Jakarta pada 1999, keberuntungan Novel belum melimpahinya. Ia tetap luntang-lantung, sampai kembali terjerumus ke dunia hitam. Ketika akan diciduk polisi di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur, karena suatu tindakan kriminal, pria berubuh gempal ini berusaha kabur. Akibatnya, kaki kanannya ditembusi timah panas polisi.
Selain Heti, ada beberapa nama perempuan lain yang membantu petualangan Tommy. Elize Tuwahatu alias Baby, 33 tahun, sudah lebih dulu berurusan dengan aparat, sejak Januari lalu. Dan anak janda Sonya Tuwahatu yang pernah bekerja di PT Timor Putra Nasional itu mengaku sempat menerima tiga rangkaian bom dan traveler cheque dari Tommy. Pengakuan ini muncul pada malam 14 Januari 2001 di Jalan Cilacap, Menteng, Jakarta Pusat, setelah ia ditangkap polisi. Dibantu paranormal Ki Joko Bodo, polisi menjeratnya di Anjungan Yogyakarta, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur.
Saat ditangkap, Baby membawa tiga rangkaian bom yang rencananya diledakkan di tiga tempat: Kejaksaan Agung, Departemen Perindustrian, dan Kantor Pusat Pajak. Sampai kini, ia masih meringkuk di tahanan khusus perempuan Pondokbambu, sambil menunggu dengan harap-harap cemas vonis pengadilan yang tidak lama lagi akan dipalu.
Selain Baby, masih ada cewek jagoan lain: Lani Banjaranti, 26 tahun, yang disebut-sebut sebagai kawan dekat Tommy. Ia diperiksa Polda Metro Jaya pada Maret lalu. Ia memang tidak segawat Heti dan Elize, yang bersenjata. Lani diperiksa atas laporan masyarakat, yang menyebut Tommy pernah mampir ke rumah perempuan asal Aceh ini di Jalan Dempo, Menteng. Namun, pemeriksaan atas pe-dagang lukisan itu sampai sekarang tidak jelas kelanjutannya.
Sekarang, mari kita bertaruh: apakah Tommy akan menyerah secara "sukarela", ditangkap polisi sendiri, atau diserahkan pemburu hadiah? Atau tidak ketiga-tiganya?
Edy Budiyarso
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini