Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA- Direktur Utama PT Tempo Inti Media, Tbk, Toriq Hadad, tutup usia dini hari ini, Sabtu, 8 Mei 221 di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta. Pria kelahiran Surabaya, 1960 itu memulai karirnya sebagai reporter Tempo setelah lulus dari Institut Pertanian Bogor pada 1984. Selama perjalanan karirnya, Toriq pernah ditugasi sebagai Kepala Biro di Jawa Timur (1987-1989) dan Kepala Biro Jakarta pada 1992 hingga Tempo dibredel pada 1994.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama bertugas di keredaksian, Toriq menghasilkan berbagai laporan yang tak jarang menjadi perbincangan nasional. Misalnya saja soal pembelian kapal perang bekas Jerman Timur oleh pemerintah orde baru pada 1994. Rubrik Kecap Dapur Majalah Tempo edisi Maret, 2011, menceritakan Jumat pagi, 3 Juni 1994, Toriq mewawancarai Deputi Analisis Industri Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Suleman Wiriadidjaja di Kantor BPPT, Jalan Thamrin, Jakarta Pusat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah wawancara, ia melihat keriuhan pegawai di lantai gedung yang menjadi kantor Menteri Riset dan Teknologi Bacharuddin Jusuf Habibie. Toriq menyela wawancara dengan pura-pura hendak ke toilet. Di luar ruangan, ia mendengar para pegawai lalu-lalang sambil mengatakan ada kapal Jerman tenggelam di teluk Spanyol. Sebagai wartawan, Toriq menganggap hal itu sebagai berita besar.
Begitu masuk kembali ke ruangan Suleman, ia langsung bertanya, “Bagaimana bisa tenggelam, Pak?” Padahal, pembicaraan sebelum ia ke toilet masih seputar tata cara pembelian 39 kapal perang eks Jerman Timur. Tanpa curiga, Suleman menjelaskan musabab tenggelamnya KRI Teluk Lampung, satu dari 39 kapal perang Jerman Timur yang dibeli pemerintah. Berbekal informasi itu, Toriq langsung menuju ke kantor Tempo yang dulu berada di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
Kisah Teluk Lampung dan kejanggalan pembelian kapal itu terbit pada Majalah Tempo edisi 11 Juni 1994. Sampulnya bergambar kapal dengan judul: “Habibie dan Kapal Itu”. Ada enam tulisan, satu di antaranya, berjudul “Mar’ie Memangkas Rp 327 Miliar” ditulis oleh Toriq.
Rezim Soeharto membredel Tempo akibat laporan tentang kapal perang eks Jerman Timur itu. Selain Tempo, Tabloid Detik dan Majalah Editor juga dibredel.
Tak menyerah, Toriq bersama Pemimpin Redaksi Goenawan Mohammad bersama puluhan wartawan yang menolak pembredelan itu berkumpul di vila milik Tempo di desa Sirnagalih, Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Bab terakhir buku karya Janet Steele yang berjudul: “Wars Within: The Story of Tempo, an Independent Magazine in Soeharto’s Indonesia” (Jakarta, 2014), mencatat bahwa pertemuan di Sirnagalih itu berbuah terbentuknya Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Setidaknya ada 58 orang yang menandatangani Deklarasi Sirnagalih, yang berisi tentang perjuangan untuk kebebasan mendapatkan informasi dan menolak segala bentuk intervensi, intimidasi, penyensoran, dan pembredelan lantaran dianggap melanggar kebebasan berpendapat. Di antara penandatangan deklarasi itu adalah Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Aristides Katoppo, Arief Budiman, Toriq Hadad, dan Bambang Harymurti.
Pada Desember 1994, Goenawan Mohamad bertemu
sejumlah jurnalis di sebuah restoran di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Goenawan hendak mendirikan yayasan untuk perjuangan bernama Institut Studi Arus Informasi (ISAI). Setelah pertemuan pertama, Toriq Hadad bersama Andreas Harsono diminta mengurus perencanaan untuk institut itu.
Masih berdasarkan buku Janet Steel, Toriq mengatakan sebulan sebelum pertemuan di Blok M, Goenawan Mohamad telah memberitahunya tentang rencana membentuk institut untuk melanjutkan peran Tempo dalam hal edukasi jurnalisme. Melalui ISAI, Toriq dan sejumlah wartawan lainnya membangun media arus bawah yang dinamai Proyek Blok M.
Proyek itu membagikan berita yang tak lulus sensor Orde Baru kepada pembaca yang sudah tergabung dalam mailing list. Lokasi server Proyek Blok M sangat dirahasiakan. Bahkan, Goenawan Mohamad sebagai otak dari ISAI tak mengetahui lokasinya.
Setiap bulan Toriq menggunakan nama palsu yang berbeda-beda untuk menghindari pelacakan. Toriq menggambarkan apa yang mereka lakukan sebagai jurnalisme advokasi. Setidaknya ada sekitar tiga ribu pembaca reguler dari berita-berita yang dihasilkan oleh Proyek Blok M.
Pada 1995, Toriq bersama Yusril Djalinus dan sejumlah wartawan lainnya mendirikan situs berita online pertama di Indonesia, Tempo Interaktif. Situs itu merupakan cikal bakal Tempo.co. Berdirinya Tempo Interaktif tak terlepas dari pembredelan Majalah Tempo pada 1994 oleh pemerintahan Presiden Soeharto. Media ini menjadi sarana perjuangan atas kebebasan pers setelah Orde Baru menutup Tempo.
Direktur Eksekutif Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Irawan Saptono dalam buku The Wars Within karya Janet Steele, mengatakan saat itu, Tempo Interaktif tampil sedikit berbeda dengan Majalah Tempo yang baru dibredel.
Toriq sebagai editor di balik berita-berita Tempo Interaktif tampil di atas permukaaan. Saat itu, Tempo Interaktif menerapkan byline pada beritanya, dan juga mempraktekkan self censorship. Meski begitu, Irawan mengatakan Tempo Interaktif tetap lebih berani ketimbang media lain pada saat itu.
Pada 2006, Toriq menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Tempo menggantikan Bambang Harymurti. Jabatan itu ia emban hingga 2010 sebelum akhirnya digantikan oleh Wahyu Muryadi. Pada 2017, Toriq menjabat Direktur Utama PT Tempo Inti Media Tbk. Hingga akhir hayatnya, Toriq terus memperkuat pola konvergensi (cetak, online dan televisi akan menjadi satu kesatuan) di lingkungan Tempo Media Group.
ADAM PRIREZA | MAJALAH TEMPO | BERBAGAI SUMBER