Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Mengenang Toriq Hadad

Di TPU Jeruk Purut, Kemang, Cipete, Jakarta Selatan, semua sahabat, anak didikmu, kolega, keluarga dari lintas angkatan hadir dan berasa seperti reuni Tempo melepasmu dengan khikmad, sedih dan banyak doa.

10 Mei 2021 | 08.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tahun 1996, Mas Toriq Hadad atau Mas TH, adalah orang kedua yang mengajak berbincang panjang lebar saat aku diterima bekerja di Pusat Data Analisa TEMPO, yang berkantor di Gedung Proklmasi No 72. Orang pertama adalah Mas Bambu alias Mas Bambang Bujono.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika itu, Mas TH sangat ramah, berintonasi jelas, lugas dan tegas menjelaskan tentang pekerjaan di Pusat Data Analisa TEMPO. Mas TH menjadi leader kami di Pusat Data Analisa TEMPO hingga TEMPO Interaktif berdiri pada Oktober 1996.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masa itu, aku, Mas TH, Mas Bambu, almarhum Mas Soewardi, Mas Wahyu Muryadi atau WMU, Mbak Bina Bektiati, dan almarhum YD atau Yusril Djalinus menjadi penjaga garda TEMPO versi online yang hadir kembali setelah pembredelan pers pada 21 Juni 1994 bersama Tabloid Detik dan Majalah Editor.

Belakangan, baru bermunculan para jurnalis dari pers mahasiswa dan koresponden daerah seperti Ali Nur Yasin, Iwan Setiawan, Wenslaus Mangut, Edy Budiyarso, Mustafa Ismail, Tomi Lebang, Abdul Manan dan Dwi Arjanto. Juga mantan wartawan Harian Bernas, Yogyakarta, Ndari Purwani Diyah Prabandari .

Sebagai pimpinan, Mas TH selalu menunjukkan sikap teladan. Mas TH sosok yang berintegritas, idealis, tegas dan cerdas. Mas TH banyak mengajarkan kepada Kami, para juniornya tentang sikap sebagai wartawan yang harus memiliki banyak pengetahuan dan kemampuan untuk melakukan tugas kepada narasumber.

Mas TH juga merupakan tipe redaktur yang mengayomi dan mengajarkan ke kami,  para anak buahnya tentang seluk beluk tugas jurnalistik: mulai teknik wawancara dan menulis, menembus narasumber, tentang melobi narsum, tentang sikap idelisme, integritas, dan sebagainya.

Di awal-awal TEMPO Interaktif, aku bersyukur mendapat pembelajaran langsung karena berkesempatan duet bersama Mas TH saat mewawancarai beberapa narasumber penting. Mereka seperti Sri Bintang Pamungkas, Hasan Zein Bursa Efek, almarhum Krisbiantoro, almarhum Munir, Menkeu almarhum Marie Muhammad, Megawati Soekarnoputri, Faisal Basri, almarhum Mochtar Pabotingi, Menteri Perdagangan dan Perindustrian almarhum Tungki Aribowo, pengamat otomotif almarhum Soehari Sargo, Sofyan Wanandi, almarhum Jenderal Nasution, Sri Mulyani, Sri Adiningsih, dan sebagainya.

Mendapat tandem senior seperti Mas TH saat menjalankan tugas jurnalistik , tentu saja memperkaya dan jadi pengalaman berharga buatku.

Saat-saat tenggat menulis menjadi nostalgia indah, terutama bagi kami yang merasakan di era tempaan dan gemblengan Mas TH, sang mentor, senior dan juga bos kami. Beruntung memang ketika itu, kami menimba ilmu dari para suhu jurnalis seperti almarhum Bang Yusril Djalinus, almarhum Mas S Prinka,  almarhum Bang Zoelkifli Lubis, Pak Fikri Jufri dan juga Mas Goen, GM, Goenawan Mohamad. Mereka adalah spirit dan ruh Tempo yang ikut membentuk aku dan para sahabat seangkatan.

Malam deadline adalah malam yang kalau kini dikenang akan selalu menyembulkan rasa senyum dan tawa. Ah, nostalgia indah. Padahal pada saat itu atau pas kejadian waktunya sungguh kami berasa kecil dilucuti oleh “pembantaian” ala Mas TH, kami memyebutnya demikian. 

Malam deadline, saat tulisan aku dan beberapa sahabat diperiksa atau diedit Mas TH, akan ada beragam kisah dan cerita, behind the story. Pada aku dikenal dengan istilah Mas TH mengedit tulisan Hani dengan ekspresi aku yang berasa tak berkutik, sesekali sesegukan nangis dengan koreksi atau pembelajaran membongkar tulisanku. “Kamu kalau nulis jangan pakai logika kamu, hanya kamu yang paham. Ini tulisan buat dibaca banyak orang, Hani. Jadi kamu harus mengedepankan pemahaman masyarakat umum,”  begitu koreksi Mas TH.

Pada Edy Budiyarso, pemuda asal Tegal yang kini sukses sebagai salah satu tokoh,  setelah berpisah dari Tempo punya mimik tak kalah seru dengan aku saat tulisannya diperiksa atau diedit Mas TH. Dengan busana ala pemda alias pemuda daerah, saban malam deadline, wartawan andalan tempo untuk pos liputan di Kepolisian ini paling suka berkostum celana panjang bahan, pentalon dan berkaos singlet yang agak bau badan bekas keringat peluh tubuhnya setelah seharian berkutat mencari berita. 

“Kamu ngeyel Ed, bahasamu mbulet nulisnya ke mana-mana. Ed, kamu harus bersyukur, istrimu calon dokter. Dan kalau kamu enggak sukses jadi wartawan, kamu bisa bantu Ita, minimal sebagai asisten yang bantu memanggil pasien,” kata Mas TH yang karuan membuat gerrr senyum dan tertawa pada kami yang menikmati deadline di ujung malam.  Ita, mantan pacar Edy saat itu, sekarang adalah salah satu dokter sukses di RSCM dan punya klinik sendiri dan hidup bahagia bersama Edy bersama tiga buah hati hasil pernikahaan mereka.

Lain lagi, dengan ekpresi Iwan alias Buncis yang memang kental dan dekat dengan Mas TH karena rumah Mas TH di Pamulang dan Iwan juga sempat tinggal di kawasan tersebut. Sesekali mereka sering pulang bersama. Menurut Mas TH, Iwan, adalah wartawan yang menuliskan laporan dengan panjang bahkan banyak menyelipkan opini pribadi. “Tulisanmu kalau singkat lebih enak dibacanya Wan. Kamu itu selalu manjang ya manjang nulis, juga manjang kalau harus mengerjakan ini itu,” demikian kata Mas TH.

Pada Ali Nur Yasin, salah satu wartwan ekonomi TEMPO, Mas TH sering bilang, “Ali, kamu itu gayanya selalu penuh interogasi, sok tahu dan ngeyelan....”

Kepada Ndari yang merupakan sosok wartawan pintar dan bahasa Inggrisnya jago, Mas TH cuma suka geleng-geleng kepala lantaran kalau dikoreksi, Ndari saat itu termasuk tipe reporter yang suka debat tak ada habisnya.

Pada Wens, Mas TH tampak sayang dengan keponakan  Don Bosco Salamun itu. Maklumlah, saat itu, Wens termasuk yang tidak punya problem saat tulisannya dikoreksi “Sudah lumayan jadi, dan ini salah satu bukti suksesnya wartawan dari Indonesia Timur.”

Mustafa Ismail, wartawan dan budayawan TEMPO, Mas TH suka rada gregetan lantaran Mus (panggilan Mustafa) suka sok tahu jika dikritik mengenai tulisannya. Menurut Mas TH, tulisan Mus menngadung banyak kata-kata mendayu dan bisa dipahami lantaran sosok pria asal Aceh ini memanglah seorang penyair. 

Bagi aku Mas TH bukanlah sekedar senior, mentor dan Big Boss di Tempo. Sisi humanis Mas TH yang kalau boleh jujur, mungkin akulah yang mendapat ekstra perhatian kasih sayang dari seorang Abang Sejati ala Mas TH kepada aku, adiknya. 

Memang, Mas TH memiliki Ibu yang tinggal di Jalan Wahab, Nanas Utan Kayu, searah dengan rumahku. Saat di Tempo Interakfif, Mas TH selalu ringan hati mengantar aku pulang dan menjemput kalau sebelum ke Tempo mampir ke tempat ibunya, pasti menjemput aku dan berangkat bareng ke kantor Proklamasi (masa itu).

Mas TH, bahkan memposisikan aku orang yang harus bisa tahu dan memberikan alasan tepat ketika menelepon untuk menanyakan Ali, Edy, Iwan, Mus, Wens pergi bertugas pada setiap harinya. Ada schedule rutin yang cuma Mas TH seorang yang bisa melakukannya hanya kepada aku. Karena aku memiliki telepon rumah, sementara anak-anak yang lain adalah tinggal di kos-kosan, saban hari teng jam 5.30 WIB pagi, Mas TH selalu menelepon aku. 

Pertanyaan pertama adalah, “Hani, kamu sudah membaca berapa koran hari ini. Apa headline dan berita politik. ekonomi dan hiburan yang menarik. Anak-anak ke mana saja agendanya hari ini?” Sederetan pertanyaan tersebut awalnya aku tidakbisa menjawab, dan tanpa rasa bersalah Mas TH akan “marah” (dalam artian positif, baru kini aku sadari, gegara poin ini aku jadi memahami tentang menganalisa dan belajar ritme kesolidan dalam tim kerja, terimakasih Mas TH).

Dari awalnya aku hanya sedikit beragumen, hingga akhirnya kepada Mas TH aku bisa lancar menjelaskan setiap hal yang ditanyakan padaku. Dan kondisi ini berlanjut hingga Majalah TEMPO terbit kembali. Aku dan Karin adalah dua wartawan yang selalu rutin dan rajin diabsenin Mas TH (Karin bertempat tinggal di  Depok dan juga memiliki telepon rumah. Sampai ada joke di rumah Karin ketika semua penghuni termasuk ayah ibu Karin tidak berani membangunkan Karin saat tidur nyenyak, meski telepon di pagi hari,  dari seorang Mas TH-lah yang sanggup membangunkan Karin dan menerima absen pagi seperti layaknya aku. Kenangan indah ya Rin).

Ada satu kisah menarik lain soal Mas TH. Alkisah di sebuah malam,  aku mendapat telepon dari seorang sahabat kampus, Alice yang pulang ke Jakarta dan mengajak melewati malam di Mc Donald dan  Hard Rock Cafe, di kawasan Sarinah pada sekitar tahun 1997. Aku pamit pulang karena sudah selesai deadline menuju Sarinah dan lupa mengabarkan Emak. 

Emak Soemirah kemudian menelepon ke kantor pada pukul 00.00 WIB dinihari karena putrinya, aku, beluk sampai rumah. Setelah bertanya pada Pak Satpam dan dijawab aku sudah pulang. Rupanya Emak Soem penasaran dan bertanya di kantor masih ada siapa? Dijawab Pak Satpam di redaksi yang tersisa hanya ada Mustafa dan Mas TH yang masih tidur (saat itu, kalau deadline, pukul 21.00 hingga 00.00 WIB lewat Mas TH tidur dan terbangun pada pukul 00.30 untuk mengedit tulisan kami). Saat itu, tergopoh-gopoh Mas TH terbangun dari tidurnya lantaran dibangunkan Pak Satpam yang ketakutan karena dicecar Emak Soem yang menanyakan putrinya kenapa selarut ini belum sampai tumah.

Tak sampai di situ saja, Emak Soem langsung mencecer Mas TH “Mas Toriq, kok Hani belum sampai rumah ya. Mas Toriq kan bosnya, masa sampai tidak tahu di mana keberadaan anak saya?” Karuan pernyataan ini bikin Mas TH gelagapan dan berjanji akan mencari tahu dan memastikan aku segera pulang sampai ke rumah dengan selamat.

Mas TH saat itu darah tingginya langsung kambuh dan segera mengirim pesan ke pejer (saat itu masih belum ada HP hanya pejer Starko Isinya tegas dan tidak main-main. “Hani kamu ada di mana selarut begini? Ibumu khawatir sekali, kamu hubungi saya dan Ibu, segera pulang!” Akhirnya aku menghubungi Emak, meminta maaf juga ke Mas TH dan ke Emak, pada tragedi dini hari yang bikin darting Mas TH naik, syukur saat itu tidak terjadi apa-apa.

Enggak selesai sampai di situ, keesokan hari saat rapat perencanaan Tempo Interaktif, Mas TH menyoalkan hal ini tak berkesudahan dibahas terus sepanjang rapat dan membuat “Bad day of Me”. Bahkan pukul 18.30 WIB, ketika waktu pulang, dengan kehawatiran berlebihan (menurutku saat itu, belakangan aku menyadari itu adalah tanda sayang Mas TH kepada diriku, terimakasih Mas TH Al Fatihah untukmu) Mas TH mengajak akau pulang bareng dengan dalih sekalian jalan mau mampir dulu ke rumah ibunya. Sepanjang jalan aku dinasehati panjang lebar, berasa seorang Abang Sejati yang tidak mau aku, adiknya sampai mengalami hal terburuk dari peristiwa tersebut. 

Lucunya, saat Mas TH menuruni aku di muka jalan raya menuju gang arah ke rumahku, mengamati dengan hati-hati, seksama sampai aku masuk ke dalam pagar halaman rumah. Belum selesai, besok paginya aku dijemput dan berangkat bersama, bahkan selama seminggu lebih atau sepuluh harian aku diantar jemput Mas TH, memastikan dengan baik aku masuk ke pagar halaman rumah dan baru mobilnya melaju. Selama sepuluh hari aku diberikan tugas bermitra dengannya tidak dibiarkan wawancara atau peliputan sendiri.

Hal lain yang sangat diinginkan Mas TH adalah saking seringnya mengantar jemput aku, sampai Mas TH tertarik pada sebuah rumah di seberang jalan yang akan dijual. “Han, aku kok tertarik dengan rumah yang mau dijual deket rumahmu. Buat Ibu, Han membutuhkan rumah yang agak luas dari rumah sekarang,” dalih Mas TH saat itu. Degggg..., meski rada kecut dan ciut (aku membayangkan kalau benaran Mas TH beli rumah tersebut, dijamin aku akan berasa 24 jam berada dalam pengawasan super ketat darinya, duh malas banget sih).

“Oke Mas TH, nanti aku cari info tentang rumah tersebut!” kataku saat itu. Syukurlah karena tidak cocok harganya, Mas TH batal dan urung mewujudkan keinginan membeli rumah tersebut. Yes...., dan akupun bersorak.!!!!

Kisah perhatian lain dari Mas TH adalah, waktu tahun 1998 saat aku pernah mengalami sakit maag akut (seumur hidupku sekali aku dirawat di RS Islam Cempaka Putih karena sakit maag akut). MasTH jugalah yang mengajak dan rutin membawaku ke akupuntur Bu Is  bareng dengannya setiap sore selepas pulang kantor (alhamdulillah sakit maag aku sembuh total). Akupuntur tersebut berlokasi di kawasan Bambu Kuning, Pasar Minggu. Saat itu Mas TH mengobati dengan metode herbal sakit darah tingginya dan juga sebagai usaha demi memperoleh buah hati (Mas TH dan Mbak Devi harus sabar menanti buah hati dalam waktu cukup lama dari pernikahan mereka, hingga kemudian lahirlah Hafez). 

Mas TH juga menemani aku berturut-turut saat aku kehilangan abangku yang kedua pada tahun 1997, almarhum Mas Miko. Mas TH-lah yang menjemput dan menyusuli aku ke CSIS saat aku melaksanakan tugas wawancara J. Kristiadi di kawasan Tanah Abang. Berhati-hati Mas TH memberikan kabar duka abangku berpulang dan menjemput hingga mengabarkan dan menguatkan aku di perjalanan pulang ke rumah. (Sungguh mungkin tidak ada di tempat pekerjaan lain, sikap seorang Big Bos seperti Mas TH). Mas TH juga yang meluangkan waktu panjang saat takziah ke rumah aku pada 2012 ketika Bapakku berpulang, bahkan Mas TH ikut mengantarkan jenazah Bapak ke TPU bersama almarhum Bang  Ate, Ahmad Taufik (Al Fatihah untuk Bang Ate).

Dalam soal spiritual, Mas TH juga yang mendukung aku ketika mendapat kesempatan umroh ke Tanah Suci pada lima bulan setelah Bapakku wafat, Juni 2012. “Kamu harus yakin bisa berangkat Han. Doakan aku, Mbak Devi dan Hafez yaa!” katanya menyemangati aku saat itu.

Karena rasa sayang dan cintanya Mas TH kepada aku, bak Abang Sejati, aku selalu menempatkan Mas TH, Mbak Devi dan Hafez untuk masuk dalam daftar penerima  suvenir atau oleh-oleh saat aku ditugasi ke luar kota atau luar negeri dari Tempo. Mas TH girang waktu aku berikan sorban, sejadah dan topi khas Arab saat aku umroh, pajangan dari Batu Giok, Cokelat, Kemeja khas Bangkok untuk Mas TH dan Hafez, kain Sasirangan Kalimantan, Jilbab atau kerudung bordir Malaysia buat Mbak Devi, dompet dari Vietnam, pajangan dari Kamboja, seperangkat cangkir keramik dari Cina, Gelang dan cincin mutiara dan besi putih dari Ambon, Ternate dan Maluku Utara, kain songket dan tapis, kue Brot Kenari Bagea dari Menado, Tauco Pekalongan, Brem Madiun, kain Pantai Bali dan sebagainya. “Hani, kamu selalu repot deh dan nyempet-nyempetin ingat oleh-oleh untuk kami setiap  kamu pergi bertugas ke luar kota dan luar negeri,” kata Mbak Devi.

Mas TH dan Mbak Devi juga pernah memberikan beberapa hadiah padaku batik tulis Madura, Kain Pekalongan, pasmina dari Australia, pigura dari Singapura dan sebagainya. 

Ada rasa haru yang pernah dilontarkan Mas TH saat di sebuah Lebaran aku tidak memberikan hantaran kue kering lebaran buatanku dan asinan sayur khas Pasar Jangkrik (yang segar dan nikmat kesukaan Mas TH dan Mbak Devi). “Aku enggak tahu kalau Ibumu masuk rumah sakit, hingga kamu enggak bikin kue kering lebaran dan kirim ke rumah seperti biasanya,” kata Mas TH saat itu. 

Ya, Mas TH sangat suka dan semringah setiap aku mengirmkan kue lebaran buatan sendiri seperti Nastar, Kaastengel, Pit Moten, Putri Salju, Wajik Ketan, Biji Ketapang dan Kolang Kaling. kata Mas TH dia paling suka Putri Salju dan Nastar buatanku. “Ayik (Mbak Devi menyebut Mas TH) paling suka kue  kering lebaran dari Hani, Nastar dan Putri Salju. disimpan khusus loh!” cerita Mbak Devi ketika di sebuah Lebaran aku dan beberapa sahabat Tempo Interaktif bersilaturahmi ke rumahnya,  di Pamulang (kami punya tradisi silaturahmi, biasanya saling berkabar singgah ke rumah Mas TH). O, ya Mas TH dan almarhum YD adalah daftar tetap penerima hantaran kue lebaran. Sebelum YD kena diabetes, beliau sangat suka kue Sagon dan Biji Ketapang, kue kampung tradisional buatan aku. (Al Fatihah buat Bang YD)

Selain soal suvenir, kue, dan hantaran, ada sebuah nasihat yang selalu terngiang dari Mas TH pada aku. “Hani, coba deh kamu fokus pada  sesuatu, jangan mlipir sana-sini, kamu bisa lebih sukses loh!” katanya tentang sikap aku yang tidak fokus dan enggak ajeg.

Dan Mas TH adalah salah satu sosok yang tidak bisa menyembunyikan sukacita, perasaan bahagia dan gembira ketika aku berbagi kabar lamaran dan tunangan dengan Ay Torro. “Fokus ya Han, sampai menikah dan menyempurnakan ibadahmu. Jangan kebanyakan main-main lagi!” pesannya supaya aku fokus dan istiqomah.

Ah... mengenang Mas TH dengan beragam cerita seperti tak akan pernah ada habisnya. Aku beruntung dan bersyukur sekali memiliki kesempatan menjadi istimewa bagi Mas TH sebagai Adik Sejati selain anak buah atau bawahan. 

Selepas aku meninggalkan Tempo, karena kesibukan satu sama lain, kami berkomunikasi lebih sering lewat telepon, pesan WhatsApp, atau berkabar di media sosial. Ketemu langsung hanya terjadi beberapa kali dalam momen tidak sengaja atau pas amprokan ketemu di kawasan Utan Kayu. 

Aku selalu mengingat dengan baik dan menyampaikan serta mengucapkan selamat pada momen istimewa hari lahir Mas TH pada 22 April dan juga pada hari ulang tahun pernikahannya setiap 25 Desember.

O, ya pada dua kali Lebaran aku juga  absen berkirim hantaran kue kering dan asinan sayur, lantaran aku Lebaran mudik dan sitkon pandemi Corona.

Mas TH, beberapa hari lalu saat mendengar berita Mas TH dirawat di Rumah Sakit Pondoh Indah. Aku sudah meniatkan diri untuk menjenguk, tetapi ketika mendapat kabar dari dari istrinya, Mbak Devi, kalau kondisi Mas TH sudah membaik, aku mengurungkan niat tersebut. Di rumah sakit inilah Mas TH kemudian berpulang.

Mas TH, selamat berpulang, Hani akan selalu mengenang semua kebaikan dan keindahan sikap Mas TH bak “Abang Sejati” selamanya. Maafkan Hani ya enggak sempat (batal) menjenguk ke RS Pondok Indah. 

Hani bersaksi, Mas TH adalah orang baik. banyak mengajarkan  sisi kebaikan di balik Sikap Tegas, Lugas Mas TH yang selalu menjaga independensi, idealisme dan integritas tak hanya dalam bidang Kewartawanan tetapi juga dalam Kehidupan. 

Mas TH adalah sosok Abang Sejati being Best Brother. Mas TH adalah Family Man, Sayang dan Cinta Penuh dengan Mbak Devi dan Hafez, juga Anak yang Berbakti pada Ibunya. Hani akan selalu menyimpan dan mengenang Banyak Cerita tentang Mas TH. 

Al Fatihah untuk Mas TH yang berpulang dalam pengujung Ramadan. Insya Allah Mas TH Husnul Khotimah, Dimaafkan Segala Khilaf dan Kesalahan, mendapat tempat terbaik di sisi Allah, dan semoga Mbak Devi, Hafez beserta Keluarga yang ditinggalkan diberi Ketabahan, Kesabaran, Kekuatan dan keikhlasan. 

Hari ini, di TPU Jeruk Purut, Kemang, Cipete, Jakarta Selatan semua Sahabat, anak didikmu, kolega, keluarga dari lintas angkatan hadir dan berasa seperti reuni Tempo melepasmu dengan khikmad, sedih dan banyak doa. Aamiin Yaa Robbaalaamiin. 

Terngiang Kalimat yang diucapkan Jalaluddin Rumi bahwa, "Kematian adalah jembatan yang menghubungkan orang yang mencintai dengan yang dicintainya."

 

Berdukacita mendalam dan melepasmu... 
Sabtu, 8 Mei 2021

Adikmu
Hadriani Pudjiarti  (Hani. P)

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus