Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tonggak Baru Perlindungan Hukum Aktivis Lingkungan

Pengadilan Tinggi Bangka Belitung membebaskan enam warga Sungailiat dari gugatan tak penting karena menuntut hak hidup terbebas dari pencemaran udara dengan hukum anti-SLAPP. Tonggak baru melindungi aktivis pembela lingkungan.

 

17 Juli 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Para ketua RT di Kelurahan Kenanga saat menjalani persidangan, Desember 2020./Istimewa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sejarah baru pemakaian pasal 66 UU PPLH

  • Anti-SLAPP mesti diperbanyak untuk melindungi aktivis pembela lingkungan.

TIGA hakim Pengadilan Tinggi Bangka Belitung bergerak cepat membereskan gugatan banding enam penduduk Sungailiat yang didakwa bersalah karena menuntut bebas dari pencemaran udara bau busuk limbah pabrik tapioka. Pada akhir April lalu, dua pekan setelah mereka ditunjuk sebagai hakim banding, ketiganya rembuk guna menentukan susunan majelis.

Winarto akhirnya yang akan memimpin pembacaan putusan perkara itu. Setia Rina dan Sabarulina Boru Ginting menjadi anggota. Mereka segera membaca berkas putusan Pengadilan Negeri Sungailiat yang memvonis satu bulan penjara enam ketua rukun tetangga Kelurahan Kenanga. Hakim tingkat pertama menyatakan mereka bersalah melanggar Pasal 228 dan 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Tuduhan kepada enam ketua RT itu adalah menyalahgunakan jabatan dan memalsukan dokumen ketika memprotes bau busuk pabrik pengolahan tapioka di desa mereka. Alih-alih protes mereka didengar perusahaan, seorang penduduk menggugat keabsahan keenamnya sebagai pejabat RT.

Selepas mempelajari materi gugatan dan putusan, para hakim banding Bangka Belitung ini membongkar pelbagai aturan sektor lingkungan. “Kami juga mencari putusan lain untuk referensi,” ujar Sabarulina pada Rabu, 14 Juli lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu aturan yang mereka tinjau adalah Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009. Sebab, apa yang diprotes para ketua RT itu menyangkut limbah pabrik. Para hakim menemukan pasal 66 yang berbunyi: “setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”. Dalam terminologi hukum, pasal ini dikenal sebagai anti-SLAPP (strategic lawsuit against public participation).

Winarto mengajukan pasal itu sebagai pertimbangan putusan banding. Dua hakim lain langsung setuju. “Tak ada perdebatan,” tutur Sabarulina. Setelah berembuk menyusun materi putusan, ketiga hakim maju ke muka sidang dan membacakan putusan bersejarah itu pada 10 Mei lalu.

Mereka mengoreksi putusan Pengadilan Negeri Sungailiat. Sabarulina mengatakan majelis hakim berkeyakinan enam ketua RT itu tidak bersalah karena mereka sedang menuntut hak hidup layak dan sehat. Antara lain, mereka ingin terhindar dari polusi bau yang bersumber dari limbah pabrik.

Ini keputusan bersejarah dalam putusan pidana yang melindungi masyarakat yang memprotes dan menuntut terbebas dari polusi lingkungan. Selama ini, para hakim tak pernah menengok Pasal 66 Undang-Undang PPLH ketika mengadili para aktivis pembela lingkungan ataupun masyarakat yang memprotes operasi pabrik dan perusahaan di sekitar tempat tinggal mereka. Sebaliknya, mereka yang memprotes acap masuk bui dengan alasan perusahaan terlindung oleh hukum sebagai entitas bisnis.

Syahdan, perkara enam ketua RT Kenanga ini bermula dari laporan seorang penduduk Kelurahan Kenanga pada 10 Juni tahun lalu. Ia melaporkan Robandi, Muhammad Yusuf, Mulyadi, Syamsul Effendi, Heti Rukmana, dan Aditama kepada polisi dengan tuduhan tak absah sebagai ketua RT di desanya.

Waktu itu, para ketua RT ini sedang melakukan sosialisasi class action terhadap PT Bangka Asindo Agri, pemilik pabrik pengolahan tapioka, pada 24 April 2020. Mereka tak tahan dengan bau busuk yang diduga berasal dari limbah pabrik. Namun, alih-alih gugatan mulus, mereka dianggap tak berkompeten mengundang warga desa karena pernah menyatakan mundur sebagai ketua RT.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Polisi mulai memeriksa Heti, Ketua RT 4, dan pengurus RT lain pada 23 Juni 2020. “Saat pemeriksaan keempat, kami sudah menjadi tersangka,” ujar Heti. Saat pemeriksaan terakhir, jaksa yang mendapat limpahan pemeriksaan menahan keenamnya. Mereka bahkan mendapat tuduhan baru: melanggar Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen dengan ancaman maksimal enam tahun penjara.

Mereka berada dalam sel Kejaksaan Negeri Bangka sekitar dua pekan, dari 26 November hingga 17 Desember 2020. Dari enam ketua RT, Heti yang paling menderita. Ia sedang hamil dan harus meninggalkan anak berusia 18 bulan untuk menjalani penahanan.

Selama dua pekan yang terasa lama itu, para ketua RT ini juga mendapat intimidasi. Selain tak boleh menghubungi pengacara, mereka mendapat ancaman dari para penjenguk. Karena itu, Heti dan lima penduduk lain pasrah saja ketika hakim Pengadilan Negeri Bangka menghukum mereka satu bulan penjara. 

Ketika hendak mengajukan permohonan banding pun mereka pesimistis. Tak berharap mendapat keadilan, mereka mengajukan memori banding ke Pengadilan Tinggi Bangka Belitung. Mereka setengah tak percaya ketika membaca vonis bahwa mereka bebas. Kegembiraan berlanjut ketika jaksa tak kunjung mengajukan permohonan kasasi begitu tenggat 14 hari terlewati. Artinya, proses hukum telah berakhir.

Sulaiman, juru bicara PT Bangka Asindo Agri, mengatakan perusahaannya tidak punya masalah apa pun dengan Heti dan lima ketua RT lain. Menurut dia, limbah yang dihasilkan perusahaan sudah diolah dengan baik dan sesuai dengan ketentuan. “Namanya orang berusaha,” katanya soal limbah tapioka. “Orang hidup saja selalu ada pro-kontra.”

•••

HETI dan para ketua RT sedang berpikir ulang untuk mengajukan gugatan kembali meski bau busuk di dekat pabrik masih menyengat, apalagi saat hujan turun. Namun mereka senang hakim telah memakai Pasal 66 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau anti-SLAPP sehingga bisa menjadi referensi jika ada kriminalisasi terhadap masyarakat atau aktivis yang digugat karena membela hak hidup manusia dan lingkungan.

Soal jarangnya hakim memakai Pasal 66 atau anti-SLAPP diakui Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Palangkaraya Nani Indrawati. Ia mengatakan pengadilan mendapat banyak hambatan dalam menerapkan pasal itu karena belum ada aturan turunan yang mendefinisikan SLAPP dan anti-SLAPP.

Menurut Nani, belum ada karakteristik atau ciri-ciri khas gugatan SLAPP yang berlaku umum, dan belum ada ketentuan yang bisa menggugurkan perkara SLAPP. “Karena itu, perlu pengaturan setingkat peraturan Mahkamah Agung untuk mengisi kekosongan hukum guna mengatur perkara ini,” tutur Nani.

Menanggapi permintaan itu, Ketua Pembinaan Mahkamah Agung Takdir Rahmadi mengatakan SLAPP memang bisa mencederai bahkan mematikan keberanian warga negara atau aktivis lingkungan dalam menuntut hak hidup bersih dan layak. “Jika SLAPP adalah upaya untuk mematikan peran serta melalui jalur hukum, maka Anti-SLAPP adalah upaya hukum membela diri atau jaminan perlindungan hukum bagi warga yang hendak berperan serta,” ucapnya.

Menurut Takdir, sumber hukum anti-SLAPP di Indonesia sangat kuat ,yakni Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, dan Undang-Undang PPLH. Ketiga produk hukum ini telah mengakui dan menjamin hak masyarakat dalam berperan serta dan mengakses informasi.

Asisten khusus Jaksa Agung Narendra Jatna mengatakan akan berkoordinasi dengan penyidik, hakim, dan advokat dalam reformasi peradilan pidana dan perdata untuk mengakomodasi anti-SLAPP. “Untuk mewujudkan perlindungan terhadap partisipasi masyarakat yang lebih holistik,” ujar Narendra.

SERVIO MARANDA (BANGKA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Linda Trianita

Linda Trianita

Berkarier di Tempo sejak 2013, alumni Universitas Brawijaya ini meliput isu korupsi dan kriminal. Kini redaktur di Desk Hukum majalah Tempo. Fellow program Investigasi Bersama Tempo, program kerja sama Tempo, Tempo Institute, dan Free Press Unlimited dari Belanda, dengan liputan mengenai penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit yang melibatkan perusahaan multinasional. Mengikuti Oslo Tropical Forest Forum 2018 di Norwegia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus