Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jogja National Museum kembali bersolek. Gedung akademi seni rupa pertama di Indonesia itu direnovasi habis-habisan demi pelaksanaan bursa pasar seni rupa Art Jog sepanjang 19 Mei-19 Juni 2017. Pameran seni rupa kontemporer itu menelan dana sekitar Rp 4,2 miliar. Uang itu digunakan antara lain untuk mengecat gedung, membuat patung R.J. Katamsi, ongkos listrik, memasang penyejuk udara, dan operasional panitia. Biaya pengeluaran kali ini lebih besar dibanding Art Jog tahun lalu yang Rp 3,5 miliar. "Tahun ini Art Jog ugal-ugalan demi meningkatkan kualitas. Biaya pengeluaran kami membengkak," kata Heri Pemad, 41 tahun, pendiri Art Jog.
Pemad adalah orang yang berperan mewujudkan pasar seni rupa ini. Selama 10 tahun Art Jog berlangsung, ia berjibaku mengorganisasi pameran seni kontemporer itu. Ia menghabiskan sebagian waktunya menjadi motor penggerak Art Jog. Ia menghitung setiap hari selama sebulan pelaksanaan Art Jog menghabiskan duit Rp 35 juta. Uang itu digunakan untuk membiayai makan dan honor 300 anggota panitia Art Jog, ongkos listrik, serta genset.
Selain itu, ia masih utang membayar seniman yang membuat patung R.J. Katamsi dan harus mengongkosi seniman yang tampil dalam pertunjukan seni yang digelar setiap hari selama Art Jog berlangsung. Biayanya tidak murah. Untuk satu penampilan seniman performance art seperti Melati Suryodarmo dan timnya, misalnya, honor penampil sampai stage dan kru ongkosnya hampir Rp 40 juta.
Pemad tahun ini memang memadukan seni rupa, pertunjukan, musik, dan film. Ia bergerilya ke sana-sini demi menutup ongkos pengeluaran yang besar itu. Ia mencari sponsor, menjual mobil, menjaminkan sertifikat rumah ke bank berutang duit ke para seniman dan kolega, serta berutang ke toko bangunan. Untuk meyakinkan pemilik toko bangunan buat keperluan membeli cat, misalnya, Pemad menyodorkan nota kesepahaman Art Jog dengan sponsor.
Berbagai upaya itu dilakukan untuk mencukupi semua kebutuhan penyediaan infrastruktur Art Jog. Maklum, duit sokongan pemerintah daerah jumlahnya kecil karena ruwetnya birokrasi. Menurut Pemad, mengandalkan uang sponsor tak akan cukup. Total duit sponsor yang ia kumpulkan sebesar Rp 1,3 miliar. Itu pun Pemad harus bersabar menunggu pencairan uang sponsor karena tidak semua sponsor yang digandeng Art Jog menggelontorkan duit di awal acara. "Kami mengandalkan pemasukan dari tiket pengunjung untuk menutup pengeluaran. Tidak merugi itu sudah bagus," kata Pemad.
Art Jog dikunjungi rata-rata 800 orang per hari. Selain dari tiket pengunjung, Pemad mengandalkan pemasukan dari merchandise yang dijual di pendapa belakang gedung Jogja National Museum (JNM). Hasil penjualan merchandise buatan seniman Yogyakarta itu lumayan banyak. Saat Art Jog dibuka, duit hasil penjualan merchandise mencapai Rp 65 juta. Sisanya dari pemasukan dari hasil penjualan karya seni rupa.
Art Jog memiliki manajemen tersendiri yang terpisah dari Heri Pemad Art Management sebagai event organizer. Manajemennya terpisah sejak dua tahun terakhir penyelenggaraan Art Jog. Tahun lalu, Art Jog menyimpan duit Rp 300 juta untuk biaya operasional persiapan Art Jog tahun ini.
Pemad menghitung duit yang berputar untuk menggerakkan ekonomi Yogyakarta sebesar Rp 75 miliar dari total 15 ribu pengunjung Art Jog dalam satu bulan. Setiap pengunjung yang datang minimal menghabiskan duit Rp 5 juta untuk kebutuhan membeli tiket pesawat, ongkos makan, penginapan, transportasi, dan membeli oleh-oleh. Satu orang dihitung menghabiskan waktu selama tiga hari di Yogyakarta. "Art Jog memang art fair yang mendatangkan banyak tamu dan pembeli," kata Pemad.
Mengelola Art Jog selama satu dekade, menurut Pemad, bukan tanpa rintangan. Penyelenggaraan Art Jog tak selalu mulus. Pada 2016, pasar seni ini terancam tidak berlangsung. Sebab, Art Jog terancam tidak mendapatkan tempat pameran. Selama delapan tahun berturut-turut Art Jog digelar di Taman Budaya Yogyakarta. Pada 2016, Pemad kebingungan mencari ruang pamer untuk bursa pasar seni itu. Pasalnya, Taman Budaya Yogyakarta sudah dipesan untuk pameran lain.
Pemad kemudian memberanikan diri menemui pendiri museum seni rupa kontemporer bernama Jogja National Museum, Kanjeng Pangeran Haryo Wironegoro, di rumahnya. Pemad meminta izin untuk menggunakan JNM sebagai tempat Art Jog. Ia juga mempresentasikan pameran seni rupa Art Jog di hadapan KPH Wironegoro. "Saya menunjukkan bukti bagaimana Art Jog berlangsung selama delapan tahun kepada KPH Wironegoro. Beliau menyambut positif," kata Pemad.
Namun waktu itu Pemad kembali mendapat halangan. JNM telah dipesan direktur pameran Art Stage Jakarta, Leo Silitonga. Leo pada waktu itu hendak menggelar art moment yang mengiringi Art Jog. Kepada Pemad, KPH Wironegoro meminta Pemad berbicara dengan Leo Silitonga mengenai rencana menggunakan JNM untuk Art Jog. Pemad pun menemui Leo Silitonga untuk membicarakan rencana itu. Leo akhirnya setuju Pemad memanfaatkan JNM untuk tempat Art Jog. Pemad kemudian menyewa gedung JNM untuk pelaksanaan Art Jog kepada KPH Wironegoro, yang juga menantu Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Pemad bersama timnya kemudian merombak JNM yang beratmosfer muram. Tembok gedung itu dicat, tulisan ASRI dikembalikan. Pemad juga merobohkan dua tembok besar di depan dan belakang gedung JNM karena menghalangi eksplorasi seniman untuk menempatkan karya mereka. Sebelum merobohkan dua tembok itu, Pemad bertanya kepada Kantor Purbakala untuk memastikan tembok itu masuk cagar budaya atau tidak. Ternyata tembok-tembok itu tidak tergolong benda cagar budaya.
Pada 2016, Pemad merobohkan tembok itu. Ia ingin mengembalikan aura JNM seperti ASRI. Sekarang di facade sisi muka gedung ASRI tepat menghadap gerbang masuk ada tulisan Art Jog. Terlihat itu akan menjadi tulisan atau logo tetap JNM. Selain itu, di dekat pintu patung didirikan patung perunggu R.J. Katamsi, direktur pertama ASRI (1950-1958), setinggi 2,5 meter. Patung itu dibuat oleh Wahyu Santoso tahun ini--yang juga akan menjadi ikon tetap JNM.
Tahun depan, Pemad punya impian makin membesarkan Art Jog tidak hanya pada eksplorasi seni rupa, tapi juga fashion show, desain, film, dan musik. Ia menginginkan mendatangkan seniman performance art atau teater yang bagus. Pemad juga berencana menempatkan patung-patung di luar ruangan.
Awalnya Heri Pemad tidak tahu mengapa oleh kawan-kawannya dulu sejak mahasiswa dipanggil Pemad. Nama sebenarnya adalah Herianto. Ia baru tahu belakangan bahwa pemad artinya "edan" dalam bahasa Jawa prokem khas anak muda Yogya. Memang, melihat jerih payahnya menghadirkan Art Jog ini, hanya satu kata: edan!
Shinta Maharani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo