Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka membawa tebu-tebu runcing sebagai senjata. Lukisan Geger Pabrik Gula karya Mulyono, yang panjangnya 4 meter, di Galeri Langgeng Yogya, menggambarkan buruh pabrik gula yang merangsak maju menghadapi mandor dan polisi. Ekspresi para buruh itu dingin. Namun gesturnya dalam keadaan siaga. Di barisan terdepan, seorang buruh membawa kendang. Di belakangnya, seseorang siap menghunjamkan senjata. Ibu-ibu pun terlibat kerusuhan.
Meski tak ada paras marah buruh yang berteriak garang, cara menggambarkan Mulyono mampu memperlihatkan adanya konflik laten. Kejelataan buruh diperlihatkan dengan berbagai kostum dan ikat kepala. Mereka ada yang mengenakan lurik, kain hitam, dan beskap serta kebanyakan bertelanjang dada. Sedangkan "anjing penjaga" pabrik rata-rata berseragam putih. Ada seorang ambtenar dengan posisi agak di atas menuding, meminta anak buahnya mengarahkan senjatanya (yang juga tebu) ke arah tubuh buruh. Pabrik gula itu tentu milik perusahaan kolonial. Tapi yang bertempur adalah pribumi lawan pribumi.
Yang menarik, untuk keperluan lukisan ini, Mulyono menjadikan pemain ludruk sebagai model. Semua sosok di kanvas itu, baik buruh maupun mandor dan centeng-centengnya, digambar dari wajah-wajah pemain Ludruk Budhi Wijaya, Desa Ketapang Kuning, Kecamatan Ngusikan, Jombang, Jawa Timur. Para anggota Budhi Wijaya itu di-setting dalam sebuah adegan kerusuhan, lalu dipotret, dan kemudian dilukis. Dalam kanvas, mereka ditempatkan dalam suasana pabrik.
Kalau kita jeli, unsur gambar pabrik diambil Mulyono dari lukisan maestro Sudjojono: Markas Laskar di Bekas Gudang Beras Tjikampek. Perhatikan balok-balok tiang dinding di belakang sudut kiri para buruh itu sama dengan balok-balok dinding gudang beras di lukisan Sudjojono, Gudang Beras Tjikampek. Mulyono memang mengapropriasi bagian-bagian lukisan Sudjojono tersebut. Amati seseorang laki-laki berkopiah berambut putih, bertelanjang dada yang tengah berjongkok membetulkan tali sepatu hitam di pihak mandor. Itu juga diambil dari lukisan Gudang Beras Tjikampek. Dalam lukisan Sudjojono, lelaki berpeci hitam membetulkan tali sepatu terdapat di bagian paling kanan.
Pada pembukaan pameran berjudul "Amok Tanah Jawa" itu, rombongan Ludruk Budhi Wijaya Jombang datang mementaskan lakon Geger Pabrik Gula. Duarrrr…, penonton terkejut tatkala adegan mandor menembak buruh, sebuah petasan meledak keras dari tubuh salah seorang pemain. Sebuah trik pertunjukan. Mereka inilah yang wajahnya sebagian digambar oleh Mulyono. Di lukisan Geger Pabrik Gula, misalnya, ada gambar dalam rombongan demonstran seorang waria berias jongkok mematut diri dengan pecahan kaca. Tatkala perkelahian buruh versus centeng pabrik hendak terjadi, waria ini masih sempat-sempatnya merias diri. Waria yang menjadi model lukisan tersebut, saat pembukaan, juga datang berperan sebagai mbok-mbok yang tatkala duduk di kursi dijejak hingga terjengkang oleh mandor.
Ludruk Budhi Wijaya didirikan pada 1984 di Jombang oleh sinder tebu bernama Sahid Pribadi. Mulanya sebagian besar anggota grup ini bekas pemain Ludruk Warnajaya pimpinan Bayan Manan dari Ketapang Kuning, yang eksis sejak 1970-an. Sahid Pribadi membawa sebagian anggota Warna Jaya bergabung dengan Ludruk Budhi Jaya pimpinan Budi. Budhi Jaya moncer. Tapi, dalam perjalanan waktu, terjadi perpecahan. Sahid Pribadi keluar dari Ludruk Budhi Jaya, lalu mendirikan Budhi Wijaya, yang juga cepat tersohor di kawasan Jombang.
Sahid kini telah meninggal. Ludruk Budhi Wijaya sekarang di bawah kendali Didik Purwanto, putra keduanya. Mereka bermain dalam acara mantenan, sunatan, ruwatan desa, dan tujuh belasan hingga ke kawasan Mojokerto, Lamongan, Surabaya, Sidoarjo, Gresik, serta Pasuruan. Mereka mementaskan cerita seperti Nagasasra Sabuk Inten, Ajisaka, Babad Tunggorono, Subanjar Edan, dan Kyai Macan Loreng.
Mulyono tertarik pada tema kerusuhan pabrik gula di ludruk. "Saya lihat cerita pemberontakan ini ada di mana-mana, entah itu di ludruk versi Malang, Pasuruan, Kediri, Bangil, dan sebagainya," katanya. Kisah Sakerah, misalnya, yang melawan kesewenang-wenangan pabrik gula di Bangil, adalah yang paling terkenal. Sakerah bersembunyi dari kejaran Belanda. Salah satu anak buahnya berkhianat. Kepada Kompeni, ia membuka rahasia bahwa Sakerah bisa muncul apabila digelar ronggeng tayub bernama Samirah. Salah satu lakon terkenal di ludruk adalah Tandhak Samirah. Gendhing yang dibawa oleh rombongan Ludruk Budhi Wijaya ke Galeri Langgeng juga dinamakan Gendhing Samirah.
Masuk akal apabila pabrik gula menjadi salah satu tema ludruk. Di Jombang, tempat kelahiran ludruk, pada awal abad ke-20 terdapat banyak pabrik gula, seperti PG Djombang Baroe, PG Tjoekir, PG Sumobito, PG Mojoagung, dan PG Ploso. Dulu, di setiap pabrik gula itu, setiap kali ada pesta awal musim giling tebu, selalu disajikan acara ludruk. Seni ludruk saat itu lebih disukai oleh kaum buruh dan warga desa. Bagi pesantren, ludruk mungkin dianggap kesenian kasar. Karena itu, Partai Komunis Indonesia menggunakan ludruk sebagai alat konfrontasi politik. Maka pada 1965 banyak anggota ludruk yang dianggap kiri ditangkap dan dibunuh oleh tentara.
Mulyono dikenal sebagai perupa yang memelopori seni penyadaran. Ia aktivis yang melakukan berbagai pelatihan untuk anak-anak atau remaja melalui medium menggambar. Inti kegiatannya adalah membuat anak didik peka terhadap situasi ketimpangan sosial di sekelilingnya. Yang dipamerkan Mul biasanya karya anak didiknya. Metode penyadaran demikian di Amerika Latin dilakukan oleh Paulo Freire atau teaterwan Augusto Boal. Pameran "Amok Tanah Jawa" ini tentu bukan hasil dari pelatihan semacam itu. Mul tidak melakukan kerja yang membuat para pemain ludruk itu menggambar dan mengkritik sejarahnya.
Namun memasukkan wajah para pemain ludruk ke lukisan-lukisan terkenal Indonesia yang bertema sosial adalah sebuah "penyadaran" lain. Tatkala Mul mengganti wajah-wajah Penangkapan Diponegoro karya Raden Saleh dengan wajah-wajah para pemain Ludruk Budhi Wijaya, kita melihat bahwa seolah-olah ada kesinambungan "protes sosial" itu. Gambar apropriasi Penangkapan Diponegoro itu sendiri kuat. Dikerjakan tangan yang terampil. Tiap figur yang ada dalam hidup. Komposisi gelap-terang lukisan memukau. Selintas posisi dan gestur semua orang dalam lukisan itu sama dengan yang ada di karya Raden Saleh. Tapi, bila Anda jeli, Mul menyisipkan parodi. Di barisan sebelah kanan pasukan Diponegoro, misalnya, ada salah satu pengikut Diponegoro yang sibuk dengan handphone.
Satu lagi karya yang diapropriasi Mul adalah lukisan sosok seorang perempuan berkebaya karya Sudjojono: Di Depan Kelambu Terbuka. Kita tahu sosok itu adalah pelacur di daerah Pasar Senen, Jakarta Pusat, bernama Adhesi, yang menjadi "istri" pertama Sudjojono. Oleh Mulyono, posisi duduk sang ibu itu dilukis dan figurnya diganti dengan seorang pemain travesti atau ludruk wedokan dari Malang, Jawa Timur, yang bernama asli Samsu. Sehari-hari, tidak hanya di panggung ludruk, Samsu memang berpenampilan sebagai seorang perempuan. Dia berjilbab dan menjadi istri dari seorang tokoh ludruk bernama Pak Totok.
Pasangan Totok dan Samsu sehari-hari tinggal di bilangan Sukun, Malang. Warga setempat sudah biasa memanggil Samsu dengan nama Mama Samsu atau Bu Totok. Yang melakukan riset pasangan Pak Totok dan Bu Totok ini adalah Yusuf Muntaha, aktivis seni dari Malang. Mulyono memang berkolaborasi dengan Yusuf untuk pameran ini. "Pak Totok ini sering memerankan Sakerah," kata Yusuf. Dalam pameran, Yusuf menyajikan dua video yang merekam bagaimana sebagai wanita Samsu merias diri. Dari jilbaban sehari-hari sampai merias menjadi pemain ludruk.
Namun, dari hasil risetnya, ia melihat ada yang menarik dalam pembagian gender. "Sehari-hari justru 'Bu Totok' itu yang laki-laki dan Pak Totok itu yang 'perempuan', kata Yusuf. Ia melihat Bu Totok alias Samsu tak bisa menari kalau tidak "bergairah" lebih dulu terhadap Pak Totok. Yang mencari nafkah dan menjalankan roda ekonomi rumah tangga justru Bu Totok. "Bu Totok bekerja di bidang jasa rias pengantin," ujar Yusuf. Sedangkan peran ibu rumah tangga, seperti memasak, dilakukan Pak Totok. Mereka memiliki enam anak angkat. Menurut Yusuf, pasangan ini sangat diterima warga bahkan dianggap tokoh. "Saya melihat, dalam konteks ludruk, LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) bukan masalah," kata Yusuf.
Yang kurang menohok adalah apropriasi lukisan Pengantin Revolusi karya Hendra Gunawan, yang menggambarkan arak-arakan seorang pejuang yang baru nikah dan membawa istrinya di atas sepeda. Sepeda adalah pelaminan. Sebuah instalasi berupa sepeda dan seorang pejuang juga dibuat. Namun cara penggarapan instalasi itu tak berhasil membuat kita yakin seolah-olah instalasi itu "keluar" dari lukisan. Yang justru memperkuat adalah dipamerkannya buku-buku tentang sejarah pabrik gula dan skenario tulisan tangan lakon Sakerah dari Ludruk Budhi Wijaya. Adapun instalasi parang-parang dan arit yang digantung-gantung dan kemudian komik tentang Sakerah karya Yusuf terasa kurang dramatis. Penempatannya tidak membentuk suasana ruangan.
Mulyono dan Yusuf menyadari bahwa problem ludruk bisa digali lebih jauh. Proyek ludruk ini bisa panjang. Adalah menarik mendengar antusiasme para pemain ludruk sendiri. Dengarkan cerita Mul saat membuat lukisan Geger Pabrik Gula itu: "Pengadeganan dan blocking itu teman-teman ludruk sendiri yang atur. Saya tidak turut campur." Hanya sehari setelah pembukaan, Geger Pabrik Gula dan Penangkapan Diponegoro, yang dibanderol di atas Rp 150 juta itu, dibeli kolektor.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo