ANDA sudah membaca The Vietnamese Gulag? Sebuah buku Doan Van
Toai, 1979. Orang ini pernah menertawai novel The Gulag
Archipelago. Karya Solzhenitsyn, pemenang Hadiah Nobel itu,
dinilainya "tak lebih dari sebuah propaganda antikomunis." He?
Baru-baru ini, Van Toai menumpahkan isi hatinya di majalah The
New York Times. "Tanpa mengalami sendiri, seseorang sangat sulit
diyakinkan betapa beratnya penderitaan di bawah komunisme,"
katanya. Ia meninggalkan Vietnam 1978.
Sesungguhnyalah Vietnam sebuah ratapan panjang.
Ketika pasukan "pembebas" dari Utara masuk Saigon, Mei 1975,
tidak sedikit penduduk ikut ke luar mengelu-elukan. Bukankah
Partai Lo Dong - nama lain untuk Partai Komunis Vietnam --
menjanjikan kemerdekaan, keadilan, pokoknya segala yang
terbaik yang sudah tersimpul dalam satu kata: sosialisme?
Doan Van Toai mempercayai hal itu. Lahir di Desa Caivon,
Provinsi Vinh Long, 100 mil di selatan Saigon, "saya tak pernah
mengecap hidup damai selama di Vietnam," kenang lelaki 36 tahun
itu.
Selama perang melawan Prancis tiga kali rumah keluarganya
hangus. Bersama ayah ibu, masa kanaknya hanyut dalam pengungsian
dari desa ke desa.
Ia menyaksikan kekejaman Prancis dan penguasa rezim Saigon. Ia
ikut gerakan perjuangan kemerdekaan. Ia mempelajari sejarah
Vietnam: berabad-abad dijajah Cina, plus dominasi Barat yang tak
kepalang. Van Toai tumbuh menjadi pembenci intervensi asing.
Di Universitas Saigon, ia kemudian tampil sebagai tokoh
mahasiswa. Memimpin berbagai demonstrasi. Menempelak rezim Thieu
dan campur tangan AS di Vietnam. Menerbitkan majalah perlawanan.
Januari 1971 ia memberikan serangkaian ceramah antiperang di
Berkeley dan Stanford, California, AS.
Bersama Van Toai, banyak intelektuil terpikat program Front
Pembebasan Nasional ( FPN) Vietnam Selatan yang disetir komunis.
Mereka membenci penguasa Saigon -- yang memang bobrok. Seperti
Jenderal Nguyen Van Thieu, Jenderal Nguyen Cao Ky, jenderal Dang
Van Quang. Semuanya bekas serdadu kolonial Prancis. Para
jenderal ini sudah tak laku di kalangan rakyat, dan kian
tergantung pada kekuatan asing.
Toai dan rekan-rekannya percaya, rezim Hanoi "pada dasarnya
bangsa kita juga." Berembuk dengan "saudara-saudara komunis di
Utara" tentu lebih mudah, ketimbang dengan rezim Saigon yang
"ditunggangi AS."
Di samping itu, pengabdian dan pengorbanan yang diperagakan
orangorang komunis memang luar biasa. Lihat saja Ton Duc Thang.
Lebih 17 tahun bekas Presiden Vietnam Utara itu meringkuk dalam
penjara Prancis.
Program politik FPN juga menarik. Cara-cara rukun diianjikan
dalam kebijaksanaan penyatuan kembali Vietnam. Tiada balas
dendam. Politik luar negeri tidak akan memihak.
Maka ketika "pembebasan" betul-betul datang, 1975, Van Toai
melongo melihat rekan sebangsanya berkemas-kemas mengungsi.
"Mengapa kalian pergi?" tanyanya. "Mengapa kalian takut kepada
komunisme?"
Ia sendiri siap menyingsingkan lengan baju, membangun tanah air
yang nyaris tinggal puing. Ia meneruskan pekerjaan sebagai
manajer cabang sebuah bank Saigon.
Pemerintah baru yang dibentuk FPN segera meminta Toai duduk
dalam 'komite keuangan'. Kelompok intelektual ini bertugas
membantu pemerintah mengambil kebijaksanaan ekonomi. Untuk Toai,
tugas pertama tak lain merencanakan penyitaan harta benda
perorangan di Vietnam Selatan. Ia terkesima!
Dicobanya mengajukan usul. "Hendaknya yang disita hanya harta
orang-orang yang dulu bekerjasama dengan rezim lama, atau yang
menjadi kaya dengan memanfaatkan perang," pintanya. "Hasil
sitaan supaya disumbangkan kepada kaum papa dan korban perang."
Usul itu ditertawai.
Ketika rencana akhirnya tersusun, Toai menolak menandatangani.
Ia lupa: di dalam rezim komunis, tidak ada orang yang menolak.
Selang beberapa hari, tatkala Toai menikmati konser di Gedung
Teater Nasional Kota Ho Chi Minh, ia ditangkap. Tanpa tuduhan.
Tanpa alasan.
Berapa banyak sesungguhnya tahanan politik di Vietnam? Tahun
1977 para pejabat Hanoi menyebut angka 50 ribu. Yaitu "mereka
yang sungguh-sungguh mengancam keamanan nasional."
Tapi dalam majalah Poris Match 22 September 1978, PM Pham Van
Dong berkata, "selama tiga tahun, kami membebaskan lebih sejuta
tahanan." Lho! Bagaimana membebaskan lebih satu juta orang,
kalau yang ditahan cuma 50 ribu?
"Vietnam kini sebuah negara tanpa hukum," tulis Van Toai. Ia
mungkin mengada-ada. Tapi saksi hidup terus bermunculan.
Hoang Huu Quynh adalah sarjana lulusan Universitas Moskow.
Sebagai direktur sekolah teknik di Kota Ho Chi Minh, ia diberi
kesempatan meninjau beberapa negara Eropa. Quynh tak melewatkan
peluang emas itu -- ia hengkang ke Prancis. "Sekarang ini paling
tidak 700 ribu orang ditahan di seluruh Vietnam," tuturnya
kepada pers Prancis.
Saksi lain adalah Nguyen Cong Hoan. Tahun 1976 ia terpilih
sebagai anggota Majelis Nasional. Dua tahun kemudian minggat,
ikut perahu. Di provinsinya saja, Phu Yen, Hoan mengetahui
"sekitar 300 pelaksanaan hukuman mati."
Jangan tanya kondisi rumah tahanan. Nasi dicampur pasir. Sekali
tempo ada yang nekat bertanya. "Memang sengaja dicampur pasir,"
jawab seorang pengawal, "untuk mengingatkan kalian pada
kejahatan kalian." Mau apa?
Maret 1976, serombongan wartawan Barat meninjau sebuah penjara.
Para tahanan digantikan oleh para prajurit yang tegap yang
memakai seragam penjara. Kawat berduri dicopot. Di gerbang
penjara digantung "kutipan kata-kata Ho Chi Minh: Tak ada yang
lebih berharga selain kebebasan dan kemerdekaan!"
Angka kematian tahanan tak pernah diketahui. Di antara mereka
terdapat tokoh-tokoh terkenal yang bahkan tak pernah membantu
rezim Thieu dan Amerika Serikat.
Misalnya Tich Thien Minh, tokoh gerakan perdamaian umat Budha di
Saigon. Ia dijatuhi hukuman 10 tahun oleh rezim Thieu, kemudian
dilepas setelah protes keras dari berbagai penjuru dunia. Tahun
1979 Thien Minh ditahan pemerintah baru. Dalam delapan bulan, ia
mati dengan senyap .
Korban lain ialah Pengacara Tran Van Tuyen. Ia pemimpin kelompok
oposisi dalam Majelis Saigon. Pada 1977 serombongan wartawan
Prancis menanyakan nasib Tuyen kepada Pham Van Dhong. "Dia sehat
walafiat belaka di kamp reedukasi," jawab PM itu. Padahal, sudah
setahun Tuyen wafat.
Kehilangan paling besar agaknya tewasnya Ho Huu Tuong. Dia ini
filosof Vietnam, rekan sekelas Jean Paul Sartre di Paris,
1930-an. Tak berlebihan bila Huu Tuong disebut intelektuil
Vietnam paling terkemuka. Ia ditahan untuk mencegah kemungkinan
oposisi terhadap rezim komunis. Pada 26 J uni 1980, Tuong
meninggal di penjara Ham Tan.
Sementara itu 'independensi' yang dijanjikan, tinggal impian.
Gambar para pemimpin Soviet menghiasi gedung-gedung utama. Tak
terhitung "penasihat" Soviet yang keluar masuk Vietnam.
SEMANGAT "hidup ala Soviet" menggebu-gebu. Buku-buku yang
diterbitkan rezim lama disita, dihancurkan. Di antaranya
terdapat karya terjemahan Sartre, Albert Camus, Dale Carnegie.
Novel Gone with The Wind karangan Margaret Mitchell digolongkan
ke dalam "bacaan dekaden." Sebagai gantinya, muncul berbagai
kitab yang mendukung gagasan: "Uni Soviet adalah surga dunia
sosialis."
Di balik cerita duka, dan orang perahu yang menyebar ke seluruh
sudut bumi, apa sesungguhnya yang terjadi di Vietnam? Jawabnya
mungkin bisa diberikan Truong Nhu Tang,57 tahun.
Dia salah seorang pendiri FPN, bekas menteri kehakiman dalam
Pemerintah Revolusioner Sementara. November 1979, Tang menjadi
orang perahu. Kini ia hidup di Paris.
"Sebelum berkuasa, orang-orang komunis itu manis dan ramah.
Bukan main baiknya," tutur Tang. Tapi begitu mereka
mengendalikan pemerintahan, "mereka mendadak kasar, sinis, dan
tak tahu berterima kasih." Di Vietnam, Tang menambahkan,
"keluarga terpecah belah, masyarakat terpecah belah, bahkan
Partai Komunis terpecah belah."
Ada lagi Tang yang lain: Nguyen Van Tang. Lelaki ini bagai
diciptakan untuk menjadi penghuni bui. Ia ditahan Prancis 15
tahun. Dipenjarakan Ngo Dinh Diem 8 tahun. Diterungku rezim
Thieu 6 tahun. Kini ia di penjara komunis.
Pada suatu senja gerimis, di penjara Le Van Duyet, Kota Ho Chi
Minh, Tang membisikkan isi hatinya kepada teman sekamar, yang
kemudian lolos. "Aku sekarang tidak lagi bercita-cita untuk
bebas, atau berkumpul dengan sanak saudara," katanya.
"Cita-citaku ialah bagaimana bisa berada kembali dalam penjara
Prancis, seperti 30 tahun lalu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini