Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Vietnam, sebuah ratapan panjang

Doan van toai memaparkan betapa beratnya penderitaan dibawah komunisme di vietnam. ia menumpahkan isi hatinya di majalah the new york times mengenai vietnam. (sel)

2 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANDA sudah membaca The Vietnamese Gulag? Sebuah buku Doan Van Toai, 1979. Orang ini pernah menertawai novel The Gulag Archipelago. Karya Solzhenitsyn, pemenang Hadiah Nobel itu, dinilainya "tak lebih dari sebuah propaganda antikomunis." He? Baru-baru ini, Van Toai menumpahkan isi hatinya di majalah The New York Times. "Tanpa mengalami sendiri, seseorang sangat sulit diyakinkan betapa beratnya penderitaan di bawah komunisme," katanya. Ia meninggalkan Vietnam 1978. Sesungguhnyalah Vietnam sebuah ratapan panjang. Ketika pasukan "pembebas" dari Utara masuk Saigon, Mei 1975, tidak sedikit penduduk ikut ke luar mengelu-elukan. Bukankah Partai Lo Dong - nama lain untuk Partai Komunis Vietnam -- menjanjikan kemerdekaan, keadilan, pokoknya segala yang terbaik yang sudah tersimpul dalam satu kata: sosialisme? Doan Van Toai mempercayai hal itu. Lahir di Desa Caivon, Provinsi Vinh Long, 100 mil di selatan Saigon, "saya tak pernah mengecap hidup damai selama di Vietnam," kenang lelaki 36 tahun itu. Selama perang melawan Prancis tiga kali rumah keluarganya hangus. Bersama ayah ibu, masa kanaknya hanyut dalam pengungsian dari desa ke desa. Ia menyaksikan kekejaman Prancis dan penguasa rezim Saigon. Ia ikut gerakan perjuangan kemerdekaan. Ia mempelajari sejarah Vietnam: berabad-abad dijajah Cina, plus dominasi Barat yang tak kepalang. Van Toai tumbuh menjadi pembenci intervensi asing. Di Universitas Saigon, ia kemudian tampil sebagai tokoh mahasiswa. Memimpin berbagai demonstrasi. Menempelak rezim Thieu dan campur tangan AS di Vietnam. Menerbitkan majalah perlawanan. Januari 1971 ia memberikan serangkaian ceramah antiperang di Berkeley dan Stanford, California, AS. Bersama Van Toai, banyak intelektuil terpikat program Front Pembebasan Nasional ( FPN) Vietnam Selatan yang disetir komunis. Mereka membenci penguasa Saigon -- yang memang bobrok. Seperti Jenderal Nguyen Van Thieu, Jenderal Nguyen Cao Ky, jenderal Dang Van Quang. Semuanya bekas serdadu kolonial Prancis. Para jenderal ini sudah tak laku di kalangan rakyat, dan kian tergantung pada kekuatan asing. Toai dan rekan-rekannya percaya, rezim Hanoi "pada dasarnya bangsa kita juga." Berembuk dengan "saudara-saudara komunis di Utara" tentu lebih mudah, ketimbang dengan rezim Saigon yang "ditunggangi AS." Di samping itu, pengabdian dan pengorbanan yang diperagakan orangorang komunis memang luar biasa. Lihat saja Ton Duc Thang. Lebih 17 tahun bekas Presiden Vietnam Utara itu meringkuk dalam penjara Prancis. Program politik FPN juga menarik. Cara-cara rukun diianjikan dalam kebijaksanaan penyatuan kembali Vietnam. Tiada balas dendam. Politik luar negeri tidak akan memihak. Maka ketika "pembebasan" betul-betul datang, 1975, Van Toai melongo melihat rekan sebangsanya berkemas-kemas mengungsi. "Mengapa kalian pergi?" tanyanya. "Mengapa kalian takut kepada komunisme?" Ia sendiri siap menyingsingkan lengan baju, membangun tanah air yang nyaris tinggal puing. Ia meneruskan pekerjaan sebagai manajer cabang sebuah bank Saigon. Pemerintah baru yang dibentuk FPN segera meminta Toai duduk dalam 'komite keuangan'. Kelompok intelektual ini bertugas membantu pemerintah mengambil kebijaksanaan ekonomi. Untuk Toai, tugas pertama tak lain merencanakan penyitaan harta benda perorangan di Vietnam Selatan. Ia terkesima! Dicobanya mengajukan usul. "Hendaknya yang disita hanya harta orang-orang yang dulu bekerjasama dengan rezim lama, atau yang menjadi kaya dengan memanfaatkan perang," pintanya. "Hasil sitaan supaya disumbangkan kepada kaum papa dan korban perang." Usul itu ditertawai. Ketika rencana akhirnya tersusun, Toai menolak menandatangani. Ia lupa: di dalam rezim komunis, tidak ada orang yang menolak. Selang beberapa hari, tatkala Toai menikmati konser di Gedung Teater Nasional Kota Ho Chi Minh, ia ditangkap. Tanpa tuduhan. Tanpa alasan. Berapa banyak sesungguhnya tahanan politik di Vietnam? Tahun 1977 para pejabat Hanoi menyebut angka 50 ribu. Yaitu "mereka yang sungguh-sungguh mengancam keamanan nasional." Tapi dalam majalah Poris Match 22 September 1978, PM Pham Van Dong berkata, "selama tiga tahun, kami membebaskan lebih sejuta tahanan." Lho! Bagaimana membebaskan lebih satu juta orang, kalau yang ditahan cuma 50 ribu? "Vietnam kini sebuah negara tanpa hukum," tulis Van Toai. Ia mungkin mengada-ada. Tapi saksi hidup terus bermunculan. Hoang Huu Quynh adalah sarjana lulusan Universitas Moskow. Sebagai direktur sekolah teknik di Kota Ho Chi Minh, ia diberi kesempatan meninjau beberapa negara Eropa. Quynh tak melewatkan peluang emas itu -- ia hengkang ke Prancis. "Sekarang ini paling tidak 700 ribu orang ditahan di seluruh Vietnam," tuturnya kepada pers Prancis. Saksi lain adalah Nguyen Cong Hoan. Tahun 1976 ia terpilih sebagai anggota Majelis Nasional. Dua tahun kemudian minggat, ikut perahu. Di provinsinya saja, Phu Yen, Hoan mengetahui "sekitar 300 pelaksanaan hukuman mati." Jangan tanya kondisi rumah tahanan. Nasi dicampur pasir. Sekali tempo ada yang nekat bertanya. "Memang sengaja dicampur pasir," jawab seorang pengawal, "untuk mengingatkan kalian pada kejahatan kalian." Mau apa? Maret 1976, serombongan wartawan Barat meninjau sebuah penjara. Para tahanan digantikan oleh para prajurit yang tegap yang memakai seragam penjara. Kawat berduri dicopot. Di gerbang penjara digantung "kutipan kata-kata Ho Chi Minh: Tak ada yang lebih berharga selain kebebasan dan kemerdekaan!" Angka kematian tahanan tak pernah diketahui. Di antara mereka terdapat tokoh-tokoh terkenal yang bahkan tak pernah membantu rezim Thieu dan Amerika Serikat. Misalnya Tich Thien Minh, tokoh gerakan perdamaian umat Budha di Saigon. Ia dijatuhi hukuman 10 tahun oleh rezim Thieu, kemudian dilepas setelah protes keras dari berbagai penjuru dunia. Tahun 1979 Thien Minh ditahan pemerintah baru. Dalam delapan bulan, ia mati dengan senyap . Korban lain ialah Pengacara Tran Van Tuyen. Ia pemimpin kelompok oposisi dalam Majelis Saigon. Pada 1977 serombongan wartawan Prancis menanyakan nasib Tuyen kepada Pham Van Dhong. "Dia sehat walafiat belaka di kamp reedukasi," jawab PM itu. Padahal, sudah setahun Tuyen wafat. Kehilangan paling besar agaknya tewasnya Ho Huu Tuong. Dia ini filosof Vietnam, rekan sekelas Jean Paul Sartre di Paris, 1930-an. Tak berlebihan bila Huu Tuong disebut intelektuil Vietnam paling terkemuka. Ia ditahan untuk mencegah kemungkinan oposisi terhadap rezim komunis. Pada 26 J uni 1980, Tuong meninggal di penjara Ham Tan. Sementara itu 'independensi' yang dijanjikan, tinggal impian. Gambar para pemimpin Soviet menghiasi gedung-gedung utama. Tak terhitung "penasihat" Soviet yang keluar masuk Vietnam. SEMANGAT "hidup ala Soviet" menggebu-gebu. Buku-buku yang diterbitkan rezim lama disita, dihancurkan. Di antaranya terdapat karya terjemahan Sartre, Albert Camus, Dale Carnegie. Novel Gone with The Wind karangan Margaret Mitchell digolongkan ke dalam "bacaan dekaden." Sebagai gantinya, muncul berbagai kitab yang mendukung gagasan: "Uni Soviet adalah surga dunia sosialis." Di balik cerita duka, dan orang perahu yang menyebar ke seluruh sudut bumi, apa sesungguhnya yang terjadi di Vietnam? Jawabnya mungkin bisa diberikan Truong Nhu Tang,57 tahun. Dia salah seorang pendiri FPN, bekas menteri kehakiman dalam Pemerintah Revolusioner Sementara. November 1979, Tang menjadi orang perahu. Kini ia hidup di Paris. "Sebelum berkuasa, orang-orang komunis itu manis dan ramah. Bukan main baiknya," tutur Tang. Tapi begitu mereka mengendalikan pemerintahan, "mereka mendadak kasar, sinis, dan tak tahu berterima kasih." Di Vietnam, Tang menambahkan, "keluarga terpecah belah, masyarakat terpecah belah, bahkan Partai Komunis terpecah belah." Ada lagi Tang yang lain: Nguyen Van Tang. Lelaki ini bagai diciptakan untuk menjadi penghuni bui. Ia ditahan Prancis 15 tahun. Dipenjarakan Ngo Dinh Diem 8 tahun. Diterungku rezim Thieu 6 tahun. Kini ia di penjara komunis. Pada suatu senja gerimis, di penjara Le Van Duyet, Kota Ho Chi Minh, Tang membisikkan isi hatinya kepada teman sekamar, yang kemudian lolos. "Aku sekarang tidak lagi bercita-cita untuk bebas, atau berkumpul dengan sanak saudara," katanya. "Cita-citaku ialah bagaimana bisa berada kembali dalam penjara Prancis, seperti 30 tahun lalu."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus