ISTILAH 'imam' memiliki arti berlain-lainan, dalam perkembangan
sejarah Islam. Bermula dari arti sederhana saja: anutan yang
berada di muka. Dalam wujud kongkrit, yang paling sering kita
lihat, ia pemimpin ibadat salat. Sering disenyawakan dengan
jabatan pengelolaan tempat ibadat: imam masjid, imam langgar
dan sebagainya.
Yang sering juga kita lihat adalah kedudukan anutan itu dalam
soal-soal keagamaan sehari-hari di pedesaan: memimpin perawatan
orang mati, mengatur pernikahan (sebelum dilembagakan dalam
bentuk penghulu dan para wakil/na'ib-nya) dan sebagainya.
Kedudukan di pedesaan itu bernama imam agama - dalam bahasa
Arabnya imamuddin, terkenal dengan singkatan 'modin'.
Perkembangan sejarah menjadikan istilah ini kompleks. Imam
negara di Malaysia adalah penanggungjawab pengelolaan Masjid
Negara di Kuala Lumpur, dengan tambahan sejumlah jurisdiksi atas
masalah-masalah keagamaan murni (penetapan permulaan bulan puasa
dan hari raya, dan sebagainya). Imam negara di Iran, saat ini
Ayatullah Ruhollah Khomeini dan sinonim dengan istilah 'fageeh',
memiliki kekuasaan tak terbatas atas kehidupan politik dan
keagamaan.
Perkembangan sejarah yang menentukan adalah ketika istilah
'imam' ini diberi pengertian politis. Yaitu sebagai kekuasaan
atas jalannya pemerintahan. Ini wajar, karena Islam memang tidak
mengenal pembagian wilayah yang jelas antara urusan politik dan
keagamaan. Ketika Rasulullah wafat, muncul istilah 'kalifah'
sebagai pengganti kedudukan kenabian dan kerasulan yang
dibawanya ke alam baka. Pada saat 'Umar ibn al-Khattab menjadi
kalifah, ada tambahan jabatan -- sebagai penglima tertinggi
angkatan perang, bergelar 'amirul mu'minin'. Kalifah dan amir
menjadi sinonim.
Ketika terjadi perlawanan terhadap pusat-pusat kekuasaan, salah
satu tema yang diambil adalah 'pengagamaan' fungsi kekuasaan.
Dilontarkan tuduhan: jabatan kalifah dan amir telah dibuat
begitu politis, sehingga kehilangan dimensi keagamaan. Karena
itu di hadapan kalifah dan amir ditetapkan oleh para pembangkang
itu jabatan baru -- bernama Imam. Semata-mata berwatak
keagamaan, tapi punya kekuasaan penuh atas perkembangan politik
dan pemerintahan.
Golongan Syi'ah meyakini kebenaran doktrin keimanan sehingga
salah satu rukun Islam mereka adalah imamah, keyakinan adanya
imam. Eskatologis, imam berdiri dalam deretan pewarisan
kekuasaan dari Allah kepada Nabi, melalui malaikat. Tidak heran
kalau imam adalah pemberi jaminan keselamatan di akhirat kepada
para pengikut. Bahkan hampir semua kelompok golongan besar
Syi'ah mempercayai doktrin adanya juru selamat (messiah,
al-masih) dalam diri Imam Terakhir - yang sekarang sedang
terangkat ke langit untuk nanti turun menjelang kiamat.
Bagi mayoritas Syi'ah, yaitu Syi'ah Imamiyah atau Ja'faliyah,
imam juru selamat itu adalah Muhammad ibn al-Hasan al-Askari,
bergelar al-Mahdi al-Muntazar (Imam Yang Ditunggu). Muhamad
telah terangkat (mi'raj) ke langit pada usia 5 tahun, di Kota
Samarra di Irak, pada 260 Hijri. Ia akan menegakkan keadilan
abadi kelak setelah mengalahkan Dajjal anti-Kristus dalam
teologia Kristen (seperti yang dewasa ini sedang ditonton orang
lewat khayalan film The Omen red). Tradisi perlawanan begitu
kuat menjadi bagian sejarah Islam melawan pemerintahan yang
dianggap telah 'menduniawi'. Sehingga tradisi imam pun akhirnya
berkembang menjadi sesuatu yang sangat kultural: 'imam' adalah
juga anutan di bidang ilmu keagamaan -- seperti imam mahab fiqh
dan seterusnya.
Perlawanan keagamaan mengambil bentuk tidak hanya politis,
seperti pada tradisi keimaman Syi'ah. Melainkan juga kultural:
tradisi pemunculan fiqh sebagai perlawanan terhadap kebalauan
hukum di tangan penguasa lalim tradisi pemunculan ilmu kalam
sebagai perlawanan terhadap sekularisasi masyarakat muslim di
masa lampau dan seterusnya. Perubahan arti yang dimaksud dengan
kata 'imam', dari sesuatu yang berdimensi politik dan keagamaan
menjadi pengertian religio-kultural, akan mengakibatkan
perkembangan baru lagi nantinya.
Perlawanan kultural, yang dilambangkan dengan munculnya 'imam
ilmuwan' seperti al-Ghazali dan sebagainya, sudah tentu tidak
memuaskan semua orang. Karena berarti diambilnya keputusan untuk
melakukan penyerapan secara matang atas proses perubahan yang
berjalan cepat. Tidak semua orang mampu melakukan penyerapan
dengan baik, dan dengan sendirinya akan ada yang terlempar dari
garis peredaran umum -- tidak dapat menyesuaikan diri dengan
perkembangan keadaan.
Bagi mereka, perlawanan kultural seperti itu adalah penyimpangan
dari kemurnian ajaran Islam, dan karenanya harus dilawan. Titik
pembalikan orientasi kehidupan beragama adalah ketika dicapainya
penegakan kemurnian ajaran agama. Dalam artian ini, upaya
memurnikan ajaran agama adalah tindakan politis untuk memukul
perlawanan kultural.
Dengan sendirinya lalu dibutuhkan kepemimpinan untuk
menyelenggarakan pemurnian ajaran agama secara politis itu.
Kepemimpinan yang mampu menyatukan aspirasi keagamaan yang benar
dan aspirasi politis, sekaligus dalam dirinya -- berarti
perubahan kembali arti 'imam'. Ia haruslah orang yang mampu
menyampaikan ajaran agama yang benar, mampu menyusun
langkah-langkah politis yang diperlukan untuk menunjang klaim
kebenaran agama, dan mampu menjadi tiang penopang masyarakat
baru yang akan diciptakan sebagai pengganti masyarakat lama yang
sudah jauh dari kebenaran agama.
Munculnya kebutuhan akan kepemimpinan seperti itu lalu menjadi
sangat terasa. Maka dicarilah sang imam, amir dan sebagainya.
Kepadanya diberikan loyalitas tunggal dan ketundukan mutlak:
kepemimpinannya menjadi sangat karismatis. Kebutuhan itu terasa
baik di kalangan batang tubuh umat maupun di lingkungan gerakan
sempalan. Tetapi pemenuhan atau pemunculannya selalu
menghasilkan tindakan yang nantinya akan berujung pala gerakan
sempalan.
Itu semuanya muncul karena kegagalan kepemimpinan umat untuk
menyediakan proses pencernaan yang sehat, dan jawaban yang
wajar, terhadap proses perubahan cepat yang dibawakan
modernisasi yang sedang melanda seluruh dunia Islam dewasa ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini