Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Vila Jenderal di Balik Banjir Jakarta

JAKARTA dihembalang banjir besar pada 2007. Setengah juta penduduk mengungsi dan kerugian ekonomi diperkirakan mencapai Rp 10 triliun. Masyarakat pun mengutuk pemerintah yang tak becus mengendalikan dan mengurus 13 sungai pengirim bah dari Bogor.

Wartawan Tempo tergelitik menelusuri sumber banjir. Rupanya, kawasan Puncak di Bogor sudah tak perawan sehingga air hujan tak lagi bisa diserap. Penyebabnya adalah hutan lindung dibabat dan dijadikan perumahan dan vila. Ironisnya, vila-vila itu ternyata milik pejabat, jenderal, dan pengusaha Ibu Kota.

Berbekal data ratusan halaman dokumen kepemilikan vila, tim investigasi harus menyamar, menghadapi preman yang menjaga vila, bahkan naik gantole untuk membuktikan keberadaan rumah-rumah mewah itu di hulu mata air. Hasilnya, liputan yang terbit pada edisi 21-27 Mei 2007 dengan judul "Vila Liar Petinggi Jakarta".

Liputan ini menghebohkan karena sejumlah nama terkenal negeri ini menjadi pemilik vila yang diduga membuat Ciliwung luber.

Dan sebetulnya investigasi ini kelanjutan liputan lima tahun sebelumnya. Tempo bahkan memastikan Gubernur Jakarta Jenderal Sutiyoso punya vila di Bukit Citamiang, pusat mata air di Kabupaten Bogor yang menjadi hulu Ciliwung dan sungai-sungai lain di Jakarta. Sutiyoso, yang kini menjadi Kepala Badan Intelijen Negara, lalu merobohkan sendiri vilanya itu.

7 Maret 2016 | 00.00 WIB

Vila Jenderal di Balik Banjir Jakarta
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

DOKUMEN setebal 200 halaman itu diperoleh Cahyo Junaedy pada Maret 2007. Isinya nama-nama pemilik vila di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Jumlahnya mencengangkan: sekitar 1.500 bangunan permanen yang berdiri di atas lahan konservasi.

Cahyo terkejut sendiri membaca data itu. "Lebih terkejut karena ada banyak nama pejabat di situ. Ini data yang sangat berharga," katanya, ketika menceritakan ulang liputan itu pada Kamis tiga pekan lalu.

Di dokumen itu, ada banyak nama petinggi militer. Mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Wiranto paling mencorong. Lainnya para purnawirawan, seperti mantan Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat Letnan Jenderal Suryadi, mantan Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat Letnan Jenderal Djaja Suparman, dan mantan Panglima Divisi Militer Udayana H.B.L. Mantiri.

Nama lain adalah pejabat Orde Baru, semisal mantan Menteri Kehakiman Oetojo Oesman. Sedangkan dari kelompok pengusaha tertulis nama King Yuwono, pemilik King Plaza.

Dokumen berharga itu diperoleh Cahyo dari seorang pejabat Dinas Cipta Karya Kabupaten Bogor. Pejabat yang dikenalnya lebih dari lima tahun itu geregetan karena pemerintah kabupaten mengobral izin mendirikan bangunan untuk vila di Puncak tanpa kajian instansinya.

Tak mengherankan jika ada 1.500 vila di sana. Padahal kawasan tersebut berfungsi sebagai daerah resapan yang menahan aliran air ke Jakarta. Jadilah hulu sungai kehilangan penampungan ketika hujan. Air itu tak tertampung oleh sungai-sungai yang mengalir ke Laut Jawa lewat Jakarta.

Vila di hutan lindung bukan hal baru sebenarnya. Pada 2002, Cahyo menyelidiki hal serupa. Tahun itu Jakarta juga direndam banjir besar. Investigasi Cahyo dan beberapa wartawan Tempo menunjukkan salah seorang pemilik vila tak lain tak bukan Gubernur Jakarta Sutiyoso. Vila Sutiyoso nangkring di Bukit Citamiang, yang menjadi hutan lindung tempat mata air Ciliwung.

Setelah beritanya dimuat Koran Tempo, Sutiyoso membongkar sendiri vila itu. "Setelah 'gubukku' runtuh, saya tak pernah ke daerah itu lagi," ujar Sutiyoso melalui pesan pendek, dua pekan lalu.

Perbedaan data 2002 dan 2007 yang diperoleh Cahyo adalah detailnya. Dua ratus lembar dokumen itu menunjukkan dengan jelas bangunan dan pemiliknya. Merasa mendapat "daging", istilah yang digunakan awak Tempo untuk bahan tulisan yang istimewa, Cahyo melaporkan temuannya dalam rapat tim investigasi dan meneruskannya dalam rapat redaksi tiap Senin pagi.

Rapat redaksi tentu saja bersukacita atas informasi itu. Tanpa banyak pertimbangan, rapat menugasi tim menelusuri data itu, memverifikasi, dan membuktikannya. Fokus liputan tetap sama: Bukit Citamiang.

Dalam rapat tim, Redaktur Pelaksana Investigasi Muhammad Taufiqurohman menuntut lebih jauh. Ia meminta para penulis dan reporter tak hanya membuktikan kepemilikan vila. Dia juga meminta penelusuran sampai pada asal-muasal tanah dan bangunan-bangunan itu. "Kalau cuma nama-nama jenderal, informasi itu tak baru. Tempo harus membuktikan lebih jauh," ujar MTQ (baca: Emteki)—panggilan Taufiqurohman sehari-hari di Tempo.

MTQ memasang target supertinggi. Jika tim gagal memenuhi permintaannya, liputan itu sampai kapan pun tak akan ditayangkan. Padahal, sewaktu rapat itu, anggota tim dan ia sendiri belum membayangkan kesulitan membuktikan nama-nama beken di balik vila-vila tersebut. Celakanya, dalam rapat checking, permintaan MTQ itu disetujui.

* * * *

BUKIT Citamiang berada tujuh kilometer dari Jalan Raya Puncak. Masuk ke sana bukan perkara mudah. Pintu masuk dan keluar cuma satu dan selalu ditutup portal dengan pos penjagaan yang dihuni tentara. Mengaku sebagai wartawan yang akan meliput kawasan itu sama saja bunuh diri. Selain akan ditolak, jika diizinkan pun jejak-jejak bukti para jenderal itu pasti akan ditutupi.

Cahyo berangkat ke Puncak bersama Ramidi, wartawan dengan tinggi badan 185 sentimeter dan bertampang mirip tentara—jika tak berbicara. Karena menimbang tak mungkin masuk ke Citamiang menunjukkan kartu pers, keduanya menyamar sebagai mahasiswa Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor yang sedang melakukan penelitian.

Skenario ini gagal. Ke mana pun keduanya pergi, tentara penjaga mengikuti mereka. "Kami tak bisa naik sampai ujung bukit," kata Cahyo.

Strategi berubah. Cahyo dan Ramidi naik ke bukit sebelahnya. Dari sana, mereka meneropong Citamiang. Karena tak mungkin liputan dilakukan sehari, keduanya menginap di WTS. Jangan ngeres dulu. WTS adalah singkatan untuk Wisma Tempo Sirnagalih. Di tempat ini pada 1997 lahir deklarasi Aliansi Jurnalis Independen. Saat Tempo dibredel pada 1994, vila di Megamendung itu satu-satunya aset yang tak dijual untuk pesangon karyawan.

Dari Sirnagalih, mereka mengamati kebiasaan penduduk yang hilir-mudik ke Citamiang. Dari situ, mereka menyimpulkan, masuk Citamiang paling mungkin pada pagi, bersama penduduk setempat yang bekerja di sana atau hendak mencari kayu bakar. Pada pagi, penjagaan juga lebih longgar.

Cahyo memutuskan kembali menyamar, tapi bukan sebagai mahasiswa. Ia mengontak fotografer Arif Fadillah dan Nickmatulhuda. Cahyo merencanakan membuat pemotretan pranikah di Citamiang dengan ia berperan sebagai pemandu, Arif sebagai pengantin pria, dan Nick sebagai pengantin perempuan. Arif dan Nick pun berangkat dari kantor Tempo di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, pada Senin, 7 Mei 2007.

Hari itu juga mereka naik ke Citamiang. Konsep pemotretan itu casual. Arif dan Nick memakai celana pendek dan sepatu olahraga. Dan strategi itu lumayan jitu. Penjaga mengizinkan mereka naik ke atas, ke vila-vila eksotik itu. "Tapi jangan lama-lama," ujar Arif, menirukan ucapan penjaga.

Waktu terbatas, mereka bergegas masuk kawasan vila. Tujuannya pasti: Vila Ragananda, yang menurut dokumen dimiliki Wiranto. Menurut penduduk setempat yang mereka jumpai di jalan, vila-vila lain juga dimiliki "pejabat-pejabat Jakarta".

Di depan Vila Ragananda, terparkir mobil Toyota Alphard silver bernomor B-512-UN. Dari perempuan penjaga vila, Cahyo mendapat keterangan bahwa mobil itu milik Rugaiya Usman, istri Wiranto. Rugaiya baru saja tiba di vilanya itu. Dengan memanfaatkan layanan pesan pendek nomor kendaraan, Cahyo mengecek ke layanan SMS Kepolisian Metro Jakarta. Pusat pesan itu mengabarkan nama yang sama dengan pengakuan penjaga tersebut!

Senyampang Cahyo sibuk mencocok-cocokkan data, Ramidi sibuk memotret Arif dan Nick. Jejaka dan gadis ini tampil meyakinkan sebagai sepasang calon pengantin. Nick bergelayut manja ke tangan Arif dengan pelbagai pose. Kadang-kadang mereka melakukan swafoto. "Motretnya sih ke arah vila," kata Nick, mengenang statusnya sebagai bekas calon pengantin dadakan.

Tak hanya di depan Ragananda, Arif dan Nick juga berpotret di banyak vila lain. Walhasil, misi berhasil: memotret vila dan mendapat keterangan nama pemiliknya dari orang-orang di sekitar. Yang harus dibuktikan kini foto pemiliknya di depan vila mereka, juga asal-usul mereka memiliki rumah-rumah peristirahatan ini.

* * * *

DARI sejumlah narasumber, Cahyo dan Ramidi mendapat nama para biong atau calo tanah yang membeli lahan milik petani dengan harga murah atau merebut tanah negara sebelum menjualnya kepada para pemilik vila dengan harga berlipat-lipat.

Tersebutlah nama Haji Teteng dan Elit Wijaya alias Abot. Abot tinggal di Kampung Ciburial. Tetangganya menyebut ia preman yang suka berkelahi. Cahyo dan Ramidi pun menyurvei rumahnya. "Dia sedang menuang minyak tanah ke jeriken. Mana ada preman menuang minyak tanah?" ucap Ramidi. Tak harus kembali lagi, mereka pun mewawancarai Abot. "Agaknya dia takut kepada Ramidi," kata Arif. Abot mengaku mengerjakan pembangunan vila milik Wiranto.

Tibalah kini konfirmasi kepada para pemilik vila. Kecuali Jenderal Djaja Suparman, para pejabat yang namanya tercantum di dokumen membenarkan memiliki vila di Citamiang. Abot mengaku tak semua pemilik vila mendapat tanah darinya atau Haji Teteng. Siapa yang memberi? MTQ menduga King Yuwono. Biasanya pengusaha mengobral tanah kepada para pejabat dan jenderal.

Masalahnya, tak ada yang punya nomor telepon dan alamat King. Ia pengusaha lama yang tak pernah memberikan wawancara kepada media. Ramidi membuka bundelan Yellow Pages, buku kuning yang memuat daftar telepon penduduk Jakarta.

Ada empat nama King Yuwono di sana. Ramidi akhirnya menemukan sosok yang paling mendekati profil King. Melalui pembantu rumah King, nomor telepon didapat. "Dia kaget sewaktu saya telepon. Tapi dia mau diwawancarai karena salut baru kali itu ada wartawan bisa menemukan dia." King membenarkan memberikan banyak vila kepada para pejabat.

* * * *

LIPUTAN siap diturunkan. Rapat checking meminta tim memotret vila dari udara, karena Cahyo dan Ramidi gagal mendeskripsikan isi vila lantaran bertembok tinggi. Fotografer Rully Kesuma lalu mengontak Gerhard Sitorus, pilot landasan udara Lido Resort. Mereka lama kenal karena Rully anggota perkumpulan gantole.

Di ketinggian 1.300 meter, Rully memotret vila-vila memakai kamera Canon 5D. Ia menembus langit Citamiang yang dibentengi kabel listrik jaringan tegangan tinggi. Rully memasukkan lokasi vila-vila itu ke peranti berbasis satelit (GPS). "Alhamdulillah, langitnya biru," ujar Rully.

Yosep Suprayogi, kini menjadi redaktur pelaksana di Tempo.co, meng-capture lokasi vila di Google Earth. Ada 300 frame yang disatukan menjadi gambar utuh. "Data itu disandingkan dengan batasan kawasan konservasi dari Dinas Kehutanan Bogor," katanya. "Terbukti sudah, vila-vila itu didirikan di kawasan hutan lindung."


Setelah Jenderal Menelepon Bupati

SEMUA terjadi sesuai dengan perkiraan Albert Pribadi setelah liputan Tempo tentang vila jenderal di Citamiang terbit pada 21 Mei 2007: dikejar-kejar wartawan. Wakil Bupati Bogor itu juga harus melayani banyak permintaan wawancara secara live di televisi. "Saya seperti selebritas," kata Albert pada Rabu dua pekan lalu.

Pada hari edisi itu terbit, telepon seluler Albert terus berdering. Dia pun menyuruh ajudannya menyimpan teleponnya agar bisa berkonsentrasi membaca tulisan di majalah Tempo itu hingga tuntas.

Setelah membacanya, Albert membatalkan semua jadwal dan langsung menemui Bupati Bogor Agus Utara Effendi. "Saya meminta izin memanggil dinas terkait kawasan Puncak, di antaranya Satuan Polisi Pamong Praja, Cipta Karya, dan Bagian Humas," tutur pria yang menduduki jabatannya hingga 2008 ini.

Sejak Agus tak berdaya karena sakit, Albert yang banyak menjalankan tugas sebagai orang nomor satu di Kabupaten Bogor. Dia memanggil sejumlah pejabat dinas lain di Bogor untuk menyiapkan langkah tindak lanjut penanganan vila dan mengantisipasi permintaan wawancara dari wartawan.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bogor turut angkat bicara. Ketua DPRD Kabupaten Bogor saat itu, Rachmat Yasin, menyatakan akan memanggil instansi pemerintah yang berhubungan dengan masalah vila liar tersebut. "Akan kami tanyakan soal konsistensi kebijakan pemerintah," kata Rachmat, yang setahun kemudian dilantik menjadi bupati dan kini mendekam di penjara akibat kasus suap pengurusan izin lahan hutan.

Menurut Rachmat, vila di hutan lindung bukan hal baru di Bogor. Penanganannya juga tak mudah. Ini terlihat dalam usaha mereka membongkar vila pada 2013.

Pada tahun itu, Pemerintah Kabupaten Bogor menetapkan 239 vila tanpa izin mendirikan bangunan akan dibongkar. Kepala Unit Pelaksana Teknis Tata Bangunan dan Permukiman Wilayah Ciawi, Riza Idris, mengatakan 86 di antaranya terletak di Desa Tugu Utara dan Tugu Selatan. Sedangkan 153 lainnya ada di lima desa, yaitu Megamendung, Sukagalih, Sukakarya, Pasirangin, dan Sukaresmi.

Dari ratusan vila itu, Polisi Pamong Praja hanya bisa membongkar 99 vila. Dan vila di Bukit Citamiang tak disentuh.

Riza tidak bisa menjawab kenapa vila di sana tidak dibongkar walaupun berdiri di lahan milik negara dan berada di atas kawasan resapan air. "Mungkin pemerintah daerah memperhitungkan hal lain sehingga tidak melakukan penertiban di sana," ujarnya ketika ditemui Senin dua pekan lalu.

Bahkan Riza mengatakan instansinya tidak memiliki data resmi luas lahan, jumlah pemilik, dan nama pemilik vila mewah yang bertengger di perbukitan bekas lahan perkebunan yang diambil alih negara itu. Mereka pun belum berencana mendata ulang bangunan di wilayah itu.

Dalam wawancara dengan Tempo pada 2013, Rachmat Yasin mengungkapkan apa yang diperhitungkan sebagai "hal lain" sehingga vila-vila di Citamiang tidak disentuh. "Misalnya pernah ada pejabat senior menelepon saya: 'Pak Bupati, vila itu milik saya, tolong jangan ditertibkan.' Saya bilang: 'Maaf, itu berada di area yang melanggar.' Terus ia bilang: 'Nanti saya urus agar tidak melanggar'," tutur Rachmat.

Rachmat mengatakan panggilan telepon semacam itu ia terima beberapa kali. "Saya yakin itu juga terjadi pada pejabat lain di sini," ujarnya. "Saya bisa saja memerintahkan Satuan Polisi Pamong Praja untuk merobohkan, tapi tidak mungkin mereka berani berjalan tanpa dukungan instansi lain."

Walhasil, lebih dari delapan tahun sejak ditulis, Citamiang tidak banyak berubah. Di jalan masuk portal masih ditutup. Untuk bisa masuk ke sana mesti memakai sepeda motor dan mengambil celah jalan kecil di samping pos agar bisa lolos dari palang yang merintangi jalan masuk ke wilayah yang terletak di Kampung Ciburial, Desa Tugu Utara, Bogor, itu.

Sewaktu pembongkaran vila pada 2013 itu, Wakil Bupati Bogor Karyawan Faturachman dengan gagah berjanji tidak akan membiarkan vila-vila di blok Citamiang berdiri tegak di lahan milik negara. Dia juga yakin para pemilik tidak akan mempermasalahkan jika vila-vila itu dibongkar. "Enggak jadi masalah, hanya tunggu giliran," katanya. Entah kapan.

Diantar seorang penduduk setempat, wartawan Tempo M. Sidik Permana masuk ke blok Citamiang. Dua belas vila milik mantan pejabat dan pengusaha yang ditulis dalam liputan itu masih berdiri. Bangunan-bangunan itu dirawat penduduk sekitar yang diberi kepercayaan oleh pemilik vila untuk menjaga tempat peristirahatan mereka. "Semuanya vila pribadi yang tidak disewakan sehingga tidak sembarang orang bisa masuk ke kompleks ini," ujar seorang perempuan penjaga vila.

Tidak tersentuhnya vila-vila di blok Citamiang inilah yang pada pembongkaran 2013 menjadi salah satu alasan perlawanan beberapa orang penjaga vila di kawasan Puncak. Salah satunya datang dari koordinator penjaga vila Desa Tugu Utara, Jajang Koeswara.

Menurut Jajang, pemerintah hanya membongkar vila biasa yang menjadi sumber mata pencarian warga Tugu Utara, tapi membiarkan vila milik jenderal dan pengusaha Jakarta. "Jangankan dibongkar, puluhan vila dan bangunan milik pejabat dan jenderal di Citamiang disegel pun tidak," katanya sebagaimana diberitakan Koran Tempo, Desember 2013.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus