Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTEMUAN itu berlangsung di kedai kopi Hotel Four Seasons Jakarta,Januari 2011. Seorang importir daging, sebut saja Ahmad Farhan, mengeluhkan soal tata niaga pengadaan daging di Kementerian Pertanian. Ia merasa diperlakukan tidak adil: jatah impor yang ia ajukan hanya sebagian kecil dikabulkan--padahal ia memenuhi semua persyaratan yang diminta, di antaranya tersedianya gudang penyimpanan dan jalur distribusi. "Oleh calo, saya diminta membayar untuk mendapat jatah impor lebih besar," katanya.
Redaktur Eksekutif Tempo Arif Zulkifli, kini Pemimpin Redaksi, mencatat keluhan Farhan. Di kantor, ia menyetorkan data kasar itu kepada Retno Sulistyowati, redaktur pada Kompartemen Ekonomi. Azul—demikian Arif biasa disapa—mencium ada cerita besar di balik keluhan Farhan: keterlibatan Partai Keadilan Sejahtera, partai yang kadernya memimpin Kementerian Pertanian.
Aturan kuota impor sebetulnya bertujuan mulia: melindungi peternak sapi lokal. Tapi aturan itu menerbitkan permainan jual-beli kuota impor. Berduet dengan Agoeng Wijaya, redaktur di kompartemen yang sama, Retno mengolah informasi tersebut. Dari satu sumber ke sumber yang lain, lahirlah laporan utama majalah Tempo, 20 Maret 2011, berjudul "Main Daging Pentolan PKS".
Salah satu importir yang menjadi sumber Tempo adalah Marina Ratna D. Kusumajati, pemilik PT Causa Prima,perusahaan importir daging, yang kini Direktur Utama PD Dharma Jaya—badan usaha di pemerintah DKI.Tempo juga menghubungi Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia Thomas Sembiring. Kini Thomas menduduki ketua umum asosiasi itu.
Dari Marina Ratna, duo Retno dan Agoeng bertemu dengan pejabat Kementerian Pertanian yang menunjukkan dokumen impor daging. Karena alasan keamanan, pejabat itu tak ingin identitasnya dibuka. Dalam tim Tempo, belakangan bergabung Akbar Tri Kurniawan, redaktur muda.
Ketika itu pemain utama impor daging adalah CV Sumber Laut Perkasa, dengan jatah impor 4.800 ton, dan PT Impexindo Pratama (4.250 ton). Kedua perusahaan itu milik Basuki Hariman.Rekam jejak Basuki di Kementerian Pertaniansalah satunya terendus pada 2004, ketika ia tersandung kasus pemalsuan barang. Daging asal India dikemas ulang, lantas dijual di dalam negeri sebagai daging Australia. Ketika itu impor daging hanya boleh dari Australia dan Selandia Baru.
Basuki menjadi Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia 2003-2008. Ia pemain lama impor daging. Berkongsi dengan adiknya, dia mengendalikan PT Impexindo Pratama, CV Sumber Laut Perkasa, PT Aman Abadi Nusa Makmur, dan PT Cahaya Sakti Utama. Empat perusahaan itu punya alamat sama: Kompleks Perkantoran Danau Sunter, Jakarta Utara. Kalangan importir daging menyatakan posisi Basuki aman karena dekat dengan Suripto, ketika itu anggota Majelis Syura PKS.
Basuki mengenal bekas anggota Badan Koordinasi Intelijen Negara—kini Badan Intelijen Negara—lantaran diperkenalkan oleh Tafakur Rozak Soedjo, yang ketika itu Direktur Pengelolaan Sumber Daya Alam Watch dan berkantor di Jalan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.Basuki membantah kabar bahwa ia punya lobi khusus di Kementerian Pertanian. Cerita miring mengenai kasus-kasus yang melibatkan perusahaannya, kata dia, hanya bualan kompetitor yang iri hati.
Basuki mengakukenal dengan Rozak dan Suripto, tapi menolak kedekatannya itu dikaitkan dengan jatah impor daging untuk perusahaannya. "Banyak yang kenal Pak Suripto di Kementerian Pertanian," ujar Basuki. Rozak dan Suripto menolak semua tudingan tentang permainan PKS di Kementerian Pertanian. "Saya tak kenal Basuki," kata Rozak.Suripto juga membantah ihwal ini. "Semua itu hanya kampanye dan propaganda hitam," ucapnya saat itu.
Setelah pemain impor daging ini ditulisTempo dalamdualaporan utama pada 2011, peta permainan impor dagingberubah.Pemain utama bergeser keIndoguna Utama milik Elizabeth Liman, yang mendapat jatah impor terbesar, yakni 3.000 ton. Seseorang yang menangani permainan daging ini menyebutkan berlimpahnya kuota Indoguna merupakan buah kedekatanElizabeth Liman denganLuthfi Hasan Ishaaq, ketika itu Presiden Partai Keadilan Sejahtera. Seorang pebisnis daging impor mengatakan Luthfi mulai cawe-cawe dalam urusan kuota di Kementerian Pertanian pada akhir 2012, menggantikan Suripto.
Luthfi menggandeng Ahmad Fathanah, teman satu sekolah ketika menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Gontor danKing Saud University, Riyadh, Arab Saudi. Pada Juli 2004, dua sekawan ini mendirikan PT Atlas Jaringan Satu, perusahaan yang bergerak di bidang pembangunan dan perdagangan. Indoguna menyediakan fee Rp 3.000 per kilogram buat keperluan ini. Ada pula janji menyetorkan Rp 40 miliar agar perusahaan itu memperoleh jatah kuota tambahan pada 2013 sebanyak 15 ribu ton.
Suswono, kader PKS yang saat itu Menteri Pertanian, membantah ikut menjadi bagian dari permainan daging ini. "Kami bekerja dengan profesional," ujarnya. Belakangan, pengadilan membuktikan Luthfi dan Ahmad Fathanah melakukan kejahatan suap dan pencucian uang.
Laporan "Main Daging Pentolan PKS" itu mendatangkan banyak reaksi. Salah satunya dari Yayasan Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU), lembaga yang terkait dengan PKS. Pos Keadilanmenilai, dalam pemberitaan tersebut, Tempomenggunakan data yang tidak valid. Selain jumlah impor yang tidak akurat, PKPU menilai Tempo mencampuradukkan impor daging komersial dan daging kurban bantuan luar negeri. Direktur PKPU Agung Notowiguno menyatakan lembaganya mengimpor 9,7 ton daging kurban, tapi Tempo menulis 9.759 ton. "Kami kan tidak berbisnis daging impor. Masak, impor kami sebesar itu?" katanya. Tempo berkeras mendapatkan data yang sahih. Persoalan ini dibawa ke Dewan Pers.
Lewat debat panjang,pada 18 April 2011 Tempo dan PKPU meneken kesepakatan damai. Tempodiwajibkan memuat hak jawab PKPU. Oleh Ombudsman Tempo—lembaga internal yang "mengadili" kasus pelanggaran etik—perkara ini juga disidangkan. Ombudsman mencecar Retno perihal sumber dan dokumen. Retno berkeras. Sidang Ombudsman yang dihadiri lima anggota menyatakan Retno tidak melanggar kode etik, dan tidak ada kesalahan data.
Alih-alih mereda, Retno dan kawan-kawan menyiapkan laporan kedua tentang perkara daging sapi impor. Isinya kurang-lebih sama dengan laporan pertama tapi dengan pemain yang berbeda. Laporan itu ditulis pada Mei 2011 dengan judul "Sekali Lagi,'Daging Berjanggut'". Pada liputan kedua ini, Tempo tak mendapat protes yang berarti.
Lalu senyap. Keributan itu untuk sementara mereda. Redaksi Tempo sibuk dengan sejumlah liputan lain.
Kemudian datanglah berita menggemparkan itu: Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap tangan Ahmad Fathanah. Belakangan, Luthfi sendiri juga dicokok. Telepon di kantor Tempo berdering-dering. Sejumlah orang bertanya apakah penangkapan itu ada kaitannya dengan liputan Tempo tentang impor daging sapi. Awak redaksi mengangkat bahu.
Luthfi dan Fathanah dituding menerima suap dari PT Indoguna Utama dengan motif yang persis sama dengan investigasi yang ditulis Tempo: penggelembungan kuota impor. Mahkamah Agung memvonis Luthfi 18 tahun penjara. Adapun Fathanah diterungku 16 tahun.Maria Elizabeth Liman, Direktur PT Indoguna Utama, dihukum dua tahun tiga bulan. Luthfi kini menghuni penjara Sukamiskin, Bandung."Di sini lebih enak, lebih adem," kata Lutfhi di penjara.
LIPUTAN tentang pengusutan KPK terhadap Luthfi dan Fathanah membawa Tempo pada sumber lain, sebut saja namanya Anton Sujasmin. Lewatpesan pendek, kepada wartawan Tempo Arif Zulkifli, Anton mengirim sebuah gambar: resi pengiriman uang Rp 50 juta melalui Bank BCA. Penerimanya Ahmad Fathanah. Pengirimnya tak jelas: hanya tertera nomor rekening pada kertas itu. Arif mengecek pemilik rekening itu lewat anjungan tunai mandiri Bank BCA. Seolah-olah hendak mentransfer uang, terteralah nama asing pemilik rekening itu: Yudi Setiawan.
Dari Anton Sujasmin, Tempo mendapat nomor telepon Yudi. Arif mengontaknya via telepon seluler. Yudi menjawab dengan logat kental Surabaya dengan kalimat yang tak terstruktur—sebentar memaki, sebentar mengeluh. Ia menyebut dirinya sering berhubungan dengan Luthfi dan Fathanah untuk pelbagai urusan patgulipat. "Saya sering ketemu mereka. Semuanya brengsek!" katanya misuh-misuh. Yudi menyebut punya banyak bukti kejahatan Fathanah dan Luthfi.
Panas telinga karena dua jam penuh mendengarkan omelan Yudi, Arif tidak tahan.
"Kita harus ketemu," kata Arif.
"Boleh. Anda datang saja ke sini."
"Anda di mana?"
"Saya di Lembaga Pemasyarakatan Teluk Dalam, Banjarmasin."
"Anda dipenjara? Bagaimana ceritanya Anda masuk bui?"
Yudi kembali merepet tentang kasusnya, diselang-selingi kata "asu", umpatan khas Jawa Timur. Arif memutuskan percakapan. "Oke, minggu depan saya ke sana."
Bersama Setri Yasra, redaktur Kompartemen Nasional, Arif bertolak ke Teluk Dalam. Di penjara, keduanya menemukan Yudi sebagai pemuda Tionghoa yang gugup, tak nyaman dengan lingkungansekeliling, tapi berkuasa di rumah tahanan. Ia leluasa memiliki telepon seluler dan pelbagai gawai elektronik. Ia bisa memperpanjang waktu kunjungan tamu.
Yudi ditahan karena tersangkut perkara korupsi pengadaan alat pendidikan di Kalimantan Selatan. Selain itu, ia terlibat dalam pembobolan Bank Jatim. Ia pernah pula ditangkap polisi karena kasus narkotik. Kepada Arif dan Setri, Yudi berjanji menyerahkan semua dokumen yang menerangkan perilaku buruk Luthfi dan Fathanah. Belakangan, ia bahkan membuka akun khusus Dropbox agar kedua wartawan ini mudah mengakses dokumen lewat jalur Internet. Dokumen pertama yang diungkap Tempo kepada publik adalah secarik foto yang memperlihatkan Yudi, Luthfi, dan Fathanah sedang menggelar rapat. Ketika itu, 12 Juli 2012, sekitar pukul 13.00, Luthfi dan Fathanah bertamu ke kantor Yudi di Jalan Cipaku I Nomor 14, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. "Itu pertemuan kedua saya dengan Ustad," kata Yudi menyebut Luthfi.
Yudi mengaku kerap memberikan uang kepada petinggi PKS lewat Fathanah. Pada 7 Juli 2012, Fathanah, yang mengaku diperintah Luthfi, meminta tunai Rp 250 juta. Luthfi juga pernah meminta Rp 1,45 miliar untuk keperluan partai. Sebagian besar uang diterima Fathanah, tapi ada juga yang diberikan ketika ia bersama Luthfi. Yudi juga mengaku beberapa kali menyerahkan uang lewat Fathanah untuk Anis Matta, ketika itu sekretaris jenderal, atas persetujuan Luthfi. Dalam catatan keuangan Yudi yang salinannya diperoleh Tempo, tertulis sembilan kali penyerahan uang untuk Anis, yang totalnya berjumlah Rp 7,077 miliar. Fathanah menolak tuduhan pernah menerima uang dari Yudi. "Dia mengklaim ini dan itu. Semua tidak benar. Saya ditelikung," katanya ketika itu.
Anis Matta membantah informasi bahwa dia kenal dengan Yudi. Anis juga menyangkal pernah bekerja sama dengan Yudi untuk menggarap proyek yang berujung pada pemberian uang. Anis menyatakan baru tahu Yudi ketika muncul di media. "KPK juga tidak pernah menanyakan ketika saya diperiksa untuk penyusunan berita acara pemeriksaan," ujar Anis.
Pada akhir pertemuan dengan Tempo, Yudi membuka rahasia mengapa ia mempercayakan segepok dokumen penting kepada kedua wartawan. "Saya tak percaya kepada polisi dan jaksa. Tolong, pertemukan saya dengan KPK," katanya. Yudi ingin menjadi justice collaborator.
Arif dan Setri saling pandang. "Oke, saya penuhi. Tapi dengan satu syarat: informasi yang Anda berikan ke KPK adalah yang juga Anda bagikan kepada kami," ujar Arif. Kedua wartawan ini tak ingin ditinggal di belakang setelah Yudi dan KPK berbagi informasi. Yudi setuju.
Arif lalu menghubungi KPK.Komisi antirasuah ini kemudian mengirim dua penyidiknya ke LP Teluk Dalam. Setri mendampingi. Setelah pertemuan itu, KPK bergerak sendiri. Komunikasi Tempo dengan Yudi pun tak berhenti. Ketika dihubungi, penyidik senior KPK, Novel Baswedan, membenarkan kontak lembaganya dengan wartawan Tempo. Namun ia lupa persisnya. "Laporan ini kemudian ditangani penyidik lain," katanya. Yudi tercatat beberapa kali dibawa ke Jakarta untuk diperiksa. Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas ketika itu menyebut penyidik mengembangkan setiap informasi yang terkait dengan pengusutan kasus pencucian uang yang melibatkan Luthfi dan Fathanah.
Yudi, yang kini mendekam di penjara Medaeng, Surabaya, tak bisa dihubungi untuk menjelaskan kembali kisah lima tahun lalu itu. Pengacara Yudi, George Handiwiyanto, mengatakan tak tahu-menahu perihal kerja sama Tempo dan kliennya.
Fakta terpenting yang diungkap Yudi adalah soal rapat internal yang mencatat rencana petinggi PKS menggarap sejumlah proyek di tiga kementerian yang dipimpin kader partai itu: Kementerian Pertanian, Kementerian Sosial, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika. Dalam sebuah rapat yang dicatat lewat papan elektronik, terungkap bahwa jumlah proyek itu mencapai Rp 2 triliun. Sebagian besar uang itu disiapkan untuk biaya Pemilihan Umum 2014.Pada kolom paling atas tertulis PKS dan angka Rp 2 triliun. Di sebelahnya ada nama Luthfi dan Hilmi Aminuddin, ketika itu Ketua Dewan Syura PKS. Berikutnya, pada tiga kolom tertulis masing-masing Kementerian Komunikasi dan Informatika Rp 0,5 triliun, Kementerian Pertanian Rp 1 triliun, serta Kementerian Sosial Rp 0,5 triliun.
Pada bagian lain terdapat tulisan delapan arahan Luthfi dalam merealisasi pencairan dana partai tersebut. Di antaranya mekanisme penyaluran infak harus jelas. Semua proyek juga harus aman, khususnya yang terkait dengan kuasa pengguna anggaran. Yudi tercatat menggarap proyek pengadaan benih kopi dan teh senilai Rp 189 miliar serta alat laboratorium pertanian Rp 100 miliar. Notulensi rapat itu dimuat Tempo dalam laporan utama bertajuk "Selingkuh Fathanah dan Partai Dakwah", yang terbit pada Mei 2013.
Luthfi menolak tudingan menerima uang dari Yudi. "Saya tidak tahu-menahu uang itu," kata Luthfi. Juru bicara PKS, Mardani Ali Sera, membantah ada target pengumpulan dana Rp 2 triliun untuk Pemilu 2014. Menurut Mardani, tidak pernah ada rapat yang membahas soal keuangan partai dengan cara menargetkan kementerian yang menterinya dari PKS. Selain itu, Mardani memastikan kebutuhan partaitidak sebesar itu. "Keuangan PKS legal dan diaudit," kata Mardani.
Berasal dari sumber yang sama, isi laporan utama itu tak banyak berbeda dengan materi tuntutan KPK terhadap Fathanah dan Luthfi di pengadilan beberapa pekan kemudian. Itu sebabnya, terhadap laporan itu, seorang penegak hukum di KPK sempat mengeluh, "Kalau materi tuntutan dibocorkan, kami bisa repot."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo