Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Suap di Balik Resep Obat

"KEINTIMAN" dokter dengan perusahaan obat di negeri ini selama puluhan tahun hanya menjadi cerita dari mulut ke mulut. Sangat sulit dibuktikan. Itu sebabnya investigasi Tempo yang terbit pada edisi 2-8 November 2015 segera menjadi buah bibir.

Laporan berjudul "Jejak Suap Resep Obat" itu mengungkap praktek suap dan gratifikasi yang melibatkan dokter dan PT Interbat, perusahaan obat di Jawa Timur.

Tim investigasi Tempo mendapatkan puluhan kuitansi dan belasan file berisi 2.125 nama dokter yang diduga terlibat kongkalikong dengan PT Interbat. Mereka umumnya dokter spesialis yang berpraktek di DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan.

Para dokter itu tercatat mendapat servis berupa pulsa telepon, biaya wirid bersama anak yatim piatu, kredit mobil mewah, setoran miliaran rupiah, hingga urusan syahwat. Sebagai imbalan, mereka meresepkan obat-obat produksi PT Interbat.

Komunitas dokter di media sosial gaduh. Komisi Pemberantasan Korupsi mengeluarkan fatwa bahwa servis perusahaan obat kepada dokter merupakan gratifikasi. Dan, awal bulan lalu, Kementerian Kesehatan membuat kebijakan baru yang memperketat mekanisme distribusi obat. Di antaranya, dokter negeri dan swasta tak boleh lagi menerima hadiah dari perusahaan farmasi.

7 Maret 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perdebatan di milis terbatas itu berlangsung sengit. Kepala superdesk Tempo Wahyu Dhyatmika atau yang akrab disapa Komang berkali-kali angkat bicara. Ia berkeras agar 2.125 nama dokter dalam file dan kuitansi yang diperoleh tim Investigasi Tempo bisa dipublikasikan. "Info ini harus bisa diakses publik. Jangan cuma disimpan di laci," katanya di milis itu, awal Oktober tahun lalu.

Ia berkaca pada situs Pro Publica, yang menerbitkan artikel "Dollars for Docs" pada 1 Juli 2015. Situs itu menampilkan sekitar 600 ribu nama dokter yang menerima uang dari perusahaan farmasi di Amerika Serikat. Redaktur Kompartemen Investigasi Mustafa Silalahi alias Moses balik mempertanyakan cara mengkonfirmasi semua nama itu agar liputannya sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik. "Butuh waktu sangat panjang untuk menemui mereka satu per satu," ujar Moses. Redaktur Pelaksana Kompartemen Investigasi Philipus Parera menengahi dengan berjanji membawa polemik itu ke Dewan Eksekutif Tempo. Dewan ini terdiri atas para pemimpin redaksi dan redaktur eksekutif media di grup Tempo.

Investigasi kongkalikong antara perusahaan obat dan para dokter atau rumah sakit ini bermula dari sebuah pertemuan pada pertengahan September 2015. Ketika itu tim Investigasi Tempo bertemu dengan seorang praktisi di dunia farmasi di salah satu acara di Jakarta Selatan. Diawali dengan basa-basi, obrolan beranjak ke persoalan kelamnya bisnis farmasi di Tanah Air. Ia bercerita modus dan uang suap dari perusahaan farmasi kepada para dokter nilainya semakin menggila sehingga membuat harga obat meroket.

Persekongkolan antara perusahaan farmasi dan para dokter adalah cerita lama tapi tak pernah tuntas dibuktikan. Si praktisi berjanji memberikan sejumlah dokumen kecurangan PT Interbat, salah satu perusahaan farmasi terkemuka di Tanah Air. Ia meminta pertemuan itu di tempat tertutup. "Dia juga minta identitasnya dirahasiakan demi keamanannya," ujar Moses. Philipus menunjuk Moses menjadi kepala proyek investigasi suap obat itu.

Pada pekan berikutnya, si pembocor membawa map cokelat yang disembunyikan di dalam kantong plastik hitam. Redaktur Investigasi lainnya, Stefanus Pramono dan Rusman Paraqbueq, turut menghadiri pertemuan pada Kamis sore itu. Skenario yang mereka bangun saat pertemuan itu adalah mengorek kepentingan si pembocor di balik "kemurahan hati"-nya.

Saat map berpindah tangan, Pram dan Rusman mulai mencecarnya. Ia mengaku gemas terhadap ulah perusahaan farmasi yang sewenang-wenang menetapkan harga obat yang ongkos pembuatannya sebenarnya sangat murah. "Kami harus tahu sejauh mana informasinya bisa dipercaya," kata Pram, Senin pekan lalu.

Map itu ternyata berisi puluhan kuitansi pemberian uang bernilai ratusan ribu hingga ratusan juta rupiah dari PT Interbat kepada para dokter. Si pembocor berkeras tak mau memberi tahu asal-muasal dokumen. Pram menduga alotnya lobi itu karena si pembocor mulai jengkel setelah menahan haus dan lapar.

Moses dan Pram memang sengaja belum memesan makanan dan minuman untuk menghormati Rusman yang saat itu sedang berpuasa. Setelah dicoba diyakinkan atas nama pertanggungjawaban hukum Tempo kepada publik, akhirnya si pembocor luluh. Ia hanya meminta Tempo merahasiakan bagaimana cara dokumen itu ia miliki.

Selepas magrib, ia panjang-lebar menjelaskan cara membaca kuitansi yang penuh dengan kode itu sambil menyantap potongan pizza dan minuman bersoda. Secara eksplisit memang tidak akan ditemukan nominal uang di dalam kuitansi itu. Pemberian uang sebesar Rp 50 juta akan ditulis Rp 50.000 di sebelah tulisan "Psn". Biasanya jumlah yang akan diberikan adalah 30 persen dari jumlah total belanja obat yang diresepkan si dokter. "Hanya orang dari Interbat dan koleganya yang mengerti cara membaca kuitansi itu," ucap Rusman.

Bak bermain bridge, si pembocor masih menyimpan kartu truf. Kartu itu ia utarakan pada akhir pertemuan. "Dia punya 33 file berisi ribuan nama dokter yang menerima suap dari Interbat," kata Moses. Mereka bertiga terperanjat tapi berpura-pura tetap tenang. Mereka tak ingin terlihat bernafsu dengan data itu. Belakangan, seluruh file itu diketahui berisi 2.125 nama, lengkap dengan jumlah uang dan barang apa yang diterima si dokter.

Sejak awal si pembocor sudah memberikan isyarat tak mau memberikan file itu dengan gratis. Meski tak menyebut harga, secara terbuka ia meminta Tempo memberinya uang jika menginginkan file itu. Ketiganya menolak permintaan tersebut mentah-mentah karena Kode Etik Jurnalistik tidak mengizinkan praktek semacam itu. Tempo atau wartawan Tempo dilarang keras membeli informasi untuk liputan.

Seusai pertemuan itu, Moses tetap intens berkomunikasi dengan si pembocor. Ia terus mendekati si pembocor dengan membicarakan apa saja, baik lewat telepon maupun bertukar pesan di BlackBerry Messenger. Temanya beragam, dari obrolan tentang santet, kiamat, hingga soal keluarga. Moses bersama timnya bahkan mentraktir si pembocor makan bersama keluarganya. "Kami ingin menunjukkan bahwa kami memiliki niat baik terhadap informasi itu," ujar Moses. Si pembocor akhirnya luluh atas nama semangat antikorupsi. Di satu kafe yang sepi di Jakarta Timur, ia menyerahkan file itu secara cuma-cuma.

* * * *

Akhirnya Ahmad Fanani keluar dari ruang prakteknya di Rumah Sakit Sukmul Sisma Medika, Koja, Jakarta Utara. Pertengahan Oktober tahun lalu, dokter spesialis bedah bergaya parlente itu sudah tiga jam ditunggu belasan medical representative—biasa disingkat medrep. Melebur di antara mereka, tiga wartawan Investigasi Tempo ikut menyaru sebagai medrep yang umumnya berpakaian rapi dan mencangklong tas ransel.

Setelah semua medrep selesai bertemu dengan Fanani, Moses maju memperkenalkan diri sebagai wartawan Tempo. Di salah satu kuitansi bertanggal 25 November 2014, Fanani disebutkan menerima Rp 60 juta dari Interbat. Berstempel namanya dan ditandatangani. Moses menanyakan apakah ia memang menerima uang itu. Wajah Fanani berubah masam. "Wah, saya sibuk ya," ujar Moses menirukan Fanani. Ia berbalik, lalu pergi menuju ruang operasi.

Fanani tercatat salah satu dokter negara di Rumah Sakit Umum Daerah Koja, Jakarta Utara. Ia seharusnya mengharamkan gratifikasi karena terikat pada Peraturan Kementerian Kesehatan Nomor 14 Tahun 2014 tentang Gratifikasi dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Aturan itu mengharuskan dokter melaporkan pemberian uang atau barang yang bernilai lebih dari Rp 500 ribu.

Dari 2.125 nama, Rusman ditugasi mencari dokter yang paling banyak menerima uang di kuitansi dalam database itu. Ia memilih 12 nama dokter negeri dan partikelir di Jakarta, Bekasi, Tangerang, Jember, dan Makassar untuk dikonfirmasi. Itu sebabnya proyek investigasi ini adalah liputan yang paling banyak melibatkan koresponden Tempo di daerah, yakni delapan orang. Mereka juga dikerahkan untuk mengorek pengakuan para medrep di daerah masing-masing yang bekerja di berbagai perusahaan farmasi.

Meski nama mereka rata-rata bisa ditemukan di Internet, sulit memastikan jadwal praktek mereka. Koresponden Tempo di Surabaya, Artika Rachmi Farmita, pertengahan Oktober tahun lalu nekat mengecoh petugas keamanan di salah satu rumah sakit swasta untuk menemui Sukendro Sendjaja karena tak mengetahui jadwal prakteknya. Setelah bertemu, Artika membuka obrolan tentang penyakit dalam. Pada pertanyaan pamungkas, yakni soal pemberian Rp 60 juta pada 15 Januari 2015 dari Interbat, suara Sukendro mendadak serak. Ia sempat membantah, tapi akhirnya mengaku. "Uang itu katanya sudah dikembalikan ke Interbat," ujar Artika.

Adapun reporter Tempo Avit Hidayat pagi-pagi sekali harus mencegat Tjien Ronny, dokter spesialis obstetri dan ginekologi yang tiap tahun menerima Rp 1 miliar dari Interbat. Ia berpraktek di salah satu rumah sakit megah di Kamal Muara, Jakarta Utara. Saat bertemu, Ronny memarahi Avit karena dianggap lancang pagi-pagi bertemu tanpa janji. Sambil bersalaman, ia menuntun Avit ke luar ruangan. Ronny lalu mencuci tangan di wastafel. "Baru kali ini saya mandi pagi-pagi benar," ujar Avit sambil terkekeh.

* * * *

Tim Investigasi Tempo bersepakat membatasi penyebaran bundelan kuitansi dan file itu hanya di kalangan terbatas. Koresponden Tempo di daerah pun hanya dibekali potongan foto kuitansi, bukan foto utuh apalagi fotokopi.

Pembatasan itu dilakukan agar liputan suap obat ini tetap eksklusif. Termasuk menyimpan rapat-rapat identitas si pembocor yang hingga kini hanya diketahui tim Investigasi Tempo, yang cuma berjumlah empat orang. "Kami yakin, sejak awal liputan ini akan menghebohkan publik karena mahalnya harga obat sangat dirasakan semua pihak," kata Moses.

Setiap kali bertemu dan mewawancarai narasumber, tim Investigasi tidak memberitahukan ke narasumber lain bahwa sudah mengantongi bukti suap itu. Jika bocor, penelusuran tim Investigasi bisa tersendat karena selama ini para pelaku yakin betul kejahatannya tidak berjejak. "Karena ini bukti terkuat adanya gratifikasi setelah puluhan tahun hanya bisa menuduh," ujar Philipus.

Hingga kini pun Interbat merasa tak bersalah. PT Interbat melaporkan Tempo ke Dewan Pers pada Desember tahun lalu. Mereka berkukuh menyebutkan file yang berisi database nama dokter yang dimiliki Tempo bukan milik Interbat. Dewan Pers pada akhirnya memutuskan laporan Tempo tentang suap PT Interbat dengan judul "Jejak Suap Resep Obat" pada 2 November 2015 sudah sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik.

Moses dkk sejak awal liputan sebenarnya sudah mengantisipasi bantahan itu. Mereka memperoleh tiga bukti pendukung dari seorang mantan karyawan Interbat. Pertama, video tutorial cara membaca kuitansi yang penuh kode itu. Kedua, teknik mengisi database yang berisi ribuan nama dokter. Terakhir, segepok materi pelatihan bagi medrep PT Interbat yang mengajarkan bagaimana teknik mendekati dan menyuap para dokter.

Pekerjaan rumah yang tersisa, kata Moses, adalah bagaimana "menghidupkan" ribuan nama dokter di file itu, seperti yang diusulkan Komang. Di satu rapat redaksi, disepakati data itu akan ditindaklanjuti. "Kami sedang mencari cara agar nama-nama dokter itu bisa dipublikasikan," tutur Moses. Si pembocor mengingatkan, dari 2.000-an dokter itu, ada figur penting dan punya pengaruh besar. Tim Investigasi Tempo akan terus menelusuri nama-nama tersebut.


Berujung Peraturan Menteri

Kementerian Kesehatan dan KPK sepakat menghentikan suap dan gratifikasi dokter. Regulasi baru sedang digodok.

EMPAT hari setelah laporan investigasi bertajuk "Jejak Suap Resep Obat" terbit, Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek menyambangi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi di Jalan Rasuna Said, Jakarta. Sebelumnya, ada kabar bahwa pada Jumat, 6 November 2015, itu dia akan berkunjung. Tapi wartawan yang berkerumun menanti di depan kantor KPK—termasuk reporter Tempo Linda Trianita dan Friski Riana—tak melihatnya datang.

"Tiba-tiba saja, sekitar pukul lima sore, mereka keluar. Nila didampingi Wakil Ketua KPK Johan Budi dan Ketua Ikatan Dokter Indonesia Zaenal Abidin," kata Friski.

Dikerubungi wartawan, Nila tak bisa mengelak. "Saya ingin penjelasan dari KPK apa itu grafitikasi, sampai batas mana," ujarnya. Investigasi Tempo yang memaparkan dugaan suap oleh perusahaan farmasi di Jawa Timur, PT Interbat, kepada dokter-dokter membuat Nila tak tenang. Dia dan Zainal datang untuk berkonsultasi dengan KPK mengenai batas-batas gratifikasi bagi dokter.

Johan Budi menambahkan, KPK dan Kementerian Kesehatan sepakat merumuskan aturan yang lebih jelas dan tegas mengenai praktek gratifikasi yang melibatkan dokter. "KPK juga sedang membuat kajian tentang pemakaian obat di rumah sakit dan klinik terkait dengan profesi dokter," katanya.

Bukan cuma Nila yang tersentak oleh berita gratifikasi dokter. Selama sepekan sejak investigasi tersebut terbit, isu suap dokter menjadi bahan perbincangan di forum diskusi dan media sosial. Penjualan majalah Tempo pekan itu pun meningkat. "Majalah dicetak 120 ribu eksemplar. Edisi ini laku hingga 95 persen," kata Manajer Sirkulasi PT Tempo Inti Media Yefri Hasan Bisri. Normalnya, tingkat laku sekitar 80 persen.

Tapi tidak semua bereaksi positif. Banyak pula dokter yang marah-marah, menuding laporan Tempo menyamaratakan semua dokter.

Protes juga datang dari Robby Tandiari, Direktur Utama PT Kosala Agung Metropolitan—perusahaan pemilik Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre (MMC). Mengutip catatan keuangan yang diduga milik Interbat, laporan di majalah menyebutkan ada pemberian uang kepada MMC melalui rekening Robby pada 2013. Pembayaran tersebut diklaim sebagai diskon atas obat-obatan Interbat yang akan dijual MMC setahun ke depan.

Robby membantah tudingan bahwa uang dari Interbat masuk ke rekeningnya. "Itu transfer ke rekening perusahaan, bukan ke rekening pribadi," katanya.

Hak Jawab Robby dimuat sepekan kemudian.

Desember tahun lalu, giliran Interbat yang mengadukan Tempo ke Dewan Pers. "Pihak Interbat menyatakan tidak pernah menggunakan file berformat Excel, seperti tertulis dalam berita investigasi Tempo," kata anggota Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo.

Mediasi berlangsung dua kali di Kantor Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta. Mulanya pertemuan kedua direncanakan pada siang 14 Januari lalu, tapi batal lantaran aksi terorisme di Jalan Thamrin yang cuma seratusan meter dari kantor Dewan Pers. Mustafa Silalahi—pemimpin proyek investigasi kasus suap obat—yang sudah telanjur tiba untuk mediasi, buru-buru pergi lagi untuk melakukan liputan.

Baru dua minggu kemudian mediasi kedua terlaksana. Tempo dan Interbat sepakat menyudahi sengketa. Perusahaan farmasi asal Surabaya itu tetap pada keyakinannya bahwa data dalam laporan investigasi bukan milik mereka. Alasannya, mereka tidak pernah menyimpan data dalam format Excel.

Tiga bulan lewat, pekan pertama Februari lalu, isu suap dokter kembali menjadi pembicaraan. Gara-garanya, Inspektur Jenderal Kementerian Kesehatan Purwadi datang ke KPK melaporkan fenomena sponsorship dalam profesi kedokteran.

Dalam dunia medis memang ada kebiasaan perusahaan farmasi membantu dokter meningkatkan keahliannya melalui pendidikan dan seminar. Dana sponsorship dari perusahaan farmasi antara lain digunakan untuk ongkos perjalanan dokter ke tempat seminar dan akomodasi. Biasanya langsung ditransfer ke rekening dokter.

Soalnya ada nota kesepahaman antara Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia dan Ikatan Dokter Indonesia yang membolehkan perusahaan farmasi memberikan bantuan langsung kepada dokter. "Padahal sangat mungkin ada tujuan lain dari si pemberi dana," ujar Purwadi.

Setelah bertemu dengan KPK, Purwadi mengatakan Kementerian Kesehatan akan mengeluarkan aturan yang mewajibkan semua dana pendidikan dari perusahaan farmasi disalurkan lewat lembaga profesi. Dengan demikian ada yang menengahi transaksi antara perusahaan obat dan dokter.

Menurut dia, setelah peraturan ini terbit, tidak boleh lagi ada transaksi langsung antara dokter dan perusahaan obat. "Sekarang drafnya sedang dibahas Biro Hukum Kementerian," ucapnya.

Rencana Kementerian Kesehatan ini mendapat dukungan penuh KPK. "Dana dari perusahaan farmasi untuk dokter dikhawatirkan termasuk perilaku gratifikasi karena ada potensi konflik kepentingan," kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan. Dia menyarankan dokter melaporkan setiap bantuan dana yang diterima kepada KPK.

Selain membahas soal gratifikasi, Pahala mengatakan mereka membicarakan harga obat. Laporan investigasi Tempo yang mengutip Iwan Dwiprahasto, dokter dan guru besar farmakologi Universitas Gadjah Mada, menyatakan dana yang dipakai perusahaan untuk menyervis dokter bisa mencapai 45 persen harga obat.

"Obat jadi mahal karena harus membiayai dokter jalan-jalan ke luar negeri, main golf, atau beli mobil," ujar Iwan, yang juga Ketua Komite Nasional Penyusunan Formularium Nasional—lembaga penyusun daftar obat untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan.

Pahala mengatakan KPK dan Kementerian Kesehatan akan berusaha mencari cara mengendalikan harga obat dan ongkos perawatan kesehatan secara keseluruhan.

Dalam kajian KPK, biaya kesehatan mahal bukan semata lantaran harga obat yang tinggi. Klaim obat generik ternyata hanya lima persen dari total biaya berobat, sangat kecil dibanding biaya penggunaan alat kesehatan, fee dokter, dan ongkos kamar.

"KPK telah membahas program yang kira-kira bisa dipakai Kementerian Kesehatan untuk menekan biaya berobat," kata Pahala. Dia menegaskan, KPK akan terus mengawal proses penyusunan peraturan Menteri Kesehatan mengenai obat dan biaya pelayanan kesehatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus