Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Megakorupsi Simulator Kemudi

Inspektur Jenderal Djoko Susilo menjadi jenderal aktif pertama yang dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi. Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI itu terlibat kasus megakorupsi pengadaan simulator kemudi yang merugikan negara sekitar Rp 121 miliar.

Skandal ini terkuak ketika para penggarap proyek simulator pecah kongsi. Semula, pada 2010, proyek digarap PT Citra Mandiri Metalindo Abadi, perusahaan milik Budi Susanto. Budi, yang biasa dipanggil "Ndoro" oleh Djoko, lalu menyerahkan pengerjaan simulator kepada Soekotjo S. Bambang, pemilik PT Inovasi Teknologi Indonesia.

Awalnya perkongsian Budi-Soekotjo berlangsung mulus. Pada 2011, Soekotjo kembali ketiban rezeki nomplok menggarap proyek dengan nilai fantastis: Rp 198,6 miliar. Uang proyek pun menciprat ke mana-mana, terutama ke petinggi Korps Lalu Lintas.

Proyek belum rampung, kerja sama Budi-Soekotjo bubar jalan. Budi melaporkan Soekotjo ke polisi dengan tuduhan penggelapan dan penipuan. Soekotjo berang. Ia menyebarkan dokumen pengadaan, juga bukti suap, ke sejumlah pihak.

Lewat perantara, Soekotjo juga mengirim dokumen serupa ke Tempo. Setelah melakukan penelisikan panjang, Tempo menurunkan tiga laporan utama menyingkap perkara ini.

Inspektur Jenderal Djoko Susilo dan wakilnya, Brigadir Jenderal Didik Purnomo, akhirnya divonis bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Namun, selama pengusutan perkara ini, hubungan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Polri panas-dingin. Novel Baswedan, penyidik senior KPK yang memimpin penggeledahan kantor Korps Lalu Lintas, terjepit di tengah gesekan kedua lembaga.

7 Maret 2016 | 00.00 WIB

Megakorupsi Simulator Kemudi
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Wahyu Muryadi mengernyitkan dahi sebelum menekan tombol terima pada telepon selulernya. Waktu itu, awal 2012, panggilan dari nomor tak dikenal muncul di layar ponsel pintar Wahyu. Di seberang, seorang pria memperkenalkan diri sebagai pengacara. "Ada data menarik soal korupsi di kepolisian. Nilainya ratusan miliar," kata si penelepon, seperti ditirukan Wahyu, mantan Pemimpin Redaksi Tempo, akhir Februari lalu.

Informasi model begini lumrah datang ke jurnalis Tempo. Ada orang mengaku memiliki data korupsi instansi tertentu tapi tak tahu harus berbuat apa. Tak mau bingung sendiri, beberapa orang seperti itu menghibahkan dokumen ke Tempo.

Wahyu meminta sang penelepon membawa dokumen ke kantor Tempo, yang ketika itu masih di Velbak, Kebayoran Lama. Tapi pria itu malah meminta Wahyu mendatangi kantor sebuah stasiun televisi di Sudirman Central Business District, Jakarta Selatan. Di sana dia menyerahkan dokumen, disaksikan seorang wartawan televisi yang telah dikenal Wahyu.

Dokumen itu memaparkan kronologi dugaan korupsi pengadaan simulator ujian surat izin mengemudi di Korps Lalu Lintas Polri. Dokumen juga merinci pengeluaran uang suap, lengkap dengan bukti transfernya. Sejumlah perwira polisi disebut terlibat.

Kendala muncul ketika Tempo hendak memverifikasi dokumen tersebut. Si pengantar meminta uang Rp 100 juta agar Tempo bisa dipertemukan dengan pemilik dokumen. Wahyu menolak. Tempo melarang jurnalisnya memperoleh informasi dengan menyogok. Tak menyerah, si perantara menurunkan "tarif" jadi Rp 20 juta. Lagi-lagi Tempo menampik.

Dokumen mengendap beberapa saat di meja redaksi. Titik terang muncul ketika pengacara Erick S. Paat menghubungi jurnalis Tempo, Maria Rita Hasugian. Erick adalah kuasa hukum Soekotjo S. Bambang, saksi kunci korupsi simulator kemudi. Erick pun memberikan segepok dokumen seperti yang diperoleh Tempo sebelumnya. Info dari Erick lantas mampir ke meja Budi Setyarso, kala itu Redaktur Pelaksana Kompartemen Nasional.

Dalam rapat perencanaan mingguan, Kompartemen Nasional mengusulkan liputan dugaan rasuah berjemaah ini. Rapat setuju. Budi menugaskan Setri Yasra, redaktur Kompartemen Nasional, menemui Soekotjo yang ditahan di Rumah Tahanan Kebon Waru, Bandung. "Saya diberi waktu dua pekan," kata Setri, kini Redaktur Pelaksana Kompartemen Nasional.

* * * *

Kisah ini bermula tatkala Soekotjo bersua dengan kawan lamanya, Andrie Tedjapranata, pemilik PT Megacipta Nusantara, pada 2009. Andrie mengenalkan seseorang, Budi Susanto. Keduanya mengaku sedang mengerjakan proyek simulator kemudi di Korps Lalu Lintas. Andrie mengajak Soekotjo terlibat, membuatkan desain simulator. Tapi, tak lama kemudian, perkongsian Andrie dan Budi retak. Budi meminta Soekotjo menyelesaikan proyek.

Soekotjo terlibat lebih jauh ketika Badan Pemeriksa Keuangan mengaudit sejumlah proyek di Korps Lalu Lintas pada Maret 2010. Budi meminta Soekotjo menyiapkan laporan pengadaan agar tak menjadi temuan BPK. Imbalannya, Budi menjanjikan proyek baru untuk Soekotjo.

Seperti menemukan durian runtuh, pada 2011 Soekotjo mendapat jatah proyek simulator senilai Rp 198,6 miliar. Itu tentu saja tak gratis. Ada syarat tak tertulis: Soekotjo wajib menyetor fulus ke petinggi kepolisian. Di tengah jalan, perkongsian Budi-Soekotjo pun berantakan.

Teror menghampiri Soekotjo. Pada Juli 2011, dibantu polisi, Budi menyita rumah Soekotjo di Bandung beserta pabrik dan sebelas mobilnya. Merasa terancam, Sylvia, istri Soekotjo, memilih tetirah. "Saya mengontrak rumah di Kota Baru Parahyangan selama setahun," kata Sylvia.

Soekotjo lalu menyurati Kepala Polri Jenderal Timur Pradopo. Ia meminta bantuan agar perselisihannya dengan Budi ditengahi. Respons datang dari Wakil Kepala Korps Lalu Lintas Brigadir Jenderal Didik Purnomo. Didik mempertemukan Budi dengan Soekotjo. "Mediasi gagal," kata Soekotjo.

Lima hari kemudian, Soekotjo dijebloskan ke penjara atas laporan penipuan dan penggelapan dari Budi. Geram bukan kepalang, Soekotjo meminta sekretarisnya, Rurin, menyebarkan dokumen antara lain ke kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Kepolisian Nasional, dan aktivis antikorupsi.

Anak buah Soekotjo, misalnya, pernah melakukan presentasi di depan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Seorang komisioner Kompolnas malah memperingatkan utusan Soekotjo agar tak mengusik korupsi ini. "Anda berhadapan dengan mafia," kata si komisioner.

Upaya Soekotjo membentur tembok. Tak ada lembaga yang menindaklanjuti pengaduannya. Ia mulai mengalami frustrasi.

Di tengah kegaluan Soekotjo, melalui Erick, Setri Yasra meminta waktu untuk memverifikasi kebenaran dokumen. "Kami sepakat menemui Soekotjo di Pengadilan Negeri Bandung," kata Setri.

Pekan kedua April 2012, Setri meluncur ke Bandung. Dia lebih dulu menemui Sylvia, istri Soekotjo, di sebuah factory outlet di Jalan Riau. Menjelang makan siang, Sylvia datang diiringi lima pria berbadan tegap. "Mungkin tentara," Setri berpikir. Menurut Sylvia, dia memang menyewa pengawal. "Saya kehilangan rasa aman," kata Sylvia.

Setri dan Sylvia menuju Pengadilan Negeri Bandung. Hari itu Soekotjo semestinya mendengarkan dakwaan atas dirinya. Namun sidang batal. Soekotjo dikembalikan ke rumah tahanan. Setri lalu menjalankan skenario cadangan: menjenguk Soekotjo di penjara. "Saya menyamar sebagai pengacara dia," kata Setri.

Ketika bertemu dengan Soekotjo, hal pertama yang Setri tanyakan adalah, "Apa motif Anda membongkar kasus ini?" Soekotjo mengaku dongkol karena semua asetnya dirampas. Soekotjo lalu membeberkan perkenalan dengan Budi, pengadaan proyek simulator, sampai pemberian suap kepada Kepala Korps Lalu Lintas Inspektur Jenderal Djoko Susilo.

Setri mencocokkan cerita Soekotjo dengan dokumen. "Ceritanya cocok. Datanya valid," Setri menyimpulkan. Setelah dokumen terverifikasi, waktunya meminta konfirmasi ke sejumlah nama yang dituduh. Mereka antara lain Djoko Susilo, Didik Purnomo, dan Budi Susanto.

Koresponden Tempo di Semarang, Rofiuddin, bertugas meminta konfirmasi kepada Djoko. Ketika kasus ini meledak, Djoko menjabat Gubernur Akademi Kepolisian, Semarang. Sewaktu bertemu dengan Rofiuddin, Djoko sempat berkelakar. "Tenang, Belanda masih jauh," kata Rofiuddin mengutip ucapan Djoko.

Untuk meminta konfirmasi dari Didik Purnomo, Setri menugaskan Syailendra mencegat Didik di sebuah acara di Hotel Bidakara, Jakarta. Hasilnya nihil. Tempo lalu mengontak Aqua Dwipayana, konsultan Korps Lalu Lintas. Aqua meyakinkan Didik untuk berbicara ke media. "Sudah, Bapak jelaskan saja," kata Aqua, mengulangi saran dia, akhir Februari lalu.

Nama terakhir yang perlu dikejar adalah Budi Susanto. Menjelang tenggat, Budi mendatangi kantor Tempo di Velbak, Kebayoran Lama. Dia membantah aneka tuduhan Soekotjo.

Cerita hasil verifikasi dan konfirmasi kurang gurih tanpa reportase lapangan. Agar lebih "basah"—begitu istilah di Tempo—reporter Kartika Candra mendatangi pabrik milik Budi di Desa Cikiwul, Bantar Gebang, Bekasi. Kartika pergi tanpa alamat pasti. Satu-satunya petunjuk: pabrik Budi persis di samping rumah Endang Kurnia, pencipta lagu Mbah Dukun, yang dipopulerkan penyanyi dangdut Alam. "Naujubile, jauhnya minta ampun," kata Kartika.

* * * *

Rapat pada Rabu pagi selalu menjadi momen seru di ruang redaksi majalah Tempo. Setiap kompartemen melaporkan hasil perburuan bahan. Rapat juga menentukan topik mana yang bakal menjadi cover story. Pada Rabu pagi pekan ketiga April 2012 itu, dua topik bersaing ketat: kasus korupsi simulator kemudi dan teror geng motor.

Berdebat sengit, peserta rapat terbelah menjadi dua kubu. Setri dkk ngotot agar korupsi simulator menjadi laporan utama. Sebaliknya, desk Hukum dan Kriminal, yang mengusung kasus geng motor, tak mau kalah. Tak ada kata sepakat, keputusan diambil lewat pemungutan suara. "Tumben-tumbenan," kata Budi Setyarso. "Kasus geng motor lebih menghebohkan," kata Arif Zulkifli, ketika itu Redaktur Eksekutif.

Laporan simulator akhirnya hanya tampil sebagai "jidat" di sampul Tempo edisi 23-29 April 2012. Meski gagal menjadi laporan utama, tulisan berjudul "Simsalabim Simulator SIM" itu membuat geger kompleks Trunojoyo, Markas Besar Polri. Dua pekan kemudian, Polri mengirim hak jawab. Mereka menyatakan telah mengadakan audit investigasi. Hasilnya, tak ada bukti korupsi dalam pengadaan simulator.

Redaksi Tempo tak berhenti menelisik. Majalah ini menerbitkan tiga cover story membongkar proyek lancung tersebut. Belakangan, Markas Besar Polri menetapkan sejumlah nama sebagai tersangka, menyalip KPK yang juga mengusut perkara ini. Hubungan KPK-Polri pun kembali panas. Ujungnya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menghukum Djoko Susilo 10 tahun penjara. Mahkamah Agung memperberat hukuman jadi 18 tahun penjara.

Lalu bagaimana nasib Soekotjo? Setelah bebas bersyarat pada awal 2014, sang pembocor mencoba menata kembali usahanya yang berantakan. Namun alangkah terkejutnya Soekotjo ketika menerima surat panggilan dari KPK pada akhir Februari lalu. "Saya kaget, selama ini tak ada berita apa-apa." Soekotjo ternyata menjadi tersangka dalam kasus yang ia bongkar.


Terjepit Konflik Cicak Versus Buaya

Pengusutan pengadaan simulator kemudi memanaskan hubungan KPK dengan Kepolisian RI. Polisi mengungkit kasus Novel Baswedan yang lama mengendap.

EMPAT tahun terakhir menjadi masa tersulit dalam perjalanan karier Novel Baswedan. Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi itu terseret-seret kasus penganiayaan yang tak pernah ia lakukan. Sekian lama simpang-siur, pengusutan kasus itu berakhir pada pekan ketiga Februari lalu. Kejaksaan Agung menghentikan penuntutan perkara. "Dihentikan karena tak cukup bukti," kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Noor Rochmat.

Novel adalah penyidik yang memimpin penggeledahan kantor Korps Lalu Lintas Kepolisian RI pada 30 Juli 2012. Penyisiran markas polisi di Jalan M.T. Haryono, Jakarta Selatan, itu tak berjalan mulus. Menolak kantornya digeledah, polisi sempat mengurung petugas KPK dengan mengunci pintu kompleks dengan gembok besar.

Kala itu Direktur Penindakan KPK Warih Sadono memberi kabar darurat kepada Ketua KPK Abraham Samad. Warih melaporkan bahwa polisi meminta petugas KPK menghentikan penggeledahan yang hampir rampung. "Anak-anak di lapangan mendapat tekanan," kata Abraham menirukan Warih.

Negosiasi berlangsung alot. Pimpinan kedua lembaga sampai bertemu untuk meredakan ketegangan. Penyidik KPK akhirnya bisa memboyong kontainer berisi dokumen dari kantor Korps Lalu Lintas. Jalan tengahnya, kontainer dijaga tim KPK bersama polisi.

Hubungan kedua lembaga memanas lagi setelah KPK menetapkan Kepala Korps Lalu Lintas Inspektur Jenderal Djoko Susilo sebagai tersangka korupsi simulator kemudi. Lulusan Akademi Kepolisian 1984 ini menjadi jenderal aktif pertama yang dijerat komisi antirasuah.

Perseteruan kian terbuka ketika kedua lembaga saling salip menetapkan tersangka dalam perkara yang sama. Dari kalangan polisi, yang belakangan menjadi tersangka adalah Wakil Kepala Korps Lalu Lintas Brigadir Jenderal Didik Purnomo, Kepala Pengadaan Ajun Komisaris Besar Teddy Rusmawan, dan Bendahara Proyek Komisaris Legimo.

Hubungan kedua lembaga semakin kusut setelah Markas Besar Polri menolak memperpanjang masa dinas 16 penyidik yang bertugas di KPK. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai turun tangan untuk menurunkan tensi konflik yang kerap disebut "Cicak versus Buaya" itu. Namun ketegangan tak pernah betul-betul reda.

Di tengah upaya KPK membongkar korupsi simulator kemudi, kepolisian mengungkit kembali kejadian pada Februari 2004. Kala itu polisi menembak tersangka pencuri sarang walet di Pantai Panjang, Bengkulu. Seorang tersangka, Mulian Johani, tewas. Novel Baswedan, yang waktu itu menjadi Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Bengkulu, mengambil alih tanggung jawab kasus tersebut.

Pada Oktober 2012, Kepolisian Daerah Bengkulu menetapkan Novel sebagai tersangka penembakan. Di kalangan masyarakat luas, muncul anggapan bahwa polisi sengaja membidik Novel dengan mencari-cari kesalahan dia. Namun Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Agus Rianto menampik anggapan itu. "Buat apa? Tidak pernah ada usaha seperti itu," ujar Agus ketika itu.

Ketegangan kembali memuncak ketika KPK memeriksa Djoko Susilo pada 5 Oktober 2012. Malam itu 200-an polisi tanpa seragam berdatangan ke gedung KPK. Sebagian polisi berkerumun di sekeliling gedung. Kawanan polisi lainnya hilir-mudik di trotoar Jalan H R. Rasuna Said dan sekitar warung pinggir jalan, di sisi utara gedung KPK. "Polisi berusaha menggeledah gedung," kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto.

Beredar kabar bahwa polisi datang untuk menjemput paksa lima penyidik yang tak mau kembali menjadi anggota Korps Bhayangkara. Kabar lain menyebutkan polisi datang untuk menangkap Novel Baswedan. Anehnya, Kepala Polri Jenderal Timur Pradopo waktu itu mengatakan tak mengetahui pergerakan pasukan ke kantor KPK.

Kabar pengepungan gedung KPK itu segera menyebar. Tokoh dan pegiat antikorupsi satu per satu mendatangi KPK. Ketika malam semakin larut, kelompok pendukung KPK yang datang semakin banyak. Novel sendiri mengatakan tak akan tunduk pada teror itu. "Saya tidak takut. Akan saya buka semuanya," ucap Novel seperti dikutip buku KPK Vs Polri, yang ditulis Budi Setyarso, Redaktur Eksekutif Tempo.

Sejenak mengendap, kasus Novel kembali mencuat ketika KPK menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi pada awal 2015. Sementara sebelumnya Polda Bengkulu yang mengusut, sejak itu Markas Besar Polri mengambil alih kasus Novel. Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Budi Waseso menyebut perkara Novel sebagai tunggakan. "Polda Bengkulu punya kewajiban menyelesaikannya," kata Budi.

Pada Mei 2015, sejumlah penyidik Polri menjemput paksa Novel di rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Polisi baru menangguhkan penahanan Novel setelah ada jaminan dari lima pemimpin KPK.

Novel menganggap penyidikan kasusnya murni kriminalisasi. "Ini tidak mengarah ke penyidikan yang baik," ujarnya. Karena itu, Novel mengajukan gugatan praperadilan atas penangkapannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun, pada Juni 2015, pengadilan menolak gugatan Novel. Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti pun mengatakan tetap melanjutkan penyidikan perkara Novel.

Presiden Joko Widodo akhirnya memanggil Badrodin dan Jaksa Agung M. Prasetyo untuk meminta penjelasan duduk perkara kasus Novel. Juru bicara presiden, Johan Budi Sapto Pribowo, mengatakan Presiden memerintahkan Jaksa Agung menuntaskan kriminalisasi pimpinan dan penyidik KPK. "Kasusnya sudah berlarut-larut," kata Johan.

Kejaksaan sempat melimpahkan berkas perkara Novel ke Pengadilan Negeri Bengkulu pada 29 Januari 2016. Namun, beberapa hari kemudian, jaksa penuntut umum menarik surat dakwaan dengan alasan untuk disempurnakan.

Menurut Jaksa Agung Muda Pidana Umum Noor Rochmat, jaksa ragu terhadap keterlibatan Novel dalam penembakan yang dituduhkan polisi. Alasannya, selain terjadi pada malam hari, tak ada saksi yang melihat persis peristiwa itu. Seiring dengan perjalanan waktu, perkara penganiayaan itu memasuki masa kedaluwarsa sejak 19 Februari 2016. Di ujung lakon "Cicak versus Buaya", kejaksaan resmi menghentikan penuntutan terhadap Novel.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus