Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUMAH Sakit Ibu dan Anak Bunda Aliyah berdiri tepat di samping penjara khusus perempuan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Dari lantai tertinggi rumah sakit itu, bisa terlihat aktivitas di sebagian sisi penjara, terutama sebuah aula di lantai tiga ruang administrasi rumah tahanan tersebut.
Reporter Budi Riza naik ke bangunan belum jadi di lantai paling atas rumah sakit itu pada akhir 2009. Ia punya misi mengintai aktivitas di dalam aula. Informasi awal sudah dikantongi: tempat itu menjadi "ruang kerja" Artalyta Suryani alias Ayin, pengusaha yang menjalani hukuman lima tahun penjara dalam perkara suap jaksa Urip Tri Gunawan.
Pada waktu berbeda, fotografer Arnold Simanjuntak tiga hari bolak-balik ke tempat yang sama. Ia masuk dengan berpura-pura menjadi penjenguk. Sebab, untuk bisa naik sampai lantai teratas harus melewati ruang khusus perawatan bayi. "Hari ketiga baru mendapat foto. Ayin sedang menggendong bayi," kata Arnold, kini fotografer lepas di Yogyakarta, pekan lalu.
Arnold mengakui foto yang dia peroleh kurang bagus secara visual. "Tapi lumayan untuk menjadi sekadar bukti jurnalistik," ujarnya.
Pengintaian dari gedung sebelah itu merupakan bagian akhir dari serangkaian investigasi jurnalistik untuk membuktikan informasi awal bahwa Ayin memperoleh fasilitas khusus di penjara. Ia tak pernah menempati sel resminya dan justru menempati aula yang sebenarnya ruang serbaguna.
Secuil informasi awal itu diperoleh Budi Setyarso, redaktur utama yang ketika itu memimpin Kompartemen Investigasi, dari seorang narasumber pada Oktober 2009. Informan yang hingga pekan lalu belum bersedia disebut identitasnya itu adalah seorang pengusaha dengan jaringan lobi luas. Pada saat itu, ia baru menemui Ayin di penjara Pondok Bambu.
Minum kopi dan mengobrol di satu kafe pada suatu petang, sang pengusaha berkata kepada Budi: "Mau tahu informasi menarik?"
"Apa itu?"
"Ayin memiliki ruang khusus di penjara…."
"Ruang khusus seperti apa? "
"Dia menempati ruang di lantai tiga, dengan akses khusus, melewati tepat ruang kerja kepala penjara. Dia bisa menerima tamu kapan pun, siang atau malam…."
"Dari mana Anda tahu?"
"Lho, saya baru dari sana, kemarin malam…."
"Ayo ke sana lagi, ajak saya…."
"Enggak mau! Kalau mau menulis, Anda buktikan sendiri…."
Budi separuh percaya kepada narasumbernya itu. Ia berkawan dengan pengusaha cukup lama. Sebagian besar informasi yang sebelumnya diberikan juga valid.
Kekuatan lobi Ayin memperkuat kepercayaan Budi terhadap informasi yang diberikan sang narasumber. Ayin ditangkap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2008, setelah jaksa Urip Tri Gunawan, ketua tim penyelidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia untuk Bank Dagang Nasional Indonesia, datang mengambil uang sogokan di rumahnya.
Sebelum ditangkap, seperti terungkap dalam rekaman yang disodorkan jaksa komisi antikorupsi sebagai bukti di pengadilan, Ayin menghubungi sejumlah elite politik, petinggi kejaksaan, juga jenderal kepolisian. Pertemanannya dengan tokoh-tokoh politik, termasuk lingkaran dalam Istana, pun ramai menjadi pergunjingan.
Berbekal informasi yang secuil itu, Kompartemen Investigasi mengusulkan rencana liputan ke rapat perencanaan redaksi pada suatu Senin pagi. Karena bukti awalnya sangat lemah, rapat menolak dan meminta tim investigasi melakukan verifikasi lebih dulu.
Diaturlah teknik pembuktiannya. Dua penulis muda, Budi Riza dan Yuliawati, ditugasi menyusup ke penjara Pondok Bambu. Budi Riza ditunjuk menjadi koordinator atau pemimpin proyek ini. Di tim investigasi yang personelnya hanya lima orang itu, ada mekanisme menggilir pemimpin proyek liputan. Anggota lain membantu sembari mengerjakan proyek liputan lain.
Bagja Hidayat, yang pada saat itu magang menjadi editor di tim investigasi, mengatakan lumayan berat menggarap proyek ini. Pertama, informasinya sangat minim. Kedua, tim tidak tahu bagaimana cara menembus penjara. Bertanya langsung kepada kepala rumah tahanan atau kepada Ayin lewat pengacara atau keluarganya sudah pasti akan mendapat bantahan. "Tidak ada cara. Pokoknya ke sana saja dulu. Nanti juga ketemu jalan," kata Bagja kepada Budi Riza dan Yuliawati.
Ule, sapaan Yuliawati, dan Budi berusaha mencari "pembuka gerbang". Tidak ada instruksi apa pun. Ule mengatakan mendesain sendiri perencanaan di lapangan. Rencana A adalah meminta bantuan seorang narapidana yang ditahan di penjara itu. Dengan bantuan teman sang narapidana, gampang saja ia masuk ke penjara. "Tapi dia enggak mau ngomong apa-apa," ujar Ule.
Plan B, asal masuk dan cari sendiri sumber. Setiap hari besuk, pada Selasa dan Kamis, Ule datang pagi-pagi. Ia mendapati petunjuk: cara masuk ternyata gampang saja asalkan tahu "password"-nya. Ule mengobrol dengan para pembesuk, menanyakan siapa yang mereka kunjungi dan nomor selnya. Berbekal nama dan nomor sel yang dia hafalkan, Ule datang esok harinya. Ia lolos dari gerbang. Di dalam tentu saja yang dibesuk dan yang membesuk tidak saling kenal. Lama dia di dalam tengok kanan-kiri mencari orang yang kira-kira bisa diajak mengobrol. "Gue deg-degan juga takut ketahuan," tutur Ule.
Ule melihat satu pemuda yang tampaknya gampang diajak berbicara. Pondok Bambu sebenarnya rumah tahanan khusus perempuan. Pemuda itu ditahan di situ karena dianggap masih di bawah umur. Ia narapidana kasus narkotik dan menjadi "tamping"—tahanan pendamping. Tamping adalah pembantu yang mengurus keperluan pribadi tahanan lain selama di bui. "Berjodoh, karena ternyata tamping ini juga melayani Ayin," kata Ule.
Ule merahasiakan identitasnya. Si pemuda tamping banyak curhat. Ule sabar mendengarkan. Setelah itu, keduanya kerap berkomunikasi via telepon seluler. "Biar akrab, modalnya mau dengerin ceritanya dan bawain makanan," ujar Ule, terkekeh. Pada kunjungan ketiga, Ule mengaku sebagai wartawan Tempo dan ingin meminta bantuannya mengumpulkan informasi tentang aktivitas Ayin.
Buat meredam rasa waswas, Ule menjamin identitas informan "mahkota" itu aman. Ule memastikan tidak bakal ketahuan Ayin karena tulisan baru akan terbit setelah dia bebas, sebulan kemudian. "Waktunya pas, sudah gue itung, enggak sekadar janji," tutur Ule.
Pemuda itu akhirnya setuju dititipi kamera kancing untuk merekam ruangan Ayin. Kamera pengintai itu dibeli dari Pasar Glodok seharga Rp 200 ribu. "Operasi" itu lancar dan mendapat gambar sekitar dua menit. "Tapi salah masang. Orangnya menghadap ke mana, kameranya ke arah mana," ujar Bagja. "Gambarnya kacau. Jeleknya minta ampun."
Di rekaman video yang bergerak ke mana-mana—mungkin karena sang informan panik—selintas terlihat kamar berisi kasur kulit besar, double sofa, kulkas, dan televisi layar datar. Yang terpenting, ada muka Ayin di situ. Separuh wajah Ayin sempat tertangkap kamera pengintai. Ule meminta sang informan mengulang rekaman. Pada kesempatan kedua, hasilnya jauh lebih baik.
Gambar dari rekaman itu tidak diterbitkan. Budi Setyarso menggunakannya untuk presentasi pembuktian informasi awal tentang fasilitas khusus yang diperoleh Ayin kepada rapat redaksi majalah. "Bukti bahwa fasilitas khusus itu benar ada," katanya. Rapat pun setuju investigasi dilanjutkan untuk disiapkan menjadi laporan utama.
Yuliawati dan Budi Riza bolak-balik ke penjara untuk memperdalam informasi dan cerita: bagaimana aktivitas Ayin, siapa tamunya, kapan mereka datang, dan seterusnya. Dari informasi yang terkumpul, diketahui bahwa Ayin "mengangkat" bayi anak narapidana narkotik yang lahir di penjara. Setiap pagi sopir dan pengasuh datang membawa bayi itu ke penjara. Mereka baru pulang pada malam hari.
Budi Riza mendapat tambahan dua informan penting, antara lain sipir perempuan. Atas bantuan seorang pengasuh kerohanian rumah tahanan, Budi masuk ke penjara sebagai pendakwah. Ia memperoleh nomor kontak seorang tahanan. Namun, setelah tahanan itu dihubungi, informasi yang diberikan ternyata minim.
Cerita paling banyak justru datang dari sipir penjara, yang menceritakan Ayin suka bagi-bagi uang setiap bulan. Ia juga membawa banyak makanan, suka berlatih menari, dan—kabarnya—mandi dengan air galon. "Memang ada sipir yang suka dan tidak suka sama Ayin," ujar Budi Riza.
Perkenalannya dengan sang sipir didapat saat mengikuti inspeksi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar ke dalam tahanan pada medio Oktober 2009. Inspeksi mendadak Patrialis tidak mendapati kejanggalan apa pun dan malah terkesan hanya formalitas. Sang Menteri malah disambut dengan tari-tarian penyambutan. Seorang tahanan membisikkan bahwa tarian khas Minang yang disuguhkan narapidana pagi itu sudah disiapkan Ayin seminggu sebelumnya.
Cerita dan foto sudah lengkap. Kesulitan selanjutnya adalah mendapatkan konfirmasi dari Ayin. Ule dan Budi Riza mengejar sopir pribadi Ayin yang tiap hari datang membesuk. Tak mudah mendapatkannya. Pernah mereka mengejar mobil Ayin dengan ojek, tapi kehilangan jejak. Budi akhirnya mendapat kontak sang sopir, lalu janjian bertemu di kawasan Blok M. Beberapa detail diperoleh, lalu Budi menyodorkan surat permintaan wawancara agar disampaikan ke Ayin.
Beberapa hari kemudian, Ayin menjawab. Ia bersedia asalkan seizin Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Surat ke Direktur Jenderal Pemasyarakatan dikirim segera. Sehari menjelang wawancara, Ule ditelepon informannya. "Mbak, besok mau wawancara, ya?" ia bertanya. Ule balik bertanya, bagaimana sang informan tahu rencana wawancara. Ia menjawab sambil tertawa, "Kamar Bu Ayin sudah dibersihkan." Aula itu telah dikembalikan menjadi tempat narapidana berlatih aneka keterampilan.
Esoknya, Budi Setyarso, Budi Riza, dan Yuliawati mewawancarai Ayin di ruang Kepala Rumah Tahanan Pondok Bambu. Sejumlah pejabat penjara hadir dan tampak akrab dengan sang narapidana. Di akhir wawancara, Tempo meminta izin mengunjungi aula "tempat tinggal" Ayin. Tentu saja diizinkan, karena pada malam sebelumnya tempat itu sudah dikembalikan ke fungsi awalnya.
Hasil investigasi ini diterbitkan pada Januari 2010, dengan judul "Pondok Bambu Rasa Istana". Pada satu kesempatan setelahnya, Redaktur Eksekutif Wahyu Muryadi bertemu dengan Ayin. Setelah mengeluhkan liputan yang membuatnya dipindahkan dari Pondok Bambu ke Lembaga Pemasyarakatan Tangerang, Banten, menurut Wahyu, Ayin justru mengatakan, "Kuakui, anak buahmu harus diacungi jempol, bisa menembus penjara. Salutlah."
Bekal Inspeksi Mendadak Satuan Tugas
Tim anti-mafia hukum bentukan Yudhoyono menggerebek penjara mewah Ayin berbekal investigasi Tempo. Awal pembenahan sistem lembaga pemasyarakatan.
Pada akhir pekan pertama Januari 2010, Mas Achmad Santosa terkejut membaca iklan di Koran Tempo. Isinya adalah laporan majalah Tempo yang terbit pada Senin pekan berikutnya. Berjudul "Cara Asyik Menikmati Penjara", laporan utama edisi itu mengungkap fasilitas khusus terpidana Artalyta Suryani alias Ayin di Rumah Tahanan Perempuan Pondok Bambu, Jakarta Timur.
"Sebelum berita keluar, kami harus masuk," kata Santosa, yang pada saat itu anggota Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pekan lalu. "Kalau kami menginspeksi setelah berita terbit, jejaknya bisa dihilangkan."
Ota—begitu dia dipanggil—mengaku sejak Oktober 2009 mendengar gosip kehidupan istimewa Ayin di penjara tersebut. Kabar praktek suap-menyuap petugas lembaga pemasyarakatan juga pernah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia menjadi pelaksana tugas pemimpin lembaga antikorupsi itu hingga November 2009. "Membaca iklan Tempo pagi itu, saya langsung tergerak," ujarnya.
Ota lantas menghubungi awak redaksi Tempo yang dikenalnya ke kantor Satgas di gedung Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Tujuannya merancang inspeksi mendadak ke tempat penahanan terpidana penyuap jaksa Urip Tri Gunawan itu. "Kami ingin minta detail ceritanya sebelum menggerebek," katanya.
Ota menghubungi Bagja Hidayat, tapi anggota tim investigasi yang menjalani program magang redaktur utama ini tak bisa hadir karena rumahnya jauh di Bogor. Ota lalu menelepon Budi Setyarso, Redaktur Utama Kompartemen Investigasi; dan Arif Zulkifli, Redaktur Utama Kompartemen Nasional. Mereka memenuhi undangan itu. Sore sehabis asar, mereka berkumpul di ruang kerja Kepala PPATK Yunus Husein, yang juga anggota Satgas. Denny Indrayana, Sekretaris Satgas, juga hadir.
Tak banyak informasi diberikan Arif dan Budi kepada Satgas. Musababnya, kata Budi, Toriq Hadad, Pemimpin Redaksi Tempo kala itu, melarang mereka berbicara tentang materi yang belum dipublikasikan. "Mas Toriq bilang, 'Janganlah. Nanti kita dianggap menjebak Ayin'," ujar Budi.
Toriq mengakui melarang karena ingin menjaga etika bahwa posisi medianya harus tetap independen. "Kalau kebiasaan koordinasi itu diikuti, kita akan banyak direpotkan oleh berbagai permintaan lembaga penegak hukum," katanya. "Meski misi mereka mungkin sama, kita berbeda dalam tanggung jawab."
Penolakan sempat membikin Satgas masygul. Arif Zulkifli menyatakan akhirnya hanya memberi petunjuk, bukan "daging cerita"-nya. Demi hubungan baik, Arif dan Budi memberikan denah ruang Ayin. "Kami hanya kasih info lokasi," ujar Budi. Keduanya pun menolak diajak ikut inspeksi mendadak. "Bukan urusan kita," kata Arif, kini Pemimpin Redaksi Tempo.
Informasi tentang denah dan posisi pasti lokasi kamar Ayin—termasuk dari posisi mana bisa dilihat—cukup bagi Satgas untuk bergerak. Untuk memastikan Ayin tidak ke mana-mana, sore itu, seorang anggota staf Satgas dikirim untuk memantau dari Rumah Sakit Ibu dan Anak Bunda Aliyah, tepat di samping penjara. Saat liputan, di rumah sakit ini pula wartawan dan fotografer Tempo mendapatkan lokasi pandang ke kamar Ayin.
Rapat kilat Satgas segera dilakukan. Rencana disusun. Peta situasi rumah tahanan itu digambarkan dan letak sel mewah Ayin diidentifikasi. Disepakati bahwa begitu tiba, tim Satgas langsung menuju ruang yang terletak di lantai tiga, dekat ruang Kepala Rumah Tahanan Pondok Bambu. Targetnya: memergoki Ayin berada di sel mewah tersebut.
Setelah dipastikan target berada di posisinya, sore menjelang magrib, Denny dan Ota bergerak. Ketua Satgas Kuntoro Mangkusubroto dimintai persetujuan melalui telepon. Mereka juga menyempatkan diri mampir dulu ke kediaman Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar di Cipinang Cempedak. Tapi Patrialis tidak bisa bergabung. Tak lupa belasan media cetak dan elektronik diajak. "Sempat debat perlu publikasi atau tidak," ujar Denny kepada Tempo, Senin pekan lalu. "Akhirnya, ajak media untuk memberi pesan bahwa praktek ini keliru."
Awalnya, kata Denny, Patrialis berencana menelepon Kepala Rumah Tahanan untuk memintanya berkoordinasi dan bekerja sama dengan Satgas. Denny mencegah dan menegaskan bahwa inspeksi mendadak tidak boleh diketahui siapa pun. Dari rumah Patrialis, mereka meluncur ke Pondok Bambu. Begitu gerbang dibuka, setengah berlari, Denny dan kawan-kawan naik ke lantai tiga.
Betul saja, Ayin sedang dikunjungi dokter kecantikan pribadinya. Perawatan wajah lengkap dengan peralatan modernnya terlihat di aula yang disulap menjadi ruang kerja Ayin. Pertama kali melihat mereka datang, Ayin tersentak kaget. "Eh, Pak Indrayana," katanya. Tak dinyana, Ayin malah "bernyanyi" dengan menunjuk para narapidana lain yang punya fasilitas tak kalah mewah. Salah satunya ruang karaoke Aling, terpidana narkotik.
Satgas itu belum genap dua pekan dibentuk Presiden Yudhoyono. "Temuan" ini menjadi isu besar pertama yang mereka bongkar. Heboh se-Tanah Air tentu saja. Sejak peristiwa ini, kegiatan mereka selalu menjadi perhatian.
Setelah Laporan Utama Tempo terbit, Kepala Rumah Tahanan Pondok Bambu Sarju Wibowo dicopot dari jabatannya pada 13 Januari 2010. Ayin dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang. Sel-sel mewah di Pondok Bambu dibongkar. Patrialis merotasi besar-besaran semua pejabat penjara. Yang terpenting, kata Ota, peristiwa itu menjadi titik tolak bagi pemerintah untuk menyusun pembenahan sistem lembaga pemasyarakatan. Hasilnya: cetak biru pembenahan lembaga pemasyarakatan.
Denny Indrayana, yang setahun kemudian diangkat Yudhoyono sebagai Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, mengatakan, selain sistem, orangnya harus dibenahi. Sistem rekrutmen pejabat lembaga pemasyarakatan diperbaiki. Direktur Jenderal Pemasyarakatan, misalnya, dipilih melalui uji kelayakan dan kepatutan. Infrastruktur lembaga pemasyarakatan dibenahi. Termasuk mengumpulkan narapidana koruptor ke Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin. "Agar tidak ada lagi fasilitas istimewa dan agar mudah pengawasannya," kata Denny.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo