Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Wajah asia bagi sang kristus

Karya-karya senirupa kristiani di asia ditulis dalam sebuah buku oleh masao takenaka, profesor dari jepang, dengan judul christian art in asia. di sini ia melepas imajinasi pola kesenian kristen sama sekali.

26 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AJARAN agama adalah benih yang ditaburkan di tanah sebuah kultur," tulis D.T. Niles dalam sebuah buku tentang sejarah gereja-gereja di Asia. "Kendati cuma satu ajaran Kristen, ada banyak kekristenan. Di Asia umpamanya, Kristen yang tumbuh berakar pada tanah dan kulturnya: berwarna Timur." Pendapat ini menjadi bahan yang ramai dibicarakan di Konperensi Kristen Asia Tenggara, 1962. Muncul kemudian gagasan dalam konperensi itu untuk menerbitkan sebuah buku tentang senirupa kristiani di Asia. Masao Takenaka, profesor dari Universitas Doshisha, Jepang, mendapat tugas menuliskan buku ini. Maka tiga belas tahun lamanya profesor Jepang itu mengelilingi Asia. Ia mendatangi delapan belas negara -- membuat penelitian, studi, menemui dan berbincang-bincang dengan sejumlah seniman yang mempunyai perspektif Kristen. Ia berhasil mengamati kurang-lebih 600 karya. Dan setelah memilah-milah, ia mengambil --120 buah dari 107 seniman--untuk dipancangkan di buku. 1975, ketika bukunya terbit dengan judul Christian Art in Asia, organisasi yang menugasinya telah bubar. Namun secara kebetulan, buku itu jadi semacam simbol bagi semangat Kristen di Asia. Seolah-olah menunjukkan -- atau setidaknya menginginkan --identitas kekristenan Asia. "Harusnya kita sadar: terdapat bermacam tekanan yang memiliki dimensi yang berbeda-beda dalam kelompok-kelompok Kristen di dunia," tulis T.B. Simatupang yang menulis kata penantar buku itu. "Ada kekristenan yang menekankan iman yang sangat pribadi sifatnya: kepercayaan akan keselamatan jiwa. Lalu, di Asia kita menemukan sebuah ekspresi Kristen: perjuangan melawan kelaparan, ketidakadilan dan merosotnya nilai-nilai kemanusiaan." Memang itulah yang diungkapkan Prof. Takenaka. eukunya justru tidak banyak membicarakan "seni Kristen". Karya-karya yang dibahasnya ditinjaunya dari berbagai sudut. Termasuk juga pergolakan politik dan perubahan-perubahan struktur kehidupan masyarakat. Pengamatan Takenaka jadinya lebih dekat ke tinjauan senirupa daripada penguraian yang bertopang pada masalah-masalah agama. - Apa kesenian Kristen? Begitu T.B. Simatupang bertanya-tanya. Ia tak menjawab--dan nampaknya memang tak berniat. "Apakah harus kesenian yang dibuat orang-orang Kristen? Atau kesenian yang mencari ilhamnya di Alkitab?" Sikap T.B. Simatupang adalah juga sikap Takenaka. Dan sikap ini jelas menghilangkan imaji kesenian Kristen abad pertengahan--seperti kesenian Byzantine, kesenian Romawi, sampai kesenian-kesenian Kristen sesudah Reformasi. Sikap itu ternyata penting. Di situ pula terletak keunikan buku Takenaka: menunjukkan perkembangan tanggapan dalam melihat senirupa kristiani di Asia. Sebab sudah sejak masa sebelum Perang Dunia II diterbitkan berbagai buku tentang kesenian Kristen di Asia. Masalahnya hanya, dalam bidang senirupa, buku-buku itu umumnya berpegang pada karya-karya kristiani abad pertengahan. Dan ini besar pengaruhnya. Bahasa yang muncul dalam karyakarya itu pun "bahasa universal" senirupa kristiani. Karya-karya Asia jadinya sukar dibedakan dengan karyakarya Eropa--khususnya karya-karya Byzantine dan Romawi. Namun ada satu di antara buku-buku itu yang nampaknya mau berpendapat lain: Each With His Own Brush--ditulis oleh Daniel Johnson Fleming dan Arno Lehmann, dibuat berdasar studi sejumlah karya dari Jepang, India dan Cina. Kendati gambar-gambar yang ditampilkan dalam buku itu tak banyak mencerminkan pendapatnya, kedua pengarang--terutama Lehmann--ingin menyugestikan: sctlap kcsenian hendaknya punya bahasa sendiri. Juga -kesenian Kristen. Arno Lehmann menguatkan pemikirannya dengan menerbitkan dua buku yang lain lagi: Die Kunstder Jungen Kirchen, 1957 dan Afroasiatiche Christliche Kunst, 1966. "Warna Eropa memang punya suara besar dalam dunia Kristen di Asia dan Afrika," tulis Lehman. "Tapi tak sepatutnya warna itu disodokkan atas nama agama. Di Asia dan Afrika, terdapat sejumlah bahasa lain yang sebenarnya luar biasa indah." Namun dalam kedua bukunya itu Lehmann tak banyak meninjau aspek-aspek senirupa. Ia betapapun bingung menghadapi kesenian di Asia dan Afrika yang memiliki konsepsi yang jauh berbeda dari kesenian Eropa yang dia kenal. Dalam sejumlah kesenian tradisional Asia dan Afrika, misalnya, ekspresi diri tidak dikenal. Eksplorasi alam mencari 'hakikat keindahan' juga bukan satu-satunya sasaran. Bila di Eropa kesenian dan perkembangannya merupakan bidang yang sudah punya dasar-dasar 'ilmu', maka kesenian di Asia dan Afrika adalah bagian dari kebudayaan yang punya sejarah perkembangan yang kompleks, seJalan dengan pertumbuhan masyarakatnya. Bisa dipaham bila dalam bukunya Christian Art in Asia, Takenaka melepaskan sama sekali imaji pola kesenian Kristen. Buku itu lantas menjadi buku pertama yang menampilkan berbagai episoda Alkitab dengan bahasa gambar. Ada gambaran kelahiran Kristus dalam suasana Cina. Ada cerita Kristus berjalan di atas air dalam pola-pola dekoratif Bali. Takenaka bahkan melonggarkan persyaratan keimanan. Ia menolak anggapan bahwa kesenian Kristen mestinya dibuat oleh seniman Kristen. Takenaka menunjuk K.C.S. Paniker, seorang seniman India. Tokoh ini punya pengaruh cukup besar pada senirupa India baru. Di tahun 1954 ia ditunjuk pemerintahnya untuk memimpin Sekolah Senirupa Madras yang dianggap berpengaruh. Paniker sendiri beragama Hindu. Namun ia sangat tertarik pada ekspresi-ekspresi religius. Merasa tak menemukannya pada pola-pola Hindu, ia mengambil berbagai cerita Alkitab. Takenaka juga mencatat Gerakan Kesenian Rakyat 'Mingei' di Jepang. Mereka pada awalnya ingin menghidupkan kembali kesenian rakyat yang pernah hidup pada masa feodalisme okugawa--seperti cukilan kayu, keramik, lukisan pada kertas jerami dan beberapa lagi. Gerakan itu kebetulan ditokohi beberapa seniman Kristen: Yoshinosuke Tonomura, bekas pendeta yang menjadi direktur Museum Kesenian Rakyat di Kurashiki, dan Hachiro Yuasa, bekas rektor Universitas Kristen Tokyo yang kini menjadi ketua Perkumpulan Kesenian Rakyat, Kyoto. SEJUMLAH besar sen iman Jepang non-Kristen tentu saja ikut dalam gerakan tersebut. Dua di antaranya Shiko Munakata dan Keisuke Serizawa. Keduanya dikenal sebagai seniman grafis terkemuka di Jepang. Nah. Secara tak disengaja, banyak cerita Alkitab masuk dalam karyakarya gerakan ini. 'Mingei' lantas menjadi sebuah pola bagi peninjauan Takenaka dalam bukunya. Ia mencatat: dalam perkembangan kesenian di Asia, terdapat kegelisahan yang sering melahirkan gerakan, dengan kesenian tradisional sebagai salah satu bagian konfliknya. Kegelisahan seperti itu melahirkan sikap keras pada seniman Kristen Srilanka, S. Kirinde. Seniman yang satu ini berpendapat, kesenian di Srilanka pada galibnya kesenian yang sangat religius, dan seniman adalah orang yang peka terhadap impuls masyarakat di sekelilingnya. Namun, katanya lagi, kesenian ini rusak dengan datangnya orang Barat: Portugis, Belanda kemudian, dan yang terakhir Inggris. Dari kerusakan itu, Kirinde berpendapat, lahir kesenian awut-awutan. "Orang Inggris meminta orang Srilanka memegang identitasnya sendiri dalam darah dan warna. Tapi menuntut mereka memeluk moral dan berpendapat seperti orang Barat!" tulis Kirinde kalap. Kesenian yang tak pas itu menurut Kirinde jadinya terpisah dari lingkungan. "Ada sejumlah kaum menengah yang merasa berbudaya, tapi kenyataannya memakai baju yang kedodoran," tulisnya lagi. Dalam kacamata Kirinde, kekristenan lantas berada dalam keadaan sangat terjepit. Kristen, betapapun sulit untuk menghilangkan warna Barat-nya. Di samping itu kelompok Kristen Srilanka adalah kelompok minoritas, yang sangat mudah dicap terpisah dari lingkungan. Warna eksklusif kesenian dan budayanya memang bisa jadi simbol pemisah yang menakutkan. Itu barangkali yang diperingatkan Kirinde. Masalah itu juga terlihat di Indonesia: bagaimana orang yang datang ke gereja harus bangga dengan memakai dasi, misalnya--sementara saudaranya yang ke masjid atau ke pura pada memakai sarung. Dari pendapat Kirinde, Takenaka mengamati konflik yang umumnya menerpa bangsa-bangsa di Asia. Bangsa-bangsa ini umumnya bangsa yang marah karena kebudayaan mereka diinjak-injak masa penjajahan. Karena itu segala macam yang berbau Barat-alias penjajah--serta merta dimusuhi. Dan kutub yang secara diametral berbeda dari segala sesuatu yang Barat itu mudah dicari -- berada di sekitar kesenian tradisional. Ini bahkan tak jarang digali dari kejayaan masa lalu-bagian peninggalan yang sebenarnya tak lagi bicara atau mentradisi. Tapi itu muncul sebagai ekspresi yang dihasratkan. Dan kecurigaan menjadi kompleks--karena, tragisnya, peninggalan masa lalu yang dikenal bangsa-bangsa Asia umumnya dari penelitian orang-orang Barat yang (di hari-hari kemarin) penjajah itu. Tentu, tak semua pencarian identitas mengalami jalan buntu. Takenaka menunjuk pendapat pelukis Indonesia S. Sudjojono. Tokoh yang disebutnya sebagai Bapak Senirupa Indonesia Baru itu, cenderung berpendapat: identitas terletak pada kesehari-harian. "Seorang yang melukiskan hal yang sehari-hari di sekitarnya, akan menemukan identitas bangsanya," katanya. Ini nampaknya menyelesaikan persoalan. Juga persoalan kekristenan di masyarakat Asia. Bukankah kekristenan bisa disebutkan bagian dari kesehari-harian, bagian dari kebudayaan dan perubahan masyarakat mutakhir? Berbagai hal positif muncul lewat konsepsi ini. Pada karya Sudjojono Nabi Nuh dan Waktunya, cerita Alkitab jadi punya gaung yang panjang. Sejumlah wajah yang berdesakan--dibuat dengan warna kusam--tidak hanya mengasosiasikan orang-orang yang berkumpul di perahu Nabi Nuh sambil mendengarkan dunia yang "sedang kiamat"--kisah yang juga dilestarikan dalam agama Islam. Di sana nampak juga sejumlah orang gelisah yang berdesakan. Dan cerita itu tiba-tiba muncul dengan ekspresi penderitaan yang aktual. Kesimpulan ini akhirnya kembali ke pendapat D.T. Niles: pentingnya tanah dan kebudayaan. Bahasa dalam kesenian, seperti juga agama, hendaknya berakar ke situ. Tidak berjarak. Entah itu masalah sosial di suatu lingkungan atau pola tradisi. Ini yang mewarnai kesimpulan Takenaka. Ia menyebutkan, dalam garis besar terdapat dua pola senirupa kristiani Asia. Yang pertama, yang lebih tenang, ungkapan cerita Alkitab lewat beberapa bahasa senirupa yang sudah mentradisi. Ini bisa ditemukan pada sekelompok bangsa, atau rumpun bangsa, yang masih akrab dengan tradisi senirupa yang masih menerus. Umpamanya Bali, Cina, Jepang, India dan beberapa lagi. Pola kedua - yang lebih gelisah-terombang-ambing di antara "bahasa senirupa yang universal", konflik Barat-Timur, dan bukan tak mungkin masalah-masalah sekitar agamanya sendiri. Namun aneh, pada pola kedua itu ekspresi lebih jelas terbaca. Seperti kata T.B. Simatupang, "Gambaran dari penderitaan dan harapanù"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus