AJARAN agama adalah benih yang ditaburkan di tanah sebuah
kultur," tulis D.T. Niles dalam sebuah buku tentang sejarah
gereja-gereja di Asia. "Kendati cuma satu ajaran Kristen, ada
banyak kekristenan. Di Asia umpamanya, Kristen yang tumbuh
berakar pada tanah dan kulturnya: berwarna Timur."
Pendapat ini menjadi bahan yang ramai dibicarakan di Konperensi
Kristen Asia Tenggara, 1962. Muncul kemudian gagasan dalam
konperensi itu untuk menerbitkan sebuah buku tentang senirupa
kristiani di Asia.
Masao Takenaka, profesor dari Universitas Doshisha, Jepang,
mendapat tugas menuliskan buku ini.
Maka tiga belas tahun lamanya profesor Jepang itu mengelilingi
Asia. Ia mendatangi delapan belas negara -- membuat penelitian,
studi, menemui dan berbincang-bincang dengan sejumlah seniman
yang mempunyai perspektif Kristen. Ia berhasil mengamati
kurang-lebih 600 karya. Dan setelah memilah-milah, ia mengambil
--120 buah dari 107 seniman--untuk dipancangkan di buku.
1975, ketika bukunya terbit dengan judul Christian Art in Asia,
organisasi yang menugasinya telah bubar. Namun secara kebetulan,
buku itu jadi semacam simbol bagi semangat Kristen di Asia.
Seolah-olah menunjukkan -- atau setidaknya menginginkan
--identitas kekristenan Asia.
"Harusnya kita sadar: terdapat bermacam tekanan yang memiliki
dimensi yang berbeda-beda dalam kelompok-kelompok Kristen di
dunia," tulis T.B. Simatupang yang menulis kata penantar buku
itu. "Ada kekristenan yang menekankan iman yang sangat pribadi
sifatnya: kepercayaan akan keselamatan jiwa. Lalu, di Asia kita
menemukan sebuah ekspresi Kristen: perjuangan melawan kelaparan,
ketidakadilan dan merosotnya nilai-nilai kemanusiaan."
Memang itulah yang diungkapkan Prof. Takenaka. eukunya justru
tidak banyak membicarakan "seni Kristen". Karya-karya yang
dibahasnya ditinjaunya dari berbagai sudut. Termasuk juga
pergolakan politik dan perubahan-perubahan struktur kehidupan
masyarakat. Pengamatan Takenaka jadinya lebih dekat ke tinjauan
senirupa daripada penguraian yang bertopang pada masalah-masalah
agama.
- Apa kesenian Kristen? Begitu T.B. Simatupang bertanya-tanya.
Ia tak menjawab--dan nampaknya memang tak berniat. "Apakah harus
kesenian yang dibuat orang-orang Kristen? Atau kesenian yang
mencari ilhamnya di Alkitab?"
Sikap T.B. Simatupang adalah juga sikap Takenaka. Dan sikap ini
jelas menghilangkan imaji kesenian Kristen abad
pertengahan--seperti kesenian Byzantine, kesenian Romawi, sampai
kesenian-kesenian Kristen sesudah Reformasi.
Sikap itu ternyata penting. Di situ pula terletak keunikan buku
Takenaka: menunjukkan perkembangan tanggapan dalam melihat
senirupa kristiani di Asia.
Sebab sudah sejak masa sebelum Perang Dunia II diterbitkan
berbagai buku tentang kesenian Kristen di Asia. Masalahnya
hanya, dalam bidang senirupa, buku-buku itu umumnya berpegang
pada karya-karya kristiani abad pertengahan. Dan ini besar
pengaruhnya. Bahasa yang muncul dalam karyakarya itu pun "bahasa
universal" senirupa kristiani. Karya-karya Asia jadinya sukar
dibedakan dengan karyakarya Eropa--khususnya karya-karya
Byzantine dan Romawi.
Namun ada satu di antara buku-buku itu yang nampaknya mau
berpendapat lain: Each With His Own Brush--ditulis oleh Daniel
Johnson Fleming dan Arno Lehmann, dibuat berdasar studi sejumlah
karya dari Jepang, India dan Cina.
Kendati gambar-gambar yang ditampilkan dalam buku itu tak banyak
mencerminkan pendapatnya, kedua pengarang--terutama
Lehmann--ingin menyugestikan: sctlap kcsenian hendaknya punya
bahasa sendiri. Juga -kesenian Kristen.
Arno Lehmann menguatkan pemikirannya dengan menerbitkan dua buku
yang lain lagi: Die Kunstder Jungen Kirchen, 1957 dan
Afroasiatiche Christliche Kunst, 1966.
"Warna Eropa memang punya suara besar dalam dunia Kristen di
Asia dan Afrika," tulis Lehman. "Tapi tak sepatutnya warna itu
disodokkan atas nama agama. Di Asia dan Afrika, terdapat
sejumlah bahasa lain yang sebenarnya luar biasa indah."
Namun dalam kedua bukunya itu Lehmann tak banyak meninjau
aspek-aspek senirupa. Ia betapapun bingung menghadapi kesenian
di Asia dan Afrika yang memiliki konsepsi yang jauh berbeda dari
kesenian Eropa yang dia kenal.
Dalam sejumlah kesenian tradisional Asia dan Afrika, misalnya,
ekspresi diri tidak dikenal. Eksplorasi alam mencari 'hakikat
keindahan' juga bukan satu-satunya sasaran.
Bila di Eropa kesenian dan perkembangannya merupakan bidang yang
sudah punya dasar-dasar 'ilmu', maka kesenian di Asia dan Afrika
adalah bagian dari kebudayaan yang punya sejarah perkembangan
yang kompleks, seJalan dengan pertumbuhan masyarakatnya.
Bisa dipaham bila dalam bukunya Christian Art in Asia, Takenaka
melepaskan sama sekali imaji pola kesenian Kristen. Buku itu
lantas menjadi buku pertama yang menampilkan berbagai episoda
Alkitab dengan bahasa gambar. Ada gambaran kelahiran Kristus
dalam suasana Cina. Ada cerita Kristus berjalan di atas air
dalam pola-pola dekoratif Bali.
Takenaka bahkan melonggarkan persyaratan keimanan. Ia menolak
anggapan bahwa kesenian Kristen mestinya dibuat oleh seniman
Kristen.
Takenaka menunjuk K.C.S. Paniker, seorang seniman India. Tokoh
ini punya pengaruh cukup besar pada senirupa India baru. Di
tahun 1954 ia ditunjuk pemerintahnya untuk memimpin Sekolah
Senirupa Madras yang dianggap berpengaruh.
Paniker sendiri beragama Hindu. Namun ia sangat tertarik pada
ekspresi-ekspresi religius. Merasa tak menemukannya pada
pola-pola Hindu, ia mengambil berbagai cerita Alkitab.
Takenaka juga mencatat Gerakan Kesenian Rakyat 'Mingei' di
Jepang. Mereka pada awalnya ingin menghidupkan kembali kesenian
rakyat yang pernah hidup pada masa feodalisme okugawa--seperti
cukilan kayu, keramik, lukisan pada kertas jerami dan beberapa
lagi.
Gerakan itu kebetulan ditokohi beberapa seniman Kristen:
Yoshinosuke Tonomura, bekas pendeta yang menjadi direktur Museum
Kesenian Rakyat di Kurashiki, dan Hachiro Yuasa, bekas rektor
Universitas Kristen Tokyo yang kini menjadi ketua Perkumpulan
Kesenian Rakyat, Kyoto.
SEJUMLAH besar sen iman Jepang non-Kristen tentu saja ikut
dalam gerakan tersebut. Dua di antaranya Shiko Munakata dan
Keisuke Serizawa. Keduanya dikenal sebagai seniman grafis
terkemuka di Jepang.
Nah. Secara tak disengaja, banyak cerita Alkitab masuk dalam
karyakarya gerakan ini. 'Mingei' lantas menjadi sebuah pola bagi
peninjauan Takenaka dalam bukunya. Ia mencatat: dalam
perkembangan kesenian di Asia, terdapat kegelisahan yang sering
melahirkan gerakan, dengan kesenian tradisional sebagai salah
satu bagian konfliknya.
Kegelisahan seperti itu melahirkan sikap keras pada seniman
Kristen Srilanka, S. Kirinde. Seniman yang satu ini berpendapat,
kesenian di Srilanka pada galibnya kesenian yang sangat
religius, dan seniman adalah orang yang peka terhadap impuls
masyarakat di sekelilingnya. Namun, katanya lagi, kesenian ini
rusak dengan datangnya orang Barat: Portugis, Belanda kemudian,
dan yang terakhir Inggris.
Dari kerusakan itu, Kirinde berpendapat, lahir kesenian
awut-awutan. "Orang Inggris meminta orang Srilanka memegang
identitasnya sendiri dalam darah dan warna. Tapi menuntut mereka
memeluk moral dan berpendapat seperti orang Barat!" tulis
Kirinde kalap.
Kesenian yang tak pas itu menurut Kirinde jadinya terpisah dari
lingkungan. "Ada sejumlah kaum menengah yang merasa berbudaya,
tapi kenyataannya memakai baju yang kedodoran," tulisnya lagi.
Dalam kacamata Kirinde, kekristenan lantas berada dalam keadaan
sangat terjepit. Kristen, betapapun sulit untuk menghilangkan
warna Barat-nya. Di samping itu kelompok Kristen Srilanka adalah
kelompok minoritas, yang sangat mudah dicap terpisah dari
lingkungan. Warna eksklusif kesenian dan budayanya memang bisa
jadi simbol pemisah yang menakutkan. Itu barangkali yang
diperingatkan Kirinde.
Masalah itu juga terlihat di Indonesia: bagaimana orang yang
datang ke gereja harus bangga dengan memakai dasi,
misalnya--sementara saudaranya yang ke masjid atau ke pura pada
memakai sarung.
Dari pendapat Kirinde, Takenaka mengamati konflik yang umumnya
menerpa bangsa-bangsa di Asia. Bangsa-bangsa ini umumnya bangsa
yang marah karena kebudayaan mereka diinjak-injak masa
penjajahan. Karena itu segala macam yang berbau Barat-alias
penjajah--serta merta dimusuhi.
Dan kutub yang secara diametral berbeda dari segala sesuatu yang
Barat itu mudah dicari -- berada di sekitar kesenian
tradisional. Ini bahkan tak jarang digali dari kejayaan masa
lalu-bagian peninggalan yang sebenarnya tak lagi bicara atau
mentradisi.
Tapi itu muncul sebagai ekspresi yang dihasratkan. Dan
kecurigaan menjadi kompleks--karena, tragisnya, peninggalan masa
lalu yang dikenal bangsa-bangsa Asia umumnya dari penelitian
orang-orang Barat yang (di hari-hari kemarin) penjajah itu.
Tentu, tak semua pencarian identitas mengalami jalan buntu.
Takenaka menunjuk pendapat pelukis Indonesia S. Sudjojono.
Tokoh yang disebutnya sebagai Bapak Senirupa Indonesia Baru itu,
cenderung berpendapat: identitas terletak pada kesehari-harian.
"Seorang yang melukiskan hal yang sehari-hari di sekitarnya,
akan menemukan identitas bangsanya," katanya.
Ini nampaknya menyelesaikan persoalan. Juga persoalan
kekristenan di masyarakat Asia. Bukankah kekristenan bisa
disebutkan bagian dari kesehari-harian, bagian dari kebudayaan
dan perubahan masyarakat mutakhir?
Berbagai hal positif muncul lewat konsepsi ini. Pada karya
Sudjojono Nabi Nuh dan Waktunya, cerita Alkitab jadi punya gaung
yang panjang. Sejumlah wajah yang berdesakan--dibuat dengan
warna kusam--tidak hanya mengasosiasikan orang-orang yang
berkumpul di perahu Nabi Nuh sambil mendengarkan dunia yang
"sedang kiamat"--kisah yang juga dilestarikan dalam agama Islam.
Di sana nampak juga sejumlah orang gelisah yang berdesakan. Dan
cerita itu tiba-tiba muncul dengan ekspresi penderitaan yang
aktual.
Kesimpulan ini akhirnya kembali ke pendapat D.T. Niles:
pentingnya tanah dan kebudayaan. Bahasa dalam kesenian, seperti
juga agama, hendaknya berakar ke situ. Tidak berjarak. Entah itu
masalah sosial di suatu lingkungan atau pola tradisi.
Ini yang mewarnai kesimpulan Takenaka. Ia menyebutkan, dalam
garis besar terdapat dua pola senirupa kristiani Asia. Yang
pertama, yang lebih tenang, ungkapan cerita Alkitab lewat
beberapa bahasa senirupa yang sudah mentradisi.
Ini bisa ditemukan pada sekelompok bangsa, atau rumpun bangsa,
yang masih akrab dengan tradisi senirupa yang masih menerus.
Umpamanya Bali, Cina, Jepang, India dan beberapa lagi.
Pola kedua - yang lebih gelisah-terombang-ambing di antara
"bahasa senirupa yang universal", konflik Barat-Timur, dan bukan
tak mungkin masalah-masalah sekitar agamanya sendiri.
Namun aneh, pada pola kedua itu ekspresi lebih jelas terbaca.
Seperti kata T.B. Simatupang, "Gambaran dari penderitaan dan
harapanù"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini