Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Jalan setapak ke perbatasan

Penduduk desa entekong di perbatasan kalimantan barat & malaysia timur, mempunyai pekerjaan sambilan, sebagai pengangkut barang. mereka melintasi perbatasan menuju tebedu.

26 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETIAP pagi sejumlah lelaki berbondong-bondong menyusuri jalan setapak di tengah hutan. Naik-turun bukit, menyeberangi rawa dan sungai kecil. Mereka menyandang tangkin (keranjang) mengangkut lada, kopi, jagung, daging rusa buruan. Ada pula yang menuntun kambing. Walaupun jalanan licin di waktu hujan, kaki mereka sangat tangkas. Mereka adalah para pengambin (pengangkut barang) dari desa-desa di perbatasan antara Kalimantan Barat dengan Malaysia Timur. Pekerjaan sambilan ini mereka lakukan di musim paceklik. Atau kalau sedang tidak menugal atau menuai padi di ladang. Tanpa itu hidup mereka susah. Ladang hanya bisa dipanen sekali setahun. Di wilayah Indonesia di perbatasan itu memang sudah ada jalan cukup lebar sampai tapal perbatasan. Dibuat dengan bantuan Australia, jalan itu bisa dilewati mobil, kecuali di musim hujan. Sebuah jembatan beton sepanjang 70 meter di mulut Entekong, desa Indonesia yang paling dekat dengan perbatasan, juga sudah rampung Agustus lalu. Walaupun begitu, rupanya para pengambin masih lebih senang melewati jalan setapak. Di kawasan Malaysia Timur baru tahun depan akan dibuka jalan sampai ke Tebedu. Pengaturan lalu-lintas antara Entekong dan Tebedu termasuk salah satu pembicaraan dalam pertemuan antara kedua belah pihak minggu ini di Entekong. Para pengamin berangkat dari Entckong, di Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau. Desa ini hanya 1,7 km dari perbatasan. Tujuan mereka adalah Tebedu, sebuah desa yang ramai di Sarawak, 7 km dari Entekong. Di Tebedu tak kurang dari 20 toko siap menampung barang dan melayani kebutuhan para pengambin. Menurut catatan Otorita Perbatasan Kanwil Imigrasi Kal-Bar yang baru dibuka 2 tahun lalu di Entekong, lalulintas penduduk di perbatasan itu sejak 1979 meningkat rata-rata 20% setahun. "Tahun ini paling besar. Setiap bulan tak kurang dari 200 orang. November lalu malah ada 900 orang lebih," kata Usman, petugas Otorita Perbatasan. Untuk menertibkan lalu-lintas orang dan barang, pihak otorita mewajibkan setiap pengambin membawa buku pas lintas (semacam paspor) bersampul merah. Tanpa pas ini, tak seorang pun boleh melewati perbatasan. Para pengambin adalah kuli angkut yang diupah para peraih atau tauke pemilik barang di Balai Karangan (ibukota Kecamatan Sekayam). Barang-barang bawaan, maupun orang, tak dikenai pajak atau bea apa pun oleh pihak Bea Cukai. Sardin Seorang peraih bisa mengupah sekaligus 10 orang pengambin yang masing-masing mampu membawa barang antara 30 sampai 50 kg. Upahnya M$ 0,20 atau Rp 50/kg. "Kalau sehari mendapat upah Rp 1.500, cukuplah buat makan anak bini,". kata Bujai, Kebayan Desa Entekong. Para peraih ternyata juga menitipkan uang antara 100 hingga 400 ringgit Malaysia kepada masing-masing pengambin. Uang ini, berikut uang hasil penjualan hasil bumi yang diangkut para pengambin, dibelikan barang-barang dagangan sesuai dengan pesanan si peraih alias pemilik uang. Barang-barang itu, misalnya, sepatu, jam tangan, radio transistor, alat perekam dan celana jean. Begitu pula barang makanan dan hampir semua kebutuhan sehari-hari. Atas jasa mereka memikul barang-barang pesanan itu, para pengambin mendapat upah pula. Karena itu, tak heran jika warung-warung di Entekong memajang barang-barang impor serupa itu. Yang paling banyak dimasukkan adalah ikan sardin, hingga sempat menyaingi sardin produksi dalam negeri, Pronas. Harga sardin impor itu lebih murah dan rasanya lebih enak dibanding buatan dalam negeri. Di Entekong, juga di desa-desa lain di perbatasan, sudah tak ada lagi sisa-sisa permusuhan di zaman konfrontasi. Bekas-bekas luka akibat keganasan PGRS/Paraku juga sudah tak terasa. Cuma fasilitas di Entekong yang dihuni 82 kk ini masih kurang memadai. Listrik yang mestinya masuk September lalu, tiang-tiangnya masih tergeletak di jalan. Puskesmas dan pos polisi baru saja berdiri, sementara jalan-jalan belum sempat dikeraskan. Markas Babinsa, masih menempati sebuah rumah papan di tepi lapangan bola. Di wilayah Sarawak hampir sebaliknya. Pelayanan kesehatan, misalnya, cukup menggiurkan. "Di Tebedu mencabut gigi tak bayar sedang di Balai Karangan tak ada dokter gigi," kata Fathilah, penduduk Entekong. Di wilayah Malaysia, mulai dari bersuntik sampai operasi usus buntu dan memasang mata palsu gratis. Juga untuk orang Indonesia. Tapi hal itu ternyata tidak mendorong warga Kecamatan Sekayam menjadi warga negara Malaysia. "Ah, rasanya masih enak di kampung sendiri," kata Supriyem yang sering menyeberang ke Sarawak. "Barang-barang memang murah, tapi tanah untuk rumah di daerah Sarawak mahal. Kalau di sini sudah terjepit, baiklah cari kerjaan ke sana," tambahnya. Mencari nafkah di negeri jiran itu memang mudah. Karena itu tidak sedikit buruh musiman yang bekerja di perusahaan-perusahaan kayu, perkebunan lada atau kelapa sawit. Ada yang punya KTP Entekong, tapi juga KTP Kuching atau paspor Sarawak. Jodoh pun sering terjalin antara penduduk sini dan warga sana. Karena terlalu lama di rantau, para pekerja Indonesia di Malaysia Timur lebih banyak mengenal pejabat Malaysia daripada para pemimpin Indonesia. Itulah sebabnya, sampai 1980, Pemda Kal-Bar merasa perlu menyebar-luaskan gambar Presiden Soeharto dan Wapres Adam Malik di desa-desa perbatasan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus