SETIAP pagi sejumlah lelaki berbondong-bondong menyusuri jalan
setapak di tengah hutan. Naik-turun bukit, menyeberangi rawa dan
sungai kecil. Mereka menyandang tangkin (keranjang) mengangkut
lada, kopi, jagung, daging rusa buruan. Ada pula yang menuntun
kambing. Walaupun jalanan licin di waktu hujan, kaki mereka
sangat tangkas.
Mereka adalah para pengambin (pengangkut barang) dari desa-desa
di perbatasan antara Kalimantan Barat dengan Malaysia Timur.
Pekerjaan sambilan ini mereka lakukan di musim paceklik. Atau
kalau sedang tidak menugal atau menuai padi di ladang. Tanpa itu
hidup mereka susah. Ladang hanya bisa dipanen sekali setahun.
Di wilayah Indonesia di perbatasan itu memang sudah ada jalan
cukup lebar sampai tapal perbatasan. Dibuat dengan bantuan
Australia, jalan itu bisa dilewati mobil, kecuali di musim
hujan. Sebuah jembatan beton sepanjang 70 meter di mulut
Entekong, desa Indonesia yang paling dekat dengan perbatasan,
juga sudah rampung Agustus lalu. Walaupun begitu, rupanya para
pengambin masih lebih senang melewati jalan setapak.
Di kawasan Malaysia Timur baru tahun depan akan dibuka jalan
sampai ke Tebedu. Pengaturan lalu-lintas antara Entekong dan
Tebedu termasuk salah satu pembicaraan dalam pertemuan antara
kedua belah pihak minggu ini di Entekong.
Para pengamin berangkat dari Entckong, di Kecamatan Sekayam,
Kabupaten Sanggau. Desa ini hanya 1,7 km dari perbatasan. Tujuan
mereka adalah Tebedu, sebuah desa yang ramai di Sarawak, 7 km
dari Entekong. Di Tebedu tak kurang dari 20 toko siap menampung
barang dan melayani kebutuhan para pengambin.
Menurut catatan Otorita Perbatasan Kanwil Imigrasi Kal-Bar yang
baru dibuka 2 tahun lalu di Entekong, lalulintas penduduk di
perbatasan itu sejak 1979 meningkat rata-rata 20% setahun.
"Tahun ini paling besar. Setiap bulan tak kurang dari 200 orang.
November lalu malah ada 900 orang lebih," kata Usman, petugas
Otorita Perbatasan.
Untuk menertibkan lalu-lintas orang dan barang, pihak otorita
mewajibkan setiap pengambin membawa buku pas lintas (semacam
paspor) bersampul merah. Tanpa pas ini, tak seorang pun boleh
melewati perbatasan.
Para pengambin adalah kuli angkut yang diupah para peraih atau
tauke pemilik barang di Balai Karangan (ibukota Kecamatan
Sekayam). Barang-barang bawaan, maupun orang, tak dikenai pajak
atau bea apa pun oleh pihak Bea Cukai.
Sardin
Seorang peraih bisa mengupah sekaligus 10 orang pengambin yang
masing-masing mampu membawa barang antara 30 sampai 50 kg.
Upahnya M$ 0,20 atau Rp 50/kg. "Kalau sehari mendapat upah Rp
1.500, cukuplah buat makan anak bini,". kata Bujai, Kebayan
Desa Entekong.
Para peraih ternyata juga menitipkan uang antara 100 hingga 400
ringgit Malaysia kepada masing-masing pengambin. Uang ini,
berikut uang hasil penjualan hasil bumi yang diangkut para
pengambin, dibelikan barang-barang dagangan sesuai dengan
pesanan si peraih alias pemilik uang. Barang-barang itu,
misalnya, sepatu, jam tangan, radio transistor, alat perekam dan
celana jean. Begitu pula barang makanan dan hampir semua
kebutuhan sehari-hari. Atas jasa mereka memikul barang-barang
pesanan itu, para pengambin mendapat upah pula.
Karena itu, tak heran jika warung-warung di Entekong memajang
barang-barang impor serupa itu. Yang paling banyak dimasukkan
adalah ikan sardin, hingga sempat menyaingi sardin produksi
dalam negeri, Pronas. Harga sardin impor itu lebih murah dan
rasanya lebih enak dibanding buatan dalam negeri.
Di Entekong, juga di desa-desa lain di perbatasan, sudah tak ada
lagi sisa-sisa permusuhan di zaman konfrontasi. Bekas-bekas luka
akibat keganasan PGRS/Paraku juga sudah tak terasa.
Cuma fasilitas di Entekong yang dihuni 82 kk ini masih kurang
memadai. Listrik yang mestinya masuk September lalu,
tiang-tiangnya masih tergeletak di jalan. Puskesmas dan pos
polisi baru saja berdiri, sementara jalan-jalan belum sempat
dikeraskan. Markas Babinsa, masih menempati sebuah rumah papan
di tepi lapangan bola.
Di wilayah Sarawak hampir sebaliknya. Pelayanan kesehatan,
misalnya, cukup menggiurkan. "Di Tebedu mencabut gigi tak bayar
sedang di Balai Karangan tak ada dokter gigi," kata Fathilah,
penduduk Entekong. Di wilayah Malaysia, mulai dari bersuntik
sampai operasi usus buntu dan memasang mata palsu gratis. Juga
untuk orang Indonesia.
Tapi hal itu ternyata tidak mendorong warga Kecamatan Sekayam
menjadi warga negara Malaysia. "Ah, rasanya masih enak di
kampung sendiri," kata Supriyem yang sering menyeberang ke
Sarawak. "Barang-barang memang murah, tapi tanah untuk rumah di
daerah Sarawak mahal. Kalau di sini sudah terjepit, baiklah cari
kerjaan ke sana," tambahnya.
Mencari nafkah di negeri jiran itu memang mudah. Karena itu
tidak sedikit buruh musiman yang bekerja di
perusahaan-perusahaan kayu, perkebunan lada atau kelapa sawit.
Ada yang punya KTP Entekong, tapi juga KTP Kuching atau paspor
Sarawak. Jodoh pun sering terjalin antara penduduk sini dan
warga sana.
Karena terlalu lama di rantau, para pekerja Indonesia di
Malaysia Timur lebih banyak mengenal pejabat Malaysia daripada
para pemimpin Indonesia. Itulah sebabnya, sampai 1980, Pemda
Kal-Bar merasa perlu menyebar-luaskan gambar Presiden Soeharto
dan Wapres Adam Malik di desa-desa perbatasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini