WAJAH kali ini menjadi baru. Pembaca sudah lihat 'kan? Logo
(letterhead) TEMPO yang tadinya type Times diubah menjadi type
Friz Quadrata. Berbareng dengan itu dipersempitlah garis merah
pada tepi kiri-kanan dan-atas. Sementara itu garis merah sebelah
bawah diperlebar. Maksudnya: kesan "wagu" atau kaku yang semula
ada ingin kami hilangkan. Sesuai pula dengan usul para pembaca
yang suka membundel TEMPO, di kulit muka selain tanggal
penerbitan, juga kami cantumkan nomor majalah.
Tatamuka (sebagai istilah yang menurut kami lebih tepat daripada
istilah lain) dari rubrik ke rubrik juga berubah. Bahkan nama
rubrik ada yang kami perbaharui. "Sidang Pendapat", berubah
menjadi "Komentar". "Internasional" menjadi "Luar Negeri".
"Fokus Kita" menjadi "Catatan Pinggir" -- karena isinya telah
berkembang sedemikian rupa hingga lebih bersifat renungan dan
omongan di pinggir peristiwa-peristiwa dan bukan lagi di
pusatnya. Dulu, "Fokus Kita" sebetulnya untuk mengantar isi
TEMPO yang penting-penting, tapi kemudian diubah karena
"kecap"nya sangat membosankan (terutama bagi penulisnya).
Memang Aneh
Juga kami tak lagi menggunakan istilah "reporter" untuk susunan
pengasuh. Sebab, dalam gerak baru TEMPO setiap orang di redaksi
-termasuk pemimpin redaksi - adalah reporter. Untuk itu, kini
dalam mekanisme TEMPO dibentuk lembaga koordinasi reportase.
Koordinator ini, dan wakilnya, dicalonkan beramai-ramai dalam
rapat pleno redaksi, dan kemudian diangkat oleh pemimpin redaksi
melalui rapat dengan para redaktur pelaksana. Yusril Djalinus
adalah pilihan kali ini, dengan Harun Musawa sebagai wakilnya.
Cara pemilihan begitu memang agak aneh buat suatu perusahaan
pers - tapi yah, di TEMPO memang banyak yang aneh.
Cuma rasanya tidak aneh jika apa yang tadinya disebut lapisan
"reporter" kini menjadi "asisten redaksi". Nama-nama mereka tak
ada yang baru, kecuali bahwa D.S. Karma, Syahrir Wahab, Yunus
Kasim, pindah ke Staf Redaksi. Nama yang baru, di samping Amir
Daud yang pegang desk Bisnis, adalah S. Prinka, pelukis yang
mengatur tata muka di TEMPO sejak nomor ini dan duduk sebagai
redaktur tatamuka. Nama lain adalah A. Dahana, yang sudah
beberapa kali menulis tentang masalah RRT di TEMPO. Ia memegang
bagian riset.
Kemudian bisa dicatat nama baru dalam "rombongan" koresponden:
Husni Alatas (tadinya pembantu tetap untuk Palu), Muchlis Sulin
(tadinya pembantu tetap untuk Padang) dan Rida K. Liamsi
(tadinya pembantu tetap untuk Riau). Mungkin perlu diketahui
juga bahwa teman-teman dari daerah secara bergilir diminta ke
Jakarta selama satu bulan untuk bekerja di "pusat". Yang sudah
kembali ialah Rida K. Liamsi dan Metese Mulyono. Kini di Jakarta
datang (mungkin akan terpaksa ikut membantu kerja "pindah
kantor") Imam Subagio dan Phill M. Sulu.
***
Lantai ruang redaksi TEMPO bergoyang. Tanpa gempa. Lantai di
tingkat dua itu memang selalu bergoyang bila ada orang lewat,
terutama bila beratnya di atas 60 kilo. Seorang tamu pernah
pucat karenanya. Tapi orang-orang TEMPO yakin betul: lantai itu
tak akan runtuh. Insya Allah.
Senen Raya 83 memang gedung tua. Luasnya tak kurang dari
10 x 30 mÿFD, bertingkat dua. Terletak mepet ke tepi jalan,
hingga untuk memarkir mobil ukuran apa pun diperlukan syaraf
yang kuat dan juga teriakan yang sama kuatnya. Maklum: Senen
Raya jalan yang ramai.
Tapi dalam gedung bekas apotik "Ban An" dan entah bekas apa
lagi itu, orang harus membiasakan diri dengan kesempitan dan
kebisingan. Sebab di sinilah TEM~PO diolah hampir setiap hari,
termasuk Minggu. Sejak TEMPO pertama kali terbit. "Saya tak
membayangkan gedung TEMPO seperti ini", kata seorang tamu dari
daerah. Dia tak bilang bentuknyakah yang ia maksud, atau
sempitnya, atau baunya.
Sejumlah tamu dari Malaysia yang dijamu makan siang di sini
berkata: "Saudara-saudara masih mempertahankan adat kita".
Adapun makan siang itu berlangsung di tikar, yang dibentangkan
setelah meja-meja redaksi disingkirkan. Alasan sebenarnya
bukanlah "adat kita" Soalnya tak ada ruang lain.
Tak berlebihan, rata-rata orang TEMPO bangga dan mungkin cinta
gedung ini. Ada "kejorokan" yang khas pada setiap kantor
penerbitan pers. Suatu ketika lantai-lantai dipel secara
spesial, karena akan ada tamu penting: duta besar Inggeris Ford.
Sehari kemudian lantai masih licin. Menurut cerita, pemimpin
redaksi sampai tergelincir, jatuh. Untung tak seorang pun
melihatnya: ruang masih kosong dan yang tertawa rasanya cuma
pelbagai jenis poster dan potret yang secara berantakan dipasang
di dinding...
Jam kerja untuk redaksi, memang agak sembarangan. Yang rapi
ialah bagian tatausaha, dan juga bagian produksi & tatamuka.
Anda bisa datang hampir jam 10 malam kemari, dan menemukan
seseorang sedang tekun mengetik. Laporan utama, tugas yang
mengerikan itu? Mungkin. Tapi mungkin juga tidak. Mungkin ia
mengetik novel, kumpulan puisi, atau surat kepada pacar, atau
catatan mimpinya sendiri, atau mungkin skripsi.
Dari para redaksi TEMPO. Memang produksi tidak cuma berbentuk
laporan utama, laporan-laporan lain buat pembaca, tapi juga
sejumlah naskah lain: novel, kumpulan cerita pendek. drama,
kumpulan esei, puisi, dan juga skripsi kesarjanaan. Banyak yang
sudah diterbitkan... tapi tak usah disebut, nanti terasa sekali
bau iklannya. Meskipun sekarang lagi musim kampanye.
Aneh juga, bahwa dalam "kekalangkabutan" itu di sini orang masih
bisa membikin perencanaan. Ada perencanaan tema-tema laporan
utama, target sirkulasi, kampanye periklanan. Tak ketinggalan:
setiap sen uang dan senti meter yang paling kecil dalam proses
produksi dan tatamuka.
Rapat-rapat memegang peranan yang cukup penting dalam proses
TEMPO. Ada rapat direksi dan sidang pimpinan setiap minggu
dipimpin Eric Samola, di mana tabel dan angka bersliweran dalam
susunan demi susunan. Ada rapat pleno redaksi, setiap bulan.
Ada rapat-rapat kecil antar redaktur pelaksana, rapat regu
proyek laporan utama, rapat kepala desk dengan pemimpin redaksi
dan koordinator reportase, dan lain-lain.
Di samping itu, pertemuan antar siapa saja dalam TEMPO bisa
terjadi, khususnya dalam bentuk diskusi. Ide, pemikiran, sikap
yang saling menunjang, berkembang dan tumbuh dari sana. Di sini
semboyannya: "mulut boleh kotor, pikiran harus jernih".
**
Lalu, menginjak tahun ke-VII - barangkali bisa disebut "tahun
baru" awal Maret ini TEMPO menginjak kantor haru. Proyek Senen.
Blok II, Lantai III, Jakarta Pusat. Nomor telepon tetap: 43561 &
52946 dan surat-surat dapat dialamatkan pada Kotak Pos 4223/Jkt.
Berbeda dari kantor lama, di sini tak ada lagi sebutan "orang
atas" dan "orang bawah". Sebab semua karyawan duduk di satu
lantai. Hingga komunikasi lebih mudah. Cuma ruang-ruangnya
saja yang terpisah.
Meski begitu, redaksi dan asisten redaksi (d/h reporter)
berkumpul di ruang utama yang luasnya 16,80 x 12,60 mÿFD. Kantor
yang ini seperti kantor "sungguh-sunggu~h. Paling tidak lantainya
tak lagi goyang. Dan mudah-mudahan juga membuat kerja
orang-orangnya lebih mantap (seraya tetap santai). 'Kan tidak
lagi berjubel.
Di sana ada ruang tamu, ruang rapat yang panjang, ruang
dokumentasi yang 2« x dari yang dulu. Ada dapur dan 4 kamar
kecil. Juga mushalla (lengkap dengan 4 leiding air wudhu) yang
diberi nama 'Mushalla Ahmad Wahib' - menurut nama wartawan TEMPO
almarhum.
Yang mau bertamu silakan lewat tangga besar depan menara jam
"Enicar" belok kiri, mendaki tangga 2 kali. Atau lewat tangga
sebelah kiri yang menghadap Jalan Pasar Senen, belok kanan, 2
kali naik tangga lalu ke kiri. Boleh pula lewat parkir lantai
atas, masuk lubang "pintu" (sebelah kiri papan nama "Proyek
Senen"), menuruni tangga 2 kali. Tapi ingat untuk parkir
kendaraan, ongkosnya dihitung tiap jam . . .
Masih bingung" Datang saja ke kantor lama. Di sana, selama 3
bulan, masih ada yang menunggu. Nanti 'kan ada yang menunjukkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini