TOKOH kita kali ini adalah Werkudara: ia gelisah. Gambaran
populer tentang pahlawan wayang ini, putera kedua dalam keluarga
Pandawa ini, ialah seorang yang stabil, kokoh, bertubuh tegap.
Tapi menurut cerita tentang Dewa Ruci yang termashur itu,
Werkudara bukan cuma unggul dalam "kultur jasmani". Aneh juga
bahwa para pujangga Jawa lama memilihnya justru untuk tokoh yang
mencari di dunia batin.
Dalam Serat Cabolek, misalnya, karya Yasadipura I dalam masa
pemerintahan Paku Buwana IV, Werkudara digambarkan bukan sebagai
seorang yang ingin "menitis" atau dilahirkan kembali sebagai
raja. "Ada yang menitis dalam diri raja", tulis Yasadipura.
"Yang kaya harta dan kaya isteri. Ada yang ingin menitis dalam
diri pangeran, yang kelak memangku kerajaan". Semua itu, "adalah
untuk mendapatkan superioritas (kaluwihan)". Sang Werkudara,
sebaliknya, hanya ingin cukup arif untuk mengenal pribadinya
sendiri.
Mungkin bisa dibayangkan apa yang terjadi. Ia pangeran. Ia punya
hak untuk kekuasaan dan kemewahan. Tapi ia juga menyaksikan
kecemburuan dan nafsu di sekitarnya, juga untuk
kemewahan-kemewahan kecil. Sementara itu ia belajar tentang
kebajikan menahan diri dan bersikap mengalah. Ia dilatih untuk
memandang rendah segala hasrat menuntut benda duniawi. Maka
mungkin ia ragu, bisakah ia mengharapkan kemuliaan hati manusia?
Mungkin ia bertanya: manakah yang benar bagi kita semua --
hasrat duniawi atau tiadanya hasrat itu?
Artinya, ia harus mengerti, adakah sikap ksatria untuk menahan
diri merupakan sikap yang wajar Pertanyaan semacam itu adalah
pertanyaan tentang gambaran manusia. Adakah manusia itu makhluk
yang lemah tapi licin? Ataukah ia makhluk yang secara rohaniah
kuat untuk tidak terguncang oleh benda-benda? Tak mudah untuk
menjawabnya. Werkudara tidak mengadakan riset atau survai.
Sehebat-hebatnya riset toh hanya bisa melukiskan secara
terbatas. Karena itu, ia harus menengok jauh ke dalam lubuk
hatinya sendiri.
Dari situlah ia berangkat. Seorang yang menghalalkan nafsu, rasa
cemburu dan serakahnya sendiri akan melihat manusia bukan
sebagai makhluk yang luhur. Sementara itu, seorang yang pernah
berhasil melawan nafsunya, dan terus bertekad untuk itu, akan
melihat manusia lebih dari sekedar kelenjar hidup.
Dan Werkudara sampai pada kesimpulan yang kedua:
. . . manusia tinitah luwih, apan ingaken rahsa mulya dewe
saking kang dumadi.... (manusia ditakdirkan lebih dari semua
makhluk, terpandang sebagai Diri rahasia Tuhan, dan paling mulia
dari semua ciptaan).
Kita tidak tahu apa selanjutnya yang terjadi dengan kesimpulan
itu sampai saat kisah keluarga Pandawa berakhir. Cerita Dewa
Ruci memang episoda yang terpisah dari epos Mahabharata umumnya.
Tapi dengan keyakinan yang diperolehnya itu, tak sukar bagi
Werkudara untuk bertahan dari rasa kekurangan badan dan rasa
cemburu, selama dibuang di hutan. Agaknya sebab ia berbahagia,
dengan mulut yang tak mengoceh
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini