Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Mencari dunia batin

Werkudara adalah kesatria pandawa yang memilih dunia batin. ia belajar menahan diri dari kesenangan duniawi dan bersikap mengalah. ia dilatih untuk memandang rendah segala hasrat menuntut benda duniawi.

5 Maret 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TOKOH kita kali ini adalah Werkudara: ia gelisah. Gambaran populer tentang pahlawan wayang ini, putera kedua dalam keluarga Pandawa ini, ialah seorang yang stabil, kokoh, bertubuh tegap. Tapi menurut cerita tentang Dewa Ruci yang termashur itu, Werkudara bukan cuma unggul dalam "kultur jasmani". Aneh juga bahwa para pujangga Jawa lama memilihnya justru untuk tokoh yang mencari di dunia batin. Dalam Serat Cabolek, misalnya, karya Yasadipura I dalam masa pemerintahan Paku Buwana IV, Werkudara digambarkan bukan sebagai seorang yang ingin "menitis" atau dilahirkan kembali sebagai raja. "Ada yang menitis dalam diri raja", tulis Yasadipura. "Yang kaya harta dan kaya isteri. Ada yang ingin menitis dalam diri pangeran, yang kelak memangku kerajaan". Semua itu, "adalah untuk mendapatkan superioritas (kaluwihan)". Sang Werkudara, sebaliknya, hanya ingin cukup arif untuk mengenal pribadinya sendiri. Mungkin bisa dibayangkan apa yang terjadi. Ia pangeran. Ia punya hak untuk kekuasaan dan kemewahan. Tapi ia juga menyaksikan kecemburuan dan nafsu di sekitarnya, juga untuk kemewahan-kemewahan kecil. Sementara itu ia belajar tentang kebajikan menahan diri dan bersikap mengalah. Ia dilatih untuk memandang rendah segala hasrat menuntut benda duniawi. Maka mungkin ia ragu, bisakah ia mengharapkan kemuliaan hati manusia? Mungkin ia bertanya: manakah yang benar bagi kita semua -- hasrat duniawi atau tiadanya hasrat itu? Artinya, ia harus mengerti, adakah sikap ksatria untuk menahan diri merupakan sikap yang wajar Pertanyaan semacam itu adalah pertanyaan tentang gambaran manusia. Adakah manusia itu makhluk yang lemah tapi licin? Ataukah ia makhluk yang secara rohaniah kuat untuk tidak terguncang oleh benda-benda? Tak mudah untuk menjawabnya. Werkudara tidak mengadakan riset atau survai. Sehebat-hebatnya riset toh hanya bisa melukiskan secara terbatas. Karena itu, ia harus menengok jauh ke dalam lubuk hatinya sendiri. Dari situlah ia berangkat. Seorang yang menghalalkan nafsu, rasa cemburu dan serakahnya sendiri akan melihat manusia bukan sebagai makhluk yang luhur. Sementara itu, seorang yang pernah berhasil melawan nafsunya, dan terus bertekad untuk itu, akan melihat manusia lebih dari sekedar kelenjar hidup. Dan Werkudara sampai pada kesimpulan yang kedua: . . . manusia tinitah luwih, apan ingaken rahsa mulya dewe saking kang dumadi.... (manusia ditakdirkan lebih dari semua makhluk, terpandang sebagai Diri rahasia Tuhan, dan paling mulia dari semua ciptaan). Kita tidak tahu apa selanjutnya yang terjadi dengan kesimpulan itu sampai saat kisah keluarga Pandawa berakhir. Cerita Dewa Ruci memang episoda yang terpisah dari epos Mahabharata umumnya. Tapi dengan keyakinan yang diperolehnya itu, tak sukar bagi Werkudara untuk bertahan dari rasa kekurangan badan dan rasa cemburu, selama dibuang di hutan. Agaknya sebab ia berbahagia, dengan mulut yang tak mengoceh

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus