Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Pembaca Dan Koresponden

Beberapa pembaca dan pembantu TEMPO memberikan pen dapatnya. Selain memuji mereka juga memberikan kritik yang sangat berharga bagi perkembangan majalah ini. (sup)

5 Maret 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MESKI tidak ajeg, Saudara Nurman Sahli (51 tahun) selalu membaca TEMPO sejak terbitnya. Menjadi wartawan sejak berusia 18 tahun, kini, untuk menghidupi 6 anak-anaknya, ia bekerja di harian Suara Merdeka, Semarang. Di Sala, sekitar tahun 50-an, pernah terbit majalah film yang cukup baik: Star News - yang kemudian tak terbit lagi tahun 1964. Nurman Sahli adalah pemimpin redaksinya.  Majalah Berita seperti TEMPO merupakan kebutuhan bagi orang yang tidak sempat menelaah isi suratkabar harian. Tapi ternyata TEMPO justru lebih banyak dibaca oleh khalayak dan sudah well-informed, yang baca koran-koran dan majala-majalah yang dengar radio dan nonton TV terutama angkatan mudanya. Ini merupakan bukti bahwa TEMPO sudah menjadi konsumsi masyarakat luas sudah berhasil menjadi sumber idiil.  Setiap TEMPO datang, selalu saya baca lebih dulu Fokus Kita. Acapkali malah lebih dari satu kali. Padat dan ringkas, tapi luas dan jero (dalam: Red.) jangkauannya. Saya rasa membuat Fokus memerlukan kecerdasan dan kejernihan. Suatu kemahiran menulis yang benar-benar merupakan kurnia. Lepas dari siapa penulisnya - satu orang atau lebih -- saya usul: kumpulkan Fokus Kita kelak dibukukan.  Rubrik Surat-surat ternyata masih tetap belum mantap. Tidak setiap terbit mesti hadir. Dan isinya masih selalu banyak koreksi dari pembaca dan rektifikasi dari redaksi. Agaknya TEMPO belum berhasil mengajak pembaca untuk saling tukar komentar, tentang --misalnya - laporan utama. Ini merupakan sarana untuk "senam" pikir dan hati agar demokrasi bisa bergerak. Kenapa TEMPO sudah latah dengan TTS? Kalau mau "asah otak" saya pikir lebih tepat diganti dengan semacam "Kuis TEMPO". Muncul setiap triwulan dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan multiple choice terhadap hal-hal yang pernah dimuat dalam TEMPO selama tiga bulan. Sekaligus dimuat jawabannya pada halaman lain untuk pencekan. Tak usah pula dengan hadiah-hadiah penarik minat segala. Saudara A. Bambang Pradopo adalah pembaca TEMPO yang paling banyak menulis, baik untuk rubrik. Surat-surat maupun Sidang Pendapat. Yang termuat saja ada 22 buah. Berusia 23 tahun dan belum berkeluarga - mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta ini berlangganan sejak TEMPO terbit. TEMPO telah membawa tiupan angin segar dalam dunia pers kita. Betapa tidak. Walaupun membahas masalah-masalah berat tapi TEMPO mengolahnya dengan gaya bahasa yang indah dan lincah, sehingga berita-berita yang ditampilkan menjadi ringan dan sedap dibaca. Tidaklah berlebihan bunyi spanduk di beberapa tempat di Jakarta: TEMPO, merupakan hasil prestasi sastra dan jurnalistik. TEMPO juga dapat menghilangkan image bahwa pers kita kalah dengan pers manca negara. Namun jangan kiranya hal ini menjadikan TEMPO berpuas diri, sehingga menurunkan kadar penampilannya dan bahkan membuatnya sekedar menjadi Humas. Dalam hal ini amat kami sayangkan penghapusan rubrik Esei TEMPO. Kami sadari pula bahwa masalah dalam masyarakat sekarang ini lebih sophisticated dan lebih rumit. Tetapi justru di sinilah terbuka tantangan bagi TEMPO untuk menjadi besar. Bukankah pahlawan keadilan lebih mungkin lahir bila terjadi ketidakadilan? Apakah selama ini TEMPO masih peka terhadap hati-nurani rakyat, bisa menjembatani pendapat-pendapat, baik dari atas ke bawah maupun sebaliknya? "Jembatan" seperti itu terasa semakin perlu, untuk menggalang solidaritas sosial sebagai pangkal-tolak terwujudnya persatuan nasional serta stabilitas yang dinamis yang tidak semu. TEMPO satu-satunya yang berwawancara dengan Ibnu Sutowo (dikutip AP), dan menyebut hutang Pertamina AS$ 10 milyar lebih dikutip Reuter), dan dikutip oleh pers asing lainnya (TEMPO, 27 Maret I976) - Red. S.T. Tjia adalah wartawan kawakan. Untuk memperkenalkannya, biarlah ia sendiri yang bicara: Saya lahir di Tegal, kota kecil di pantai utara Jawa Tengah yang terkenal dengan produksi trasi, ikan asin dan intelektuilnya. Seperti kebanyakan "wong Tegal", sanak dan keluarga mengembara ke lain kota mencari nafkah. Umur saya sudah agak lanjut, lebih dari setengah abad. Tapi semangat masih muda. Setelah tamat SMA di Jakarta, meneruskan pendidikan di Yenching University (Peking) pada jaman B.C. (Before the Communists)jurusan bahasa asing dan jurnalistik. Pengalaman sebagai wartawan antara lain diperoleh di Shanghai, Chungking, Singapura, Hongkong, Surabaya dan Jakarta. Kini sudah non-aktip dari dunia pers, walaupun sewaktu-waktu tangan saya merasa "gatal " ingin menulis lagi. Sekarang saya menyumbangkan tenaga pada sebuah perusahaan industri di Jakarta sebagai English secretary. Sudah menikah (tentu saja), juga dengan "wong Tegal" dan dikaruniai 5 anak yang sekarang bekerja atau bersekolah terpencar-pencar: Darmstadt, Houston New York, Atlanta dan Tokyo. Sebagai ex-wartawan, saya mempunyai hobby membaca banyak koran, majalah dan buku supaya serba mengetahui (well-informed). Tetapi lama kelamaan saya merasa terlalu banyak membuang waktu. Maka saya terpaksa membatasi "kenikmatan hidup" itu dengan mengadakan seleksi. Antara penerbitan-penerbitan yang saya senang dan menyegani adalah TEMPO, karena berita-beritanya yang hangat dan cara menyuguhkannya yang assoooy . . . Memang saya mempunyai "bias" ( kecenderungan ) terhadap TEMPO, mengingat bahwa saya pernah menjadi koresponden khusus majalah Amerika, Time, di Jakarta selama lima tahun. Agak lama juga saya berkenalan dengan TEMPO melalui pembelian eceran tiap minggu. Dari majalah TEMPO saya memperoleh gambaran yang cukup jelas tentang perkembangan-perkembangan berbagai bidang di tanah air kita. Dari politik ke bisnis, dari hukum sampai olahraga. Kadang-kadang saya memperoleh beberapa fakta penting yang tidak dimuat harian-harian. Menurut pendapat saya, koran-koran kita kurang memuat berita-berita aktuil (hardfacts) dan penting, melainkan banyak rencana, anjuran, nasihat dan sebagainya. Kepala-kepala berita di suratkabar sering mengandung kata-kata seperti "harus", "akan", "sebaiknya", "tidak dibenarkan", "jangan", "apabila", dan sebagainya. Tetapi fakta-fakta saja juga tidak banyak arti atau manfaatnya, jika tidak dibubuhi penjelasan, tafsiran, latar-belakang dan sebagainya. Saya suka inter pretatile reporting TEMPO. Selain fakta-fakta, ia juga memberi interpretasi. Dan latar-belakangnya cukup pragmatis, walaupun tempo-tempo agak opinionated seperti majalah Time. Sudah barang tentu saya tidak selalu sependapat dengan fikiran redaksi TEMPO, tetapi ini tidak menjadi soal, oleh karena saya bisa mengambil kesimpulan sendiri. Memang TEMPO adalah majalah berita mingguan untuk golongan cendedekiawan, politikus dan mereka yang berpandangan hidup luas, bukan untuk rakyat jelata. Semoga TEMPO terus bersikap "bebas dan bertanggung jawab". Bebas mengutarakan fikiran dalam tulisan-tulisannya dan bertanggung jawab terhadap para pembaca, negara dan bangsa. Ada 3 koresponden TEMPO yang akan kami perkenalkan. Mereka adalah Dahlan Iskan (Samarinda), Zakaria M. Passe (Medan) dan Putu Setia (Denpasar). Sejak lahir 26 tahun yang lalu, ulang-tahun Dahlan selalu dirayakan di seluruh pelosok tanah air. Ia lahir tanggal 17 Agustus. Sempat beberapa tahun kuliah di Institut Agama Islam Negeri Yogyakarta. Di daerahnya sendiri Dahlan sering menulis untuk beberapa koran lokal. Awal 1974 ia terpilih menjadi peserta pendidikan pers yang diselenggarakan LP3ES di Jakarta, selanjutnya mengikuti job training di TEMPO. Sampai Agustus 1975 ia diangkat sebagai pembantu tetap TEMPO untuk Kalimantan Timur dan selanjutnya koresponden hingga sekarang. "Lima bulan lagi, Insya Allah, akan lahir anak pertama saya, dari pernikahan 2 tahun lalu dengan 'galuh Banjar' Nafsiah Sabri", katanya. Ada pengalaman yang tak mudah dilupakannya. Suatu saat ia membuat laporan mengenai peristiwa yang dianggapnya penting. Beberapa pejabat ia wawancarai, agar lebih obyektif. "Tentu saja pendapat mereka tidak sama, bahkan agak bertentangan", kata Dahlan. Setelah laporan muncul di TEMPO, ada pejabat yang tidak senang - merasa 'diadu' dengan pejabat lain. "Ketika kebetulan saya bertemu dengan pejabat tersebut, saya dituduh 'mengadu-domba'. Saya bermaksud menjelaskannya, tapi tampaknya pejabat itu sudah apriori. Saya berusaha mengendalikan emosi, sebab toh tuduhan itu masih mendingan", tutur Dahlan lagi. Adapun Zakaria M. Passe, bapal dari 3 orang anak ini, lahir di Langsa (Aceh Timur) 1 Juni 1942. Marhum ayahnya yang berasal dari Passe (Aceh Utara) pada zaman Jepan bekerja sebagai pandai besi pembuat parang dan rencong, kemudian jadi polisi - sampai pensiun berpangkat peltu. Sementara sang ayah adalah penari seudati, ibu Zakaria pencinta sastra daerah. Isteri Zakaria sendiri, Nurhayati Syamsuddin sebelum menikah suka menyalin hikayat-hikayat berhuruf Jawi (Arab-Melayu) sedang orangtuanya seorang kolektor hikayat Aceh sampai sekarang. Itulah sebabnya Zakaria mampu menyusun laporan mengenai kesenian tradisionil Aceh untuk Panitia Seni Tradisionil Indonesia, 1973, yang disponsori The Ford Foundation. Pendidikan terakhir Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara (tidak selesai). Puisi Zakaria terbit dalam 3 buku antologi bersama penyair lain: Terminal (1971), Kristal (1974) dan Kuala (1976). Ia juga menulis naskah sandiwara bahkan main drama dengan grup Teater Nasional Medan. Menjadi koresponden sejak TEMPO terbit. Suka dukanya? "Duka, kalau sumber berita pelit memberi keterangan atau payah dijumpai. Atau ada larangan menyiarkan berita". Suka, kalau "tulisan saya mendapat tanggapan positif, atau honor sudah diterima". Dan sebagaimana kebanyakan anak Indonesia yang lain, Putu Setia adalah anak petani. Ia anak petani kopi di Pujungan, kabupaten Tabanan, Bali - sebuah desa tradisionil yang beradat kuat. Di bawah ini Putu menulis tentang dirinya sendiri: Saya hampir saja tidak menikmati bangku sekolah. Untunglah ada tetangga yang mendesak agar "anak ini disekolahkan". Saya pun akhirnya menamatkan SMP di sebuah kota kecamatan kecil, 1966. Agar cepat bekerja, saya lalu memilih sekolah STM di Denpasar. Saya tinggal di sebuah keluarga yang banyak berlangganan koran dan majalah. Dan saya tertarik membaca cerita dan sajak-sajak. Bahkan di ruang praktek sekolah, sementara bergelut dengan besi dan oli, saya banyak menulis sajak, untuk seorang cewek di jurusan bangunan. Tak lama, koran daerah pun menampung sajak saya. Keluar STM tahun 1969, saya harus pulang kampung. Sebagai lelaki pertama tanpa ayah, semua persoalan dan beban adat harus saya pikul. Artinya saya harus berpisah dengan koran. Syukur, saat itu lagi "wabah" drama gong. Dan saya bisa mengabdi demi adat, sekaligus larut memimpin drama gong. Tahun 1972 ada akademi baru: Akademi Jurnalistik Denpasar. Saya ikut kuliah, terpilih sebagai Ketua Senat Mahasiswa, menerbitkan majalah Suara Jurnalistik lalu mendirikan IPMI Komisariat Denpasar. Kemudian sayapun merasa bahwa pekerjaan yang paling cocok untuk saya adalah wartawan. Koran pertama yang memuat berita saya adalah Berita Yudha Jakarta, 1972. Dan sejak itu saya berhenti jadi tukang gambar dan resmi menjadi wartawan harian Angkatan Bersenjata Edisi Nusatenggara. Saat itu saya sudah berumur 21 tahun (maaf, saya lahir 4 April 1951). Setelah konperensi PATA, saya pindah ke Bali Post sampai akhirnya dikirim ke Jakarta mengikuti pendidikan pers LP3ES. Saya disuruh praktek di majalah TEMPO -- walaupun sebelumnya saya protes. Saat itulah, Agustus 1975, untuk pertama kalinya saya membaca TEMPO, yang bagi saya waktu itu "majalah aneh, tanpa paha dan pipi di sampul depan". Saya mendapat mesin tik Royal, hadiah LP3ES sebagai salah satu peserta terbaik. Karena sekarang musim kampanye, saya kepingin juga mengkampanyekan diri. Saya pernah dinyatakan sebagai penulis pariwisata terbaik, menggondol hadiah pertama Lomba Penulisan Pariwisata Nasional ke-II (1975) dengan hadiah tiket Jakarta-Los Angeles serta uang Rp 100.000 berikut patung kayu yang disebut piala. Kalau anda mau percaya, saya sudah kawin sebelum jadi wartawan. Tepatnya 19 Desember 1971. Anak tertua lahir 9 Juni 1974, adiknya menyusul lahir dalam bulan Maret ini juga, barangkali di saat tulisan ini dimuat TEMPO - menurut ramalan dokter.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus