Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Wali Kota dengan Sebuah Radio

Surabaya berubah total sejak dipimpin Tri Rismaharini. Ia memantau proyek hingga ke mandornya.

17 Februari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI radio handy talky milik Kepala Dinas Pekerjaan Umum Surabaya Erna Purnawati, suara cempreng Tri Rismaharini terdengar bercakap dengan seorang penjaga pintu air. Wali Kota Surabaya itu bertanya apakah pengerukan sungai sudah rampung. "Cepat diselesaikan, ya, Pak," kata Risma dalam bahasa Suroboyoan.

Erna, saat sedang berbicara kepada Tempo pada Kamis pekan lalu, menghentikan wawancara begitu suara khas Risma terdengar di saluran radio itu. Ia menyimak pembicaraan bosnya dengan para penjaga pintu air di seluruh Surabaya. "Setiap hari Bu Wali Kota mengecek detail seperti itu," ujarnya.

Menurut Erna, Risma hafal nama-nama penjaga pintu air serta masalah di tiap titik dan jadwal buka-tutupnya. Di musim hujan seperti sekarang, buka-tutup pintu air mesti terjaga dengan tertib agar air dari tiga sungai yang membelah kota tak membeludak. Soalnya, Sungai Kalimas dan Wonokromo berfungsi sebagai drainase ke laut di Pelabuhan Tanjung Perak dan ke timur di Selat Madura. Sedangkan Kali Surabaya berfungsi sebagai penyedia air untuk perusahaan daerah air minum.

Selain tertib buka-tutup pintu, sungai-sungai di Surabaya rutin dikeruk. "Tak ada hari tanpa mengeruk saluran," kata Erna. Pengerukan dilakukan hingga ke Laut Jawa atau Selat Madura. Sejak Risma menjabat wali kota pada September 2010, ada 23 alat berat—dari hanya dua di zaman wali kota sebelumnya—yang mengeruk tanah dan sampah di saluran-saluran air dan sungai. "Giginya sudah rompal-rompal," ujar Erna.

Untuk menghindari kekeringan di musim kemarau, pintu-pintu terakhir dekat laut ditutup sehingga air dari tiga sungai besar itu mengalir ke saluran yang tersebar di seluruh kota. Penutupan pintu sungai juga membuat air laut tak bisa masuk. Dengan cara ini, Surabaya tak banjir saat hujan dan tak kering ketika kemarau. Sumber air PDAM dan air untuk menyiram tanaman kota selalu tersedia.

Pengecekan hingga ke lapangan secara mendetail sudah dilakukan Risma sejak menjabat Kepala Bagian Bina Bangunan pada 2002. Ia kerap terlihat ada di pintu-pintu air pada pukul dua dinihari saat hujan, membawa roti untuk para penjaga itu. Waktu itu, sungai tak dikeruk secara rutin sehingga airnya luber saat rendheng karena dangkal. Ini yang membuat Risma membeli 23 backhoe ketika menjabat wali kota.

Risma terkenal sebagai wali kota yang berhasil menata wajah ibu kota Jawa Timur ini. Surabaya yang panas menjadi sejuk karena ada sembilan jalur hijau dan 54 taman plus delapan hutan kota. Tahun ini, jumlah taman akan ditambah di 46 titik, dan 270 taman pasif diaktifkan. Pembangunan taman-taman itu sudah dijalankan Risma sejak ia menjabat Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan pada 2010.

Setiap taman kota punya tema, seperti Taman Lansia, Taman Persahabatan, dan Taman Ekspresi. Di taman-taman itu, selain tersedia jaringan Internet gratis, ada perpustakaan umum. Untuk membangun hutan kota, Risma membuat program Sajisapo atau "satu jiwa satu pohon". Ketika ia membangun hutan Balasklumprik dan Pakal, ada 5.000 orang yang datang membawa pelbagai jenis pohon.

Selain menghijaukan kota, Risma menata jalan-jalan hingga jalur pedestriannya. Suatu kali, pada 2010, Risma pergi umrah ke Mekah bersama suaminya. Wali Kota Bambang Dwi Hartono, yang telah dua periode memimpin Surabaya dan kemudian "turun pangkat" menjadi wakilnya, menelepon menagih gambar jalur pedestrian yang sesuai dengan lebar jalan agar tak terendam banjir. Banyak warga kota celaka karena terperosok di trotoar yang tergerus air.

Di depan Mekah itu, sarjana arsitektur Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya ini membuat gambar desain trotoar dan mengirimnya via surat elektronik ke Bambang. Rupanya, meski setuju dengan konsep Risma, Bambang cemas terhadap dampak setelah trotoar jadi bagus karena akan dibanjiri pedagang kaki lima. "Saya bilang tak apa daripada pedagang itu pindah mengotori taman," kata Risma.

Mendahulukan kepentingan manusia seraya merawat kerapian kota adalah ciri khas manajemen pemerintahan Risma. Ketika ia menjabat Kepala Bagian Bina Bangunan pada 2002, ia mulai membuat konsep rumah singgah untuk menampung pengemis dan gelandangan. Seorang pejabat menuturkan Risma membangun banyak rumah singgah untuk menampung mereka yang tak punya tempat tinggal. Rumah singgah terus diperbanyak ketika ia menjabat wali kota.

Jika sedang berkeliling lalu melihat pengemis atau anak imbesil, Risma mengangkut dan menempatkan mereka ke rumah singgah terdekat. Ide itu, menurut pejabat Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang, datang langsung dari Risma sendiri. Ia pula yang mengusulkan dan memutuskan tempat, jumlah, serta bentuk rumah singgahnya. "Sampai warna keramik, dia yang memutuskan," ujar pejabat yang menolak dipublikasikan namanya ini.

Untuk memberdayakan orang miskin, Risma membuka pelatihan pelbagai jenis usaha. Orang miskin Surabaya didata dan dipilah sesuai dengan masa produktivitas dan minatnya. Setelah dinyatakan lulus pelatihan, mereka ditampung di koperasi atau dibuatkan stan di mal-mal. Pemerintah kota menanggung pajak dan biaya serta modalnya. "Hampir di semua mal ada stan binaan pemerintah," kata pejabat itu.

Mereka yang gagal di satu jenis usaha akan disalurkan ke usaha lain sampai berhasil mendapat untung dan penghasilan tetap. Risma memantau langsung perkembangan setiap orang yang dibina pemerintah kota ini. Ia bisa hafal pendapatan tukang jahit atau pembuat kue sehari. Jika penghasilan mereka stagnan, Risma meminta pejabat di Bina Program membimbingnya menciptakan inovasi baru.

Dari seluruh program menata kota, satu yang belum terlihat tuntas adalah mengurai kemacetan. Dengan satu juta mobil dan tiga juta sepeda motor, 2.102 kilometer panjang jalan Surabaya tak bisa menampungnya. Macet di mana-mana, terutama di jam sibuk pada pagi dan sore hari. Dengan ekonomi yang tumbuh dari 5 persen di zaman Bambang D.H. dan kini 7 persen, plus inflasi hanya 4 persen, warga Surabaya membelanjakan uangnya dengan membeli kendaraan.

Pertumbuhan ekonomi dan kendaraan itu tak diimbangi pertambahan ruas dan panjang jalan. Risma sadar kota bisa mampet jika kemacetan tak segera diurai. Maka ia merancang jalur lingkar barat dan timur yang mengelilingi Surabaya untuk memecah kemacetan di tengah kota. Rencana ini tak terlalu mulus karena terbentur pembebasan lahan.

Risma menolak rencana pembangunan jalan tol yang membelah kota dan bersambung ke jalan tol Trans Jawa hingga Jakarta. Bagi Risma, jalan tol bukan solusi kemacetan karena pintu keluar-masuknya tak banyak. Ia mencontohkan kota-kota di luar negeri yang memperbanyak perempatan, bukan tol, agar makin banyak jalur alternatif ketika lalu lintas macet.

Jalan tol juga akan mengubah tata ruang kota yang sudah dibangunnya. Taman-taman yang terlewati bakal terbongkar. Belum lagi rumah-rumah penduduk. "Pembangunan itu untuk menyejahterakan masyarakat," kata Risma. "Kalau malah tidak sejahtera, apa itu masih disebut membangun?"

Bagja Hidayat, Dewi Suci Rahayu (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus