Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Racun

17 Februari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa datang, dan kemudian penghancuran. Kini orang bisa dengan mudah menulis atau membaca kata-kata yang agresif, makian kasar dan kalimat benci yang brutal d i internet, terutama dalam Twitter. Mungkin semua itu hanya ekspresi tak matang dan gagah-gagahan anak muda. Tapi jangan-jangan tak selamanya "anak muda". Jangan-jangan ada sesuatu yang lebih serius.

"Bahasa tak semata-mata menulis dan berpikir bagiku; ia juga makin lama makin mendikte perasaanku dan mengatur keseluruhan hidup rohaniku dan tanpa sadar aku menyerah sepenuhnya kepadanya. Dan apa yang terjadi jika bahasa yang diolah itu terbuat dari anasir yang beracun...?".

Kata-kata itu ditulis diam-diam oleh Victor Klemperer di Jerman di bawah kekuasaan Nazi, antara tahun 1933 dan 1935 ketika suara kebencian jadi bagian dari hidup sosial-politik.

Klemperer, guru besar sastra di Universitas Teknologi Dresden, mengalami sendiri bagaimana bahasa membubuhkan marka-marka ke jalan kematian. Dikerumuni pidato, poster, pers propaganda yang terus menerus, orang Jerman hidup dalam bahasa yang akhirnya memisahkan mana yang Jerman (asli) dan yang bukan (Yahudi). Klemperer dicopot dari statusnya karena ia ada di bawah kata "Yahudi", dan ribuan orang lain masuk ke dalam kamar gas.

Catatan-catatan itu kemudian diterbitkan dengan judul LTI - Lingua Tertii Imperii: Notizbuch eines Philologen pada 1947 dan terbit dalam versi Inggris pada 2002. Petilan-petilannya menunjukkan bagaimana traumatiknya pengalaman Klemperer: "Kata-kata dapat seperti dosis-dosis kecil arsenikum: ditelan tanpa disadari, seakan-akan tak punya efek, lalu sejenak kemudian reaksi racunnya merasuk".

Merasuknya arsenikum yang tanpa disadari itu yang agaknya menyebabkan tak mudah menganalisa bagaimana proses pembinasaan itu bekerja. "Aku sendiri tak pernah bisa mengerti", tulisnya, "bagaimana ia [Hitler], dengan suaranya yang tak merdu dan bising, dengan kalimat-kalimatnya yang kasar dan bentukannya bukan-Jerman..., bisa memikat orang banyak dengan pidato-pidatonya..."

Barangkali orang banyak itu sedang membutuhkan suara yang tak merdu dan bising -- bukan suara puisi Goethe atau Rilke. Atau mungkin karena pada dasarnya kekerasan cocok bagi manusia dan dunia verbalnya. Manusia hidup dalam apa yang disebut oleh Zizek (dengan sedikit berlebihan, seperti biasa) "rumah penyiksaan melalui bahasa", torture-house of language. Sejak bayi, manusia dibentuk oleh makna kata yang ditentukan ayah-ibu, keluarga, masyarakat, dan Negara -- dan tak bisa membebaskan diri sepenuhnya dari bentukan itu, meskipun dengan makna itu manusia saling berselisih.

Atau tindas menindas.

Bagaimanpun juga, ada kekuasaan dalam bahasa. Dalam Alkitab dikisahkan bahwa Tuhan memberi mandat kepada Adam untuk memberi nama kepada semua hewan -- dan sejak itu Adam berkuasa untuk, misalnya, memisahkan ulat dari kupu-kupu. Pemisahan akhirnya juga terjadi dengan label "Yahudi", "negro","Eropa", "kiri", "kanan", "liberal", "kafir" dan lain-lain. Orang pun dikurung.

Sebab bahasa selalu punya dorongan untuk menstabilkan makna. Kamus disusun dan batasan diteguhkan. Sekolah, mahkamah, dan polisi menegaskannya. Kekuasaan bukan lahir dari ujung bedil seperti kata Mao Zhedong. Sebelum bedil dimaknai sebagai senjata yang bisa membunuh, bedil itu bukan sarana kekuasaan.

Bahkan bahasa bisa mematikan sebelum bedil ditodongkan.

Mao sendiri menggunakannya dalam Revolusi Kebudayaan yang diledakkannya di seluruh Cina pada pertengahan 1960-an. Xing Lu, pengajar di DePaul University, menulis Rhetoric of the Chinese Cultural Revolution (2004): sebuah dokumentasi panjang tentang hubungan kata dan pembinasaan. Poster dengan huruf-huruf besar yang ditulis Pengawal Merah memuja-muja Mao sebagai "matahari yang paling merah dari yang termerah", tapi berisi makian, cercaan kepada "musuh-musuh revolusi" -- makin lama makin memekik, dengan nama-nama binatang: "despot-anjing", "ular", "babi". Kata-kata kotor dianggap jadi lambang militansi.

Bahasa kekerasan itu, dalam catatan Xing Lu, berakhir dengan tindakan kekerasan. Pengawal Merah menyiksa dan membunuh kaum "kontrarevolusioner" di mana-mana. Ayah Xing Lu sendiri salah satu korbannya.

Satu insiden yang menarik ialah ketika seseorang disekap dan dilarang berbicara selama berhari-hari. Begitu Revolusi Kebudayaan dihentikan oleh Mao, orang itu dibebaskan. Tapi selama berminggu-minggu ia bisu. Ia kehilangan bahasa.

Sebab ada sisi lain dari bahasa yang pada mulanya adalah proses pertemuan. Sebelum pembinasaan. Pertemuan: ketika engkau hadir bukan sebagai rupa yang telah dipipihkan jadi rata, jadi abstrak, melainkan wajah yang bisa bicara, senyum, bersentuhan, tak terduga. Para Pengawal Merah tak berhadapan dengan wajah itu. Juga penulis kata-kata kebencian dalam Twitter. Mereka sebenarnya mengelak dari pertemuan apapun, justru ketika mereka sibuk sepenuhnya dengan kata-kata.

Hannah Arendt agak keliru ketika ia membedakan, bahkan mempertentangkan, kekuasaan dengan kekerasan. Bagi saya, senantiasa ada unsur kekerasan dalam kekuasaan. Tapi Arendt benar bahwa ada wilayah di mana monopoli kekuasaan (dengan kata lain: kekerasan) tercegah: kehidupan politik sebagai kehidupan dengan Vorhandensein von Anderen, hadirnya orang lain secara wajar dalam pertemuan.

Itulah yang tak ada dalam amuk massa -- juga tak ada ketika kita duduk memisah dari orang lain dan menulis di Twitter.

Tapi hanya dalam pertemuan, racun dalam kata-kata bisa menemukan penangkalnya.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus