Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tiga petugas kesehatan duduk sembari memeriksa darah warga eks Kampung Susun Bayam di sebuah teras bangunan hunian sementara, Jumat, 24 Mei 2024. Hunian ini merupakan permukiman yang kembali ditempati setelah dipaksa tinggalkan Kampung Susun Bayam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ibu jangan makan kacang-kacangan dulu," kata seorang tenaga medis kepada Lastri, sembari melihat alat rekam tekanan darah, Jumat, 24 Mei 2024. Lastri menganguk. Warga kembali menempati hunian ini setelah dipaksa pindah oleh PT Jakarta Propertindo pada Selasa, 21 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Upaya memindahkan warga ke hunian sementara di Jalan Tongkol, Pergudangan Kerapu 10, Ancol, Jakarta Utara, bukan baru terjadi kali ini. Desakan supaya warga meninggalkan Kampung Susun Bayam terjadi sejak warga menempati bangunan tiga lantai itu pada Maret 2023. Saat berusaha menempati tempat itu, Ketua Kelompok Petani Kampung Bayam Muhammad Furqon ditangkap.
Furqon ditangkap pada 2 April 2024. Dia dibawah ke kantor polisi bersama istrinya, Munjiah. Penangkapan sore itu langsung ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan Kepolisian Resor Metro Jakarta Utara. Dia baru dibebaskan setelah warga dan Jakpro bersepakat warga pindah dari Kampung Susun Bayam. Saat keluar Furqon langsung kembali bersama warga ke hunian sementara pada Selasa malam, 21 Mei lalu.
Saat ini aktivitas warga memang belum normal. Warga sibuk membersihkan isi rumah dan halamannya. Perabotan seperti kasur masih berantakan, galon air, masih tercecer, lemari pakaian masih tergeletak di luar bilik. Ada yang berdiri di depan jalan sambil menadah air minum di sebuah tong. Sekitar 7 tong air disediakan.
Setiap tong berisi air bersih 1.100 liter. Air ini akan dipakai seluruh warga yang tinggal di hunian sementara. Mereka sendiri mengambil 10 galon untuk jatah satu hari. Ada juga sebuah sumur tersedia di kompleks hunian ini. Namun air sumur itu tak berjalan lancar. Sumur itu berada sekitar 15 meter dari pintu masuk menuju kompleks hunian.
Taufik Rahman, mengatakan itu sumur bekas yang sudah ada sebelum warga menempati hunian. Warga membersihkan kembali sumur itu karena sejak lama tak terpakai. "Kami kuras lagi baru bisa pakai. Sekarang enggak bisa pakai karena mesin air rusak," kata Taufik sambil menunjuk sumur itu.
Ada juga sebuah bangunan dengan tiang penyangga kayu. Dindingnya terbuat dari bambu. Gubuk itu dipakai untuk musalah. Panjang bilik ini sekitar 9 meter. Lebarnya dibuat berbentuk L dengan ukuran sekitar 6 x 3. Sebagian diberi dinding tripleks. Sudut kirinya tidak diberi dinding. Hanya anyaman bambu setinggi 70 sentimeter.
Saat Tempo mendatangi tempat ini, tergeletak 28 paket di kantong berwarna biru. Paket ini berisi lima bungkus mi rebus, minyak goreng, terigu, saos tomat, dan lainnya. "Itu dari Jakpro," kata Arif Subana, warga eks Kampung Susun Bayam, saat membersihkan halaman tempat ibadah ini.
Selain paketan Jakpro, ada juga pemberian bantuan beras dua karung berukuran 20 kilogram, telur lima rak, mi, teh, dan kopi di kardus. Bantuan ini diberikan oleh organisasi sayap pendukung mantan calon presiden Anies Baswedan.
Di samping musalah disediakan satu lokasi dengan ukuran 9 x 3 meter. Area ini masih dibersihkan dua orang pria, termasuk Arif. Semacam tumpukan pirlak, karpet. Benda-benda itu tampak kusam dan berdebuh. Menumpuk di dekat musalah. Ada sebuah kandang berisi dua ekor ayam. "Karena ditinggal, jadinya berantakan ini," tutur Arif Subana.
Menurut Arif, lokasi kosong di dekat musalah itu akan dibuat untuk tempat berkumpul. Atau dia menyebutnya pendopo, yang berada di sisi kiri masjid. "Ini untuk pendopo, tempat berkumpul semua warga," kata dia. Sekitar 110 meter dari masjid berdiri sebuah bangunan berdinding tripleks. Bangunan ini disiapkan untuk gereja. Atapnya ditutup dengan asbes.
Ada sebuah mimbar berwarna hitam di sisi kanan, dua gitar berwarna cokelat, satu orjen, dua salon (pengeras suara), dan belasan kursi plastik masih tersusun di dalam ruangan berlantai semen itu. Seorang perempuan tengah membersihkan gereja ini untuk gelaran nikah yang direncanakan besok.
Bilik hunian warga berderet panjang dan saling berhadapan. Bangunan-bangunan rumah terbuat dari bambu dan diberi dinding tripleks. Tiang penyangga dibangun dengan kayu yang tampak rapuh. Ada warga berusaha merenovasinya dengan menambahkan batako di sebagian dinding.
Khaeria mengatakan, sebelumnya yang menempati hunian sementara ada 50 kepala keluarga. Sebanyak 14 keluarga memilih kontrak di luar karena hunian yang disiapkan tak cukup menampung 64 keluarga. Warga menampung hunian ini sejak 2021. Janji Jakpro saat itu hunian itu hanya ditinggal selama satu tahun. Setelah rumah susun beres, warga akan kembali ke rumah susun. "Tapi sampai empat tahun di sini," kata Khaeria.
Saat rumah susun berdiri warga mulai datang dan masuk menempati Kampung Susun Bayam. Saat menempati rumah susun itu, berbagai insiden terjadi. Puncaknya pengusiran pada 21 Mei lalu. "Usirnya itu kayak binatang," tutur Khaeria.
Khaeria, 51 tahun, tak hanya merasa kehilangan tempat tinggal. Tapi juga mata pencarian. Di Kampung Susun Bayam dia masih bisa mencari hidup dari tanaman singkong, kacang tanah, cabe. "Saya pernah panen cabe 2 kilogram. Itu untuk makan, sebagian untuk jual," ucap Khaeria, yang mengatakan sangat terganggu setelah insiden di Kampung Susun Bayam. Saat tim medis mengecek kesehatan, darah Khaeria naik 157.