Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Insiden pengusiran warga dari Kampung Susun Bayam di Kelurahan Papanggo, Tanjung Priok, menimbulkan trauma kepada anak-anak. Warga didesak meninggalkan rumah susun tiga lantai itu oleh PT Jakarta Propertindo, pada Selasa, 21 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ibu, ini anak bukan sakit karena penyakit. Tapi dia kayak trauma," kata Santi Kebo, 32 tahun, menirukan seorang perawat di Rumah Sakit Pademangan, Jakarta Utara, saat dia memeriksa kesehatan putrinya, Pitia Badni. Dia memeriksa kesehatan anaknya pada Kamis, 23 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Santi bercerita, trauma anaknya bermula saat Pitia kembali dari sekolah. Dia adalah siswa kelas satu di SD 09 Sunter Agung yang berada tak jauh dari depan Jakarta International Stadium. Saat di perjalanan Pitia dihadang anggota satuan pengamanan. Satpam melarang Pitia masuk ke tempat tinggal di Kampung Susun Bayam. "Dia pulang sekolah dihalangi di depan sama satpam di JIS," tutur Santi.
Karena takut bocah delapan tahun yang masih mengenakan seragam merah-putih itu berjalan balik ke sekolah. "Dia minta satpam sekolah telepon saya untuk jemput," tutur Santi. Sebelumnya Santi sudah menelepon supaya sekolah menahan anaknya supaya tidak pulang karena situasi di Kampung Susun Bayam.
Namun telepon Santi itu terlambat. Saat menelepon ke sekolah putrinya sudah lebih dulu pulang. Hingga akhirnya di halang di anggota satpam. Menurut Santi, saat itu satpam berjaga sembari memasang garis polisi—tanda larangan masuk. Pita kuning itu dipasang diujung jalan—sekitar 300 meter--dari rumah susun.
Saat tahu anaknya dicegat, Lexy Nikanorbani, 35 tahun—ayah Pitia—langsung bergegas meluncur ke depan jalan. Di sana ada satpam berjaga. Menurut Santi, karena marah Lexy langsung menabrak pita kuning itu. Lalu menjemput Pitia. Sempat terjadi adu mulut. Tapi Pitia dan ayahnya bisa kembali masuk rumah susun.
"Di sana anak-anak itu tambah takut karena mereka mengintip ada keributan di luar itu," ujar dia. Keesokan harinya, tekanan mental itu benar-benar dirasakan Pitia. Saat bangun tidur, dia tiba-tiba roboh. Saat itu wajah dan bawaan Pitia berubah. Dia mulai banyak diam.
Pada Rabu, 22 Mei lalu, gairah Pitia tambah berubah. Dia lebih banyak diam di rumah. "Biasanya kalau di sini dia bebas bermain. Tapi saya lihat dia hanya tidur," kata dia. Keesokan harinya lagi, Kamis, 23 Mei lalu, Pitia hanya mengurung diri di bilik berdinding tripleks itu saat anggota polisi berkunjung di kawasan hunian sementara.
Santi menjelaskan, saat dibawa di Rumah Sakit Pademangan kondisi mental Pitia tak bisa ditangani. Dia hanya diperiksa dan Santi hanya mendapatkan penjelasan bahwa anaknya tidak terkena serangan penyakit apa pun. Kecuali rasa takut. Perawat menyarankan Santi mengobati Pitia di rumah sakit lain. Sebab BPJS Santi terdaftar Sunter.
Menurut perempuan beranak lima itu, bukan sekali Pitia digertak. Anak keduanya itu beberapa kali mendapatkan tekanan yang sama dilarang masuk ke Kampung Susun Bayam. "Sebelum kejadian kemarin, dia memang sering dihadang sama polisi, Satpam," ucap dia.
Bocah delapan tahun itu bercerita kepada Tempo, saat pulang sekolah itu dia bertemu satpam di ujung jalan masuk Kampung Susun Bayam. Saat itu satpam menakutinya dengan melarangnya masuk. Alasannya ada banyak polisi di dalam. "Enggak boleh masuk karena ada polisi di dalam. Bapak datang baru bawa masuk," tutur Pitia, pelan.
Berita itu Sinta dan Alex terima dari Pitia. Saat itu satpam melarang dia masuk karena ada pembangunan proyek di JIS. Kejadian itu terjadi beberapa kali sebelum insiden 21 Mei lalu. "Padahal masih pakai seragam sekolah," ujarnya. Senin lusa, Santi mengatakan akan membawa Pitia untuk mengobati trauma yang diderita putrinya itu.
Perlakuan yang sama dialami oleh Anggi. Laki-laki yang duduk di kelas enam sekolah dasar. Dia dihalang oleh satpam saat pulang sekolah. Anggi berhenti lama di depan pita kuning yang dipasang anggota satpam itu. Bocah itu baru bisa masuk ke dalam Kampung Susun Bayam setelah kakeknya datang menjemputnya.
"Anaknya disuruh jalan sendiri. Kakeknya malah ditahan, tidak boleh masuk," tutur Khaeria, nenek Anggi, kepada Tempo di bilik hunian sementara, Jumat, 24 Mei 2024.
Anggi membenarkan cerita itu. Dia mengakui dihalangi di depan jalan yang berdampingan dengan rel kereta listrik itu. Hingga akhirnya dia berjalan sendiri menuju rumah susun tiga lantai itu. "Saya disuruh jalan," kata Anggi. Dia baru tahu ada insiden setelah berada di sekolah.
Khaeria, 53 tahun, bercerita saat menyaksikan peristiwa pengusiran itu, malamnya Anggi langsung sakit. Badannya panas. "Tega ya, polisi sama Satpol PP (Satuan Polisi PamongPraja). Anak kecil saja (dihalangi). Kakeknya disandra, anaknya disuruh jalan sendiri," tutur Khaeria.
Tekanan mental dari petugas satpam juga menyasar Putri, 18 tahun. Saat itu sudah ada kesepakatan warga dipindahkan ke hunian sementara. Maka, barang-barang di bilik rumah susun harus dikeluarkan. Isi bilik itu harus dikosongkan. Putri baru kembali dari tempat kerja. Dia tak tahu apa yang terjadi di Kampung Bayam.
"Dia dibentak, disuruh beresin barang-barang di dalam rumah sendiri sama satpam. Sampai nangis-nangis," kata Tarjo, 43 tahun, ayah Putri. Saat itu tak ada orang di bilik di lantai dua itu. Tarjo saat itu masih berada di tempat kerja.
Sementara istrinya baru dibawa di Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso di Papanggo, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Dia dilarikan di rumah sakit saat banyak petugas mendatangi rumah susun dan mendesak warga pindah dalam waktu 30 menit. "Istri saya sok karena ada keributan itu. Dia langsung dibawa dengan ambulans," kata Tarjo, yang saat itu berada di tempat kerja.
Sehingga pada saat Putri kembali dari tempat kerja, kata Tarjo, tak ada satu orang pun di dalam rumah. Di situ, perempuan lulusan sekolah menengah atas itu dipaksa mengeluarkan barang sendiri. "Saya itu nangis, lihat anak saya nangis saat video call sambil beresin barang sendiri," tutur Tarjo, dengan nada berang.
Menurut Tarjo, padahal petugas keamanan itu bisa memberi waktu barang-barang itu diangkut keesokan harinya. Tidak perlu memaksa anak-anak untuk memindahkan barang-barang itu sendiri dalam kondisi gelap di rusun. "Kurang ajarnya aparat itu di situ," ucap Tarjo dengan nada berang.