Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Data dari UNICEF menunjukkan sekitar 1,220 juta anak perempuan dinikahkan di bawah usia 18 tahun. Meskipun batas usia perkawinan telah dinaikkan, longgarnya rambu dispensasi perkawinan menjadikan praktik perkawinan anak masih sulit dihentikan. Inilah salah satu isu penting di Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap 8 Maret.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut pegiat isu perkawinan anak Rai Askaning Tyas, di daerahnya, Sukabumi Jawa Barat, perempuan yang melakukan perkawinan usia anak rentan mengalami kekerasan dan perceraian, bahkan harus menanggung biaya anak tanpa kontribusi suami.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Perempuan jadi terbatas akses pendidikannya karena memikirkan biaya dan pengurusan anak. Perempuan harus sadar atas kerugian ini, selayaknya harus bisa memilih usia perkawinannya sendiri," ucap Rai dalam diskusi "Setara itu Nyata Mendorong Kepemimpinan Perempuan, Mengakhiri Ketimpangan Gender" di Jakarta, Rabu, 5 Maret 2020.
Menurut Rai, perempuan muda perlu aktif melakukan pencegahan pernikahan anak, karena perempuan mengalami dampak buruk.
Tidak hanya di Sukabumi, di Kabupaten Maros masih banyak praktik anak perempuan yang dinikahkan di usia 14-15 tahun. Menurut Duta Muda Berdaya dan Berkarya Oxfam, Monita, di desanya hanya 50 persen anak perempuan yang bisa bersekolah sampai SMA. Jika dalam keluarga ada anak laki-laki dan perempuan, maka anak laki-laki diutamakan sekolah.
"Kembali ke soal kultur, di tempat saya perempuan masih ditempatkan di kasur, sumur, dan dapur hingga sulit ikut organisasi. Padahal perempuan harus punya sumber ekonomi sendiri, sebab dengan itu posisi kita menjadi setara dengan laki-laki. Serta bisa mengembangkan ide-ide dalam mewujudkan potensi," kata Monita.
Melihat kenyataan di atas, Country Director Oxfam di Indonesia Maria Lauranti mengatakan komitmen mendorong kepemimpinan perempuan harus kuat dan menjadi gerakan bersama bagi seluruh aktor pembangunan.
Data menunjukkan dengan jelas bahwa salah satu cara mengurangi ketimpangan di dunia adalah memastikan perempuan memiliki akses terhadap sumber daya, pelayanan publik, serta kesempatan yang sama dalam sektor ekonomi dan politik.
"Kepemimpinan perempuan menjadi cara untuk mengakhiri ketimpangan yang dialami oleh perempuan di dalam keluarga, akses terhadap sumber daya dan partisipasi perempuan di dunia kerja," ucap Maria.
Menurut Maria, keputusan politik yang dibangun berbasis data dan semangat merealisasikan pembangunan berkelanjutan yang memperjuangkan kesetaraan gender. "Mari satukan langkan dan bersama-sama mewujudkan kesetaraan perempuan di Indonesia," tutur Maria.