Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANYAK pengalaman hidup dan hal lain yang mendorong keinginan Widjajanti W. Dharmowijono menerbitkan bukunya yang berjudul Bukan Takdir: Kisah Pencitraan Orang Tionghoa di Nusantara. Ketua Yayasan Budaya Widya Mitra itu mengungkapkan, selama berabad-abad, orang Cina di Nusantara mengalami perundungan baik secara individu maupun massal akibat stereotipe yang diproduksi pemerintah kolonial Belanda. Hal tersebut tecermin dari buku-buku yang terbit selama Belanda menjajah negeri ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada awal abad ke-17, misalnya, ada buku karangan orang Belanda yang menyatakan orang Cina tak beragama Nasrani karena menyembah setan. Prasangka itu lahir karena mereka melihat dewa-dewa di kelenteng yang sebagian berwajah merah dan hitam. “Di kultur Belanda, sosok dengan warna wajah seperti itu buruk dan sangat kejam,” kata penulis asal Semarang tersebut melalui telepon, Selasa, 6 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pencitraan terhadap orang Cina berlanjut pada masa kongsi dagang Belanda sebagaimana didapati Inge—panggilan akrab Widjajanti—dalam penelitiannya yang dipromotori profesor emeritus Universiteit van Amsterdam, Bert Paasman. Ia menganalisis ratusan novel dan cerita pendek yang dibuat banyak penulis Belanda dan satu dari Hungaria. Di antaranya Orang Indo dan Cina di Kebun Kopi (1901) tulisan Boeka serta Indrukken van een Totok (1897) karya Justus van Maurik.
Judul buku Anda menarik: Bukan Takdir. Mengapa Anda memilih judul itu?
Sebenarnya judul disertasi saya juga catchy bagi orang Belanda: “Van koelies, klontongs en kapiteins; het beeld van de Chinezen in Indisch-Nederlands literair proza 1880-1950”. Menyebutkan soal citra kuli, kelontong, dan kapiten dalam prosa sastra Indo-Belanda pada 1880-1950. Namun judul itu aneh kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Sampai kemudian saya membaca kata pengantar yang ditulis Goenawan Mohamad. Di situ ada kata “takdir” dan saya pikir itu bagus. Sebab, di kalangan orang Tionghoa ada semacam kepercayaan bahwa setiap belasan tahun sekali akan ada kerusuhan anti-Cina, dan itu dianggap sebagai takdir. Seperti Gerakan 30 September 1965 sampai 1967, juga kerusuhan 1980 dan 1998. Kalau sudah lewat belasan tahun, akan ada semacam kegelisahan, “Hati-hati, lho, sudah belasan tahun”. Tentu payah bila menganggap kerusuhan itu sebagai takdir. Saya sendiri tidak mau menganggapnya demikian. Lewat buku ini saya ingin menjelaskan bahwa kerusuhan berbasis etnis itu bukan takdir, tapi didorong oleh suatu pencitraan terhadap pihak yang diganggu.
Data apa saja yang Anda pakai untuk membuktikan itu?
Saya tidak memakai dokumen orang yang berkuasa untuk menelusuri pencitraan itu, tapi novel dan cerita pendek atau prosa naratif yang ditulis orang Belanda pada 1880-1950. Saya membatasi pada periode tersebut karena prosa naratif yang ditulis di masa itu banyak sekali. Saya juga berfokus pada novel atau cerita pendek yang menonjolkan tokoh Cina. Kalau tokoh Cina sekadar figuran, bukunya tidak saya pakai.
Sebanyak apa novel yang Anda teliti lebih lanjut?
Saya berangkat ke Leiden dengan pesimistis walau tahu di sana tersimpan banyak sejarah soal Indonesia. Ternyata ada seabrek novel yang saya cari di sana. Awalnya saya hanya scanning dengan mata. Begitu melihat ada kata “Chinese”, saya catat judul bukunya. Dari situ, ada lebih dari 200 buku fiksi yang memberi peran besar pada tokoh Cina. Saya bekerja dengan latar belakang imagologi—ilmu yang dipopulerkan guru besar Universiteit van Amsterdam, Joep Leerssen. Menurut teori, kalau mau melihat citra, jangan di dokumen atau laporan resmi karena tidak ada realitas di situ.
Pencitraan sendiri adalah upaya pihak berkuasa, dalam hal ini Belanda, untuk mempertahankan kekuasaannya. Dengan pencitraan itu ia menyetir cara setiap lapisan dalam memandang lapisan lain. Atau bagaimana orang Cina memandang pribumi, demikian pula sebaliknya. Makanya saya bilang pencitraan itu bukan takdir, tapi produk penguasa yang ingin mempertahankan supremasinya.
Apa saja hal menarik yang Anda dapatkan dari situ?
Novel yang ditulis orang Belanda itu tidak hanya berlatar Jawa, tapi juga Kalimantan, Sumatera, terutama perkebunan tembakau Deli di sekitar Medan. Perkebunan tembakau di Deli digarap orang Cina mulai dari nol. Pekerja ini didatangkan dari Singapura, Penang, lalu akhirnya Tiongkok. Di perkebunan itu, orang Jawa sedikit. Jikapun ada, mereka orang buangan yang terkena hukuman lalu dibawa ke Deli untuk menjadi kuli. Namun, walau sama-sama kuli, mereka tinggal di tempat terpisah. Sistem gajinya tahunan, dengan sistem yang menjerat mereka untuk berutang kepada pengelola perkebunan. Biaya transportasi mereka ke Deli pun dianggap utang, padahal ada kuli yang ditangkap paksa di pelabuhan. Belum lagi buruh perempuan dari Jawa yang tidak punya uang untuk membeli sarung sehingga untuk punya baju yang menutupi tubuhnya harus menjual diri dulu ke kuli-kuli pria.
Widjajanti Dharmowijono. Dok. Pribadi
Ada prosa yang ditulis Madelon Székely-Lulofs, istri seorang asisten di perkebunan Deli. Para asisten ini anak muda 20-an tahun yang dikirim dari Eropa ke Deli untuk bekerja di perkebunan. Biasanya mereka bukan dari keluarga baik-baik. Mereka menyimpan frustrasi karena kehidupan mereka di Eropa kurang baik, lalu melampiaskannya ke kuli Cina. Sementara itu, para kuli Cina ini dibebani banyak stigma. Di Tiongkok dianggap sampah masyarakat, di Deli menjadi korban kekejaman asisten perkebunan. Jadi bukan hal luar biasa ketika itu bila ada kuli Cina meninggal karena dipukuli asisten. Para asisten ini sebenarnya takut kepada kuli Cina karena mereka lebih cepat memberontak dan vokal, berbeda dengan kuli Jawa yang lembut dan bisa diatur. Namun lama-lama perbedaan kuli Cina dan Jawa menipis. Kuli Jawa lama-lama jadi lebih vokal.
Apakah konstruksi sosok orang Cina di novel-novel itu seragam?
Di novel yang membicarakan kuli di Deli, orang Cina yang bekerja keras dan miskin digambarkan jauh lebih positif. Tapi, di masa politik etnis, orang Belanda justru lebih keras terhadap orang Cina. Orang Cina dianggap kaya dan lintah darat. Saking banyaknya orang Cina di Nusantara, mereka dibandingkan dengan semut. Stereotipe seperti inilah yang menyebabkan pembantaian orang Cina pada 1740 di Batavia, yang ekornya adalah peristiwa Geger Pecinan.
Tragedi pembantaian di Batavia itu awal represi terhadap orang Cina di Nusantara?
Tidak. Sebelumnya, saat masa pemerintahan Gubernur Hindia Belanda J.P. Coen, orang Cina diwajibkan mengantongi surat izin tinggal khusus yang disebut hoofdbriefje atau surat konde. Disebut begitu karena kebanyakan orang Cina rambutnya dikepang, lalu digulung di kepala. Surat ini menjadi dasar korupsi pejabat Belanda. Harganya dibuat melejit. Periodenya yang semula berlaku setahun di tengah jalan ditagih dua bulanan. Saking pentingnya surat konde, orang Cina yang tak memilikinya akan mendapat hukuman luar biasa kejam: dipertontonkan di depan umum dan ditusuk seperti sate. Pakaian orang Cina dan bumiputra juga dibedakan agar kedua kelompok etnis tak bisa bersatu. Stereotipe itu sangat kuat dan bebal hingga kini.
Apakah membuat citra yang baru efektif untuk meruntuhkan stereotipe lama?
Ada beberapa orang yang mencitrakan Cina secara baru, seperti Azmi Abubakar dengan Museum Pustaka Tionghoa. Juga olahragawan dan budayawan keturunan Tionghoa. Mungkin pemerintah bisa membawa hal ini ke kurikulum pendidikan, misalnya dengan memasukkan materi yang mengedepankan peran orang Tionghoa di Indonesia. Ini penting karena kita tahu sejak kecil orang sudah membawa prasangka-prasangka.
ISMA SAVITRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo