Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Wiji Thukul dan Kejahatan yang Berkelanjutan

12 Mei 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Robertus Robet *

Siaran Pers Kontras Nomor 7 tiga belas tahun yang lalu itu berbunyi: "Wiji Thukul hilang pada sekitar Maret 1998 kami duga kuat berkaitan dengan aktivitas yang dilakukan oleh yang bersangkutan. Saat itu bertepatan dengan peningkatan operasi represif yang dilakukan oleh rezim Orde Baru dalam upaya pembersihan aktivitas politik yang berlawanan...." Siaran pers itu membuka lagi status kelam dari masa-masa ujung pergolakan politik menjelang jatuhnya Orde Soeharto sekaligus meresmikan status ironis dari penyair-pejuang Wiji Thukul: sebagai orang hilang.

Wiji Thukul, si penyair-pejuang yang hilang, lahir 26 Agustus 1963 di kampung buruh Sorogenen, Solo. Lulus SMP, ia melanjutkan pendidikan di Jurusan Tari Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, tapi tidak tamat. Lepas dari sekolah, Thukul mulai mencari hidup dengan berjualan koran dan bekerja di perusahaan mebel sebagai tukang pelitur. Ia menulis puisi sejak SD dan berteater sejak SMP. Setelah berkeluarga, ia hidup dengan membantu istrinya usaha sablon. Pada akhir 1980-an, puisinya tersebar di berbagai media.

Yang khas dari puisi Wiji Thukul adalah bahwa ia bukan puisi tentang protes, melainkan protes itu sendiri. Karena itu, puisinya gampang melebur dalam tiap momen pergolakan dan berbagai aksi protes. Puisinya adalah bagian dari aksi, bukan mengenai aksi, bukan juga "gaya" yang hendak ditambah-tambahkan untuk memberi kesan "estetis" terhadap suatu aksi. Karena itu, puisi Wiji Thukul hidup tanpa memerlukan pengenalan siapa seniman pengarangnya. Puisi itu diketahui sebagai puisinya, tapi ia tidak pernah dipersepsikan sebagai "tuan" atau "majikan" dari puisi-puisi itu. Puisinya beredar, hidup ke mana-mana, melampaui dirinya! Puisi Wiji Thukul adalah peristiwa, bukan lagi kata-kata.

Barangkali itu sebabnya mengapa Wiji Thukul dihilangkan! Pada masanya banyak kritik ditulis seniman, beberapa dari mereka diancam penjara Orde Baru, tapi cuma Wiji Thukul yang dihilangkan. Mungkin pada yang lain Orde Baru masih dapat memilah-milah antara puisi, politik, dan senimannya. Terhadap mereka, Orde Baru masih bisa mengatakan, "Larang puisinya, tapi 'perbaiki' atau 'dekati' penyairnya." Barangkali para penyair yang lain itu hidup di ruang edar Jakarta yang pusat dan sohor atau komunitas budaya yang mapan dan terbuka hingga mereka terlindung dari tangan kekuasaan justru oleh sorot publisitas aktivitasnya. Para seniman ini dibenci, tapi tidak dianggap berbahaya. Sedangkan Wiji Thukul, boleh dibilang ia adalah artikulasi paling optimum dari suatu imaji ekstrem mengenai gerakan kelas. Tapi kelas yang dalam sejarah kekuasaan Orde Baru masih terpencil dan penuh stigma. Wiji Thukul adalah buruh dengan pikiran radikal tapi yang sekaligus juga mampu berpuisi dengan kebebasan, artikulasi, dan daya estetik yang setara bahkan dengan borjuis paling terdidik di republik ini. Wiji Thukul menjadikan puisinya sebagai konfrontasi. Akibatnya, oleh Orde Baru, Wiji Thukul dibenci sekaligus dianggap berbahaya!

Karena itu, penghilangan Wiji Thukul bukan lain adalah simbol penghilangan terhadap sebuah konfrontasi. Ini yang menjadikan Wiji Thukul bukan "orang hilang" dalam arti yang umum dan biasa. Wiji Thukul bukan missing person yang ketakhadirannya diakibatkan kemauannya sendiri atau karena ulah sejenis alien dari planet seberang sebagaimana dibayangkan para penganut teori konspirasi. Hilangnya Wiji Thukul merupakan penghilangan paksa (enforced disappearance). Itu sebabnya keluarganya melaporkan pertama-tama kepada Kontras, bukan kepada polisi. Persis karena mereka paham bahwa hilangnya Wiji Thukul bukan karena soal pribadi atau kriminal biasa. Hilangnya Wiji Thukul dipahami sebagai hilangnya kebebasan yang melibatkan Negara atau orang-orang yang berkaitan dengan Negara.

Penghilangan paksa merenggut kebebasan seseorang untuk kemudian menyembunyikannya hingga "korban" tak lagi bisa dijangkau dan dilindungi oleh hukum apa pun. Dengan itu, pelakunya mengatakan, "Cuma kami yang mengetahui!" Pelaku menggenggam dan memonopoli informasi terakhir, dari situ biasanya mereka membangun fiksi mengenai ke mana mereka yang hilang itu.

Dengan monopoli atas "korban", penghilangan paksa biasanya simultan dengan penahanan, penyiksaan, dan pembunuhan. Namun ia bukan dan tidak boleh didefinisikan sebagai kombinasi dari berbagai tindakan pelanggaran hak asasi manusia. Ia kejahatan tersendiri yang khas dan "unik" yang memungkinkan pelaku bisa melakukan apa pun. Dengan kekejian itu, penghilangan paksa dalam situasi tertentu dapat didefinisikan sebagai kejahatan kemanusiaan.

Kekhasan lain dari kedurjanaan penghilangan paksa adalah pelecehan yang sengaja terhadap keluarga korban. Pelecehan itu sedemikian rupa hingga menghantam dimensi-dimensi yang paling intim dan pribadi. Bagi setiap orang dalam setiap keluarga, masa lalu adalah apa yang telah terjadi, dan masa depan adalah fondasi imajinatif untuk melanjutkan diri bersama keluarga dan orang-orang yang dicintai. Namun, untuk membentuk masa depan, orang memerlukan kondisi kini yang stabil, kekinian yang berisi ruang kehidupan sehari-hari dan kelestarian relasi satu sama lain. Penghilangan paksa meruntuhkan stabilitas kekinian dan kelestarian relasi, akibatnya ia juga menghancurkan imajinasi akan masa depan dari keluarga dan orang-orang yang mencintai. Yang jahat dari penghilangan paksa adalah keluarga disiksa penantian dalam waktu yang tak terdefinisikan.

Dengan memaksa sebuah penantian panjang, penghilangan paksa mematahkan dimensi temporalitas dalam kehidupan yang dibangun oleh tiap orang. Dalam setiap keluarga, berlaku sebuah kalender pribadi. Kalender yang dirayakan dan dibagi bersama orang-orang yang dicintai; kapan ulang tahun, kapan menikah, kapan punya anak, serta kapan sakit bahkan kapan mati. Melalui kalender pribadi itu setiap orang membangun pertalian yang intim dan akrab: satu sama lain bisa saling mengantisipasi. Dengan itu, saling memberi bisa terjadi. Ketika seorang anggota keluarga hilang, kalender pribadi tiap anggota keluarga berantakan. Ketakpastian dan kebingungan yang simultan mengenai ke mana dan bagaimana si korban, membuat keluarga sulit mengantisipasi relasi dan kebersamaannya lagi. Karena itu, dalam penghilangan paksa, bahkan informasi akhir yang paling tragis mengenai kematiannya sungguh sangat berharga bagi keluarga "korban". Persis karena informasi itu memulihkan kembali bangunan kalender pribadi keluarga itu dengan "si korban" sekaligus mengakhiri penantian panjang yang tak tertahankan.

Sungguh tepat apabila Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1992 tentang Perlindungan Semua Orang dari Tindakan Penghilangan Secara Paksa menyebutkan bahwa penghilangan paksa adalah kejahatan yang berkelanjutan. Maka ia tidak dibatasi oleh waktu, ia tidak bisa kedaluwarsa. Selama belum diungkap dan diakui, selama itu pula ia tetap sebagai kejahatan dan pelakunya setiap saat tetap bisa diancam untuk dipidanakan. Deklarasi PBB itu juga menegaskan bahwa pihak-pihak yang telah atau diduga telah melakukan tindakan penghilangan paksa tidak boleh diuntungkan oleh hukum amnesti tertentu atau tindakan-tindakan sejenisnya.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan. Dengan itu, semestinya sudah tidak ada lagi halangan apa pun bagi Indonesia untuk meratifikasi Konvensi tentang Perlindungan untuk Semua Orang dari Tindakan Penghilangan Paksa.

Dalam sebuah buku, seorang sahabat Wiji Thukul menuliskan kisah merebaknya beragam dongeng mengenai Wiji Thukul. Ada yang mengira ia masih hidup, bersembunyi, dan berkarya entah di mana. Seperti semua dongeng bahagia, dalam hati kecil, saya juga berharap dapat melihat kembali Wiji Thukul. Saya membayangkan apa kira-kira yang akan ditulisnya, manakala menyaksikan jenderal-jenderal penculik dari era Orde Soeharto disambut tepuk meriah, didampingi punggawa pengiring, sebagian teman lamanya sendiri, siap ikut pemilu. Namun, bila Wiji Thukul tak kunjung kembali dan rasa pedih berkepanjangan, setidaknya kita berharap bahwa ketakhadiran Wiji Thukul akan menjadi kutukan yang terus memburu para penculiknya.

*) Dosen sosiologi Universitas Negeri Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus